Senin, 6 Oktober 2025

Refleksi 80 Tahun TNI: Hebat dalam Upacara, Lumpuh dalam Operasi — Hasil Serangan Neocortex dan Ratzelian Warfare

Oleh: Laksda. TNI (Purn) Soleman B Ponto

“TNI tidak kalah di laut atau di udara, melainkan di ruang rapat, di naskah undang-undang, dan di pikiran para pembuat kebijakan yang tanpa sadar telah menjadi instrumen strategi asing.”

Delapan Puluh Tahun TNI: Dari Kebanggaan ke Keprihatinan

DELAPAN puluh tahun Tentara Nasional Indonesia berdiri sebagai simbol kedaulatan bangsa.

Delapan dekade penuh pengorbanan, keberanian, dan loyalitas tanpa batas.

Dari medan perjuangan kemerdekaan hingga misi perdamaian dunia, TNI selalu hadir sebagai penjaga keutuhan republik.

Namun pada usia ke-80 ini, muncul paradoks besar: semakin TNI dipuji, semakin ia dipasung.

Upacara megah, barisan gagah, pesawat tempur menderu di udara, kapal perang membelah lautan.

Semua tampak hebat di mata publik — namun di balik kemegahan itu, ada kenyataan yang getir:

TNI hebat dalam upacara, tapi lumpuh dalam operasi.

Kehebatan yang Disulap Menjadi Simbol Tanpa Daya

TNI kini menjadi institusi yang lebih sering dipamerkan daripada digerakkan.

Alutsista canggih, radar modern, kapal fregat, dan jet tempur generasi baru hanya berfungsi sebagai panggung kebanggaan, bukan alat pertahanan nyata.

Kapal perang tidak dapat berlayar tanpa izin administratif; pesawat tempur tidak bisa terbang tanpa persetujuan birokrasi.

Dari sudut pandang strategis, ini bukan kelemahan internal, melainkan hasil dari infiltrasi eksternal —sebuah bentuk perang yang jauh lebih halus dan mematikan: Neocortex Warfare, hasil evolusi dari teori geopolitik klasik Friedrich Ratzel.

Dari Teori Ratzel ke Operasi Neocortex

Pada usia ke-80, TNI seharusnya berdiri sebagai simbol kedewasaan pertahanan nasional.

Namun justru pada titik inilah, bangsa ini harus bercermin: Kita sedang mengalami kekalahan tanpa pertempuran.

TNI tidak kalah di laut atau di udara, melainkan di ruang rapat, di naskah undang-undang, dan di pikiran para pembuat kebijakan yang tanpa sadar telah menjadi instrumen strategi asing.

Ratzel telah lama memperingatkan:

“Negara yang tidak sadar akan ruang hidupnya sendiri akan dijadikan ruang hidup bagi negara lain.”

Dan itu kini sedang terjadi — bukan secara fisik, tapi melalui pasal yang membunuh komando.

Friedrich Ratzel pernah menulis bahwa negara adalah organisme hidup yang berkembang melalui Lebensraum — ruang hidup.

Negara besar tidak perlu selalu menaklukkan wilayah; cukup mengendalikan pikiran dan kebijakan negara lain.

Dari sinilah lahir bentuk perang baru: Ratzelian Warfare, —menaklukkan bangsa bukan dengan invasi militer, melainkan dengan membelokkan logika pertahanannya.

“Kuasai otak strategis musuhmu, maka tubuhnya akan berhenti bergerak.” – reinterpretasi dari prinsip Ratzel

Dan inilah yang kini menimpa Indonesia.

Melalui operasi intelijen asing yang terstruktur, konsep pertahanan nasional disusupi, bukan dengan pasukan, tapi dengan pasal-pasal.

Ratzel dan Konsep Lebensraum: Kuasai Pikiran, Bukan Hanya Wilayah

Friedrich Ratzel, bapak geopolitik modern, menegaskan bahwa negara adalah organisme hidup yang terus tumbuh, bergerak, dan mencari ruang hidup (Lebensraum) melalui tiga cara: ekspansi wilayah, penguasaan sumber daya, dan dominasi politik-budaya.

Namun dalam era baru, ekspansi itu tidak lagi dilakukan dengan invasi militer, melainkan melalui infiltrasi pemikiran dan kebijakan.

Ratzel menulis, “Siapa yang mengendalikan pemikiran strategis suatu bangsa, ia tidak perlu menguasai tanahnya.”

Inilah fondasi operasi intelijen modern: menaklukkan bangsa dengan mengubah arah berpikir para perancang undang-undangnya.

Teori Ratzel & Geo-Intelligence: Hukum Sebagai Senjata

Dalam pendekatan Geo-Intelligence, yang lahir dari pemikiran Ratzel dan Haushofer, hukum dan kebijakan digunakan sebagai instrumen kendali geopolitik.

Negara target diarahkan untuk mengatur dirinya sendiri agar lemah melalui:

  • Perubahan struktur komando militer,
  • Ketergantungan logistik dan anggaran,
  • Birokratisasi pertahanan,
  • Delegitimasi peran tempur melalui narasi demokratisasi.

Semua ini tampak sebagai reformasi, padahal sejatinya adalah pembusukan dari dalam,— an internal euthanasia of power.

Bukti Operasi Neocortex dalam Proses Legislasi

Serangan tidak lagi datang lewat agen bersenjata, melainkan melalui konsultan, lembaga donor, dan think-tank asing yang “membantu menyusun” undang-undang dengan dalih capacity building.

Di sinilah Neocortex Warfare bekerja: mempengaruhi logika penyusun kebijakan agar percaya bahwa membatasi militer berarti memperkuat demokrasi.

Akibatnya:

  • Panglima TNI tidak lagi berdaulat atas kapal dan pesawatnya sendiri.
  • KSAL dan KSAU harus menunggu tanda tangan birokrasi untuk bertindak.
  • TNI menjadi pasukan parade, bukan pasukan pertahanan.

Rakyat hanya melihat hasil luarnya — parade spektakuler — tanpa menyadari bahwa otak strategis bangsa telah disusupi doktrin asing yang menggantikan filosofi kemandirian pertahanan dengan logika ketergantungan.

Membunuh Tanpa Menembak: Paradigma Ratzel dalam Praktik

Menurut Ratzel, jika sebuah bangsa dapat diyakinkan bahwa pertahanan kuat adalah ancaman bagi stabilitas internal, maka bangsa itu akan melumpuhkan militernya sendiri atas nama perdamaian.

Inilah tahap tertinggi penaklukan — auto-neutralization.

Dan inilah yang kini kita saksikan:

Undang-undang yang ditulis oleh anak bangsa sendiri menjadi alat penghancur TNI yang paling efektif, karena lahir dari pikiran yang sudah direkayasa oleh strategi asing.

TNI tidak dibunuh dengan peluru, tetapi dibunuh oleh kebijakan yang mereka hormati.

Infiltrasi Melalui Hukum: Ketika Undang-Undang Menjadi Senjata

Frasa Disembunyikan di Penjelasan Pasal: Cara Halus Mematikan Komando TNI

1. Letak Strategis Frasa yang tersembunyi.

Frasa “kebijakan pemeliharaan dan/atau perawatan” tidak muncul di batang tubuh Pasal 3 ayat (2), tetapi diselipkan di dalam Penjelasan Pasal.

Ini bukan kebetulan. Secara teknik legislasi, batang tubuh pasal adalah norma hukum yang mengikat dan dapat dijustifikasi secara langsung, sedangkan penjelasan hanya berfungsi menerangkan, bukan menambah atau mengubah makna pasal.

Namun, dalam kasus ini, penjelasan tidak lagi menjelaskan — tetapi memperluas makna.

Dan perluasan itu diarahkan secara sistematis untuk menarik fungsi operasional TNI ke dalam ranah koordinasi Kementerian Pertahanan.

2. Bentuk Manipulasi Yuridis yang Canggih

Penempatan frasa “pemeliharaan dan/atau perawatan” di penjelasan, bukan di batang tubuh, merupakan teknik infiltrasi hukum halus (legal infiltration) yang sering digunakan dalam strategic lawfare atau perang hukum.

Ciri-cirinya:

  1. Dimasukkan bukan dalam norma utama, tetapi dalam kalimat penjelasan yang tampak netral.
  2. Tidak tampak bermasalah saat dibaca sekilas, namun berfungsi mengubah tafsir hukum dalam pelaksanaan.
  3. Tidak mudah digugat, karena “penjelasan” dianggap bukan bagian dari norma pokok.

Dengan cara ini, pembuat naskah undang-undang dapat memasukkan makna baru tanpa menabrak pasal — tapi tetap memandulkan pelaksanaannya.

3. Dampak Terhadap Struktur Komando

Batang tubuh Pasal 3 ayat (2) hanya berbunyi:

“TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.”

Kata “koordinasi” secara hukum publik berarti hubungan horizontal antara dua institusi yang setara.

Namun, ketika penjelasan menambahkan frasa:

“… yang meliputi kebijakan penganggaran, pengadaan, pemeliharaan dan/atau perawatan, …”

makna koordinasi berubah menjadi pengendalian vertikal.

Dalam praktik, artinya:

Kapal perang (KRI) tidak dapat melakukan routine maintenance tanpa izin administratif dari Kemenhan.

Pesawat tempur tidak bisa di-servis atau disiapkan untuk misi tanpa pengesahan anggaran dan jadwal kementerian.

KSAL dan KSAU kehilangan otonomi dalam operational readiness karena aspek perawatan dianggap “kebijakan”, bukan “fungsi operasional”.

Frasa ini menjadi alat untuk menarik komando dari Panglima ke tangan birokrasi sipil, bukan melalui undang-undang terbuka, tetapi lewat kalimat tersembunyi di penjelasan.

4. Bertentangan dengan Prinsip Legislasi dan UUD 1945

Secara formil, tindakan ini melanggar prinsip “Penjelasan tidak boleh menambah norma baru” sebagaimana diatur dalam Lampiran II Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurut norma tersebut:

“Penjelasan hanya memuat uraian atau tafsir terhadap norma dalam batang tubuh, bukan menciptakan norma baru.”

Dengan demikian, penyisipan frasa “kebijakan pemeliharaan dan/atau perawatan” adalah pelanggaran formil terhadap asas pembentukan peraturan yang baik (asas kejelasan rumusan dan kesesuaian antara penjelasan dan norma).

Lebih jauh lagi, secara konstitusional, hal ini melanggar Pasal 30 ayat (2) dan (3) UUD 1945, karena:

UUD menegaskan bahwa TNI bertanggung jawab langsung dalam pertahanan negara, bukan sebagai pelaksana administratif.

Penjelasan ini secara halus menempatkan TNI sebagai pelaksana kebijakan sipil, bukan komando pertahanan mandiri.

Neocortex Warfare: Menyerang Pikiran, Bukan Pangkalan

Konsep Neocortex Warfare menggambarkan perang modern yang menaklukkan pikiran para pengambil kebijakan.

Musuh tidak perlu menembak satu peluru pun; cukup mempengaruhi pemikiran para perancang undang-undang,agar mereka menulis pasal yang melemahkan bangsanya sendiri.

Hasilnya kini nyata:

  • TNI kehilangan otonomi komando dalam operasi.
  • Matra laut dan udara dibatasi geraknya oleh meja birokrasi.
  • Rakyat disuguhi citra kekuatan simbolik, bukan kekuatan nyata.

Bangsa tidak lagi diserang dari luar, melainkan dibujuk dari dalam untuk mematikan senjatanya sendiri.

Operasi Intelijen Asing yang Tidak Terlihat

Inilah bentuk serangan intelijen paling canggih — operasi yang tidak memakai agen rahasia, melainkan penasihat kebijakan, konsultan legislatif, dan lembaga donor internasional.

Mereka menyusup ke ruang penyusunan kebijakan publik, menawarkan “bantuan teknis” dan “penguatan demokrasi,” padahal tujuannya adalah membentuk pola pikir anti-kemandirian pertahanan.

Dalam istilah geopolitik, ini disebut infiltrasi kognitif.

Undang-undang hasil serangan ini menjadikan TNI:

  • Hebat di upacara, karena citranya tetap dijaga,
  • Lumpuh di operasi, karena kekuatannya diputus dari akar komando.

Hasil Serangan: Hebat di Upacara, Lumpuh di Operasi

Kini kita panen hasil operasi intelijen asing ala Ratzel:

  • Kekuatan laut dan udara dikendalikan oleh birokrasi.
  • Komando cepat berubah menjadi koordinasi lambat.

Tentara yang siap mati di medan perang kini menunggu surat izin untuk bergerak.

TNI tampak hebat dalam upacara, tetapi lumpuh dalam operasi —itulah tanda serangan berhasil: menjadikan kekuatan tempur sebagai ornamen, bukan instrumen.

Jalan Pemulihan: Rebut Kembali Pikiran, Bukan Hanya Senjata

Untuk melawan strategi Ratzelian ini, bangsa harus merebut kembali neokorteksnya sendiri,— kesadaran geopolitik dan kemandirian berpikir.

TNI harus kembali ditempatkan di jalur konstitusi, bukan dalam sangkar administratif.

Undang-undang pertahanan harus dibersihkan dari pasal yang merupakan hasil penyusupan konseptual asing. Karena yang direbut bukan tanah, tapi pikiran. Yang dilumpuhkan bukan senjata, tapi kehendak berdaulat.

Kesimpulan

Frasa “pemeliharaan dan/atau perawatan” dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) memangkas tiga lapis kewenangan utama Panglima, KSAL, dan KSAU:

  • Kewenangan strategis (menentukan arah operasi dan prioritas pertahanan),
  • Kewenangan taktis (menyiapkan dan menggerakkan unsur kekuatan),
  • Kewenangan teknis (memelihara kesiapan unsur dan logistik).

Frasa ini bukan sekadar redaksi administratif, tetapi hasil infiltrasi ideologis yang berpotensi melumpuhkan TNI secara sistematis.

Akibatnya, TNI menjadi hebat dalam upacara — karena simbolnya dijaga, namun lumpuh dalam operasi — karena kewenangannya dicabut.

Penutup

Delapan puluh tahun TNI adalah usia kebesaran dan juga peringatan.

Bangsa ini tidak sedang menghadapi invasi militer, tetapi invasi pemikiran.

Musuh sudah tidak di luar pagar; ia ada di balik kalimat hukum, di dalam logika pembuat undang-undang.

Inilah perang gaya baru: di mana undang-undang menjadi peluru, dan bangsa menembak dirinya sendiri dengan tangan yang tidak sadar dikendalikan.

Selama pasal-pasal itu tidak direvisi dan kesadaran strategis tidak direbut kembali, TNI akan tetap hebat dalam upacara, tapi lumpuh dalam operasi— bukan karena kalah, tapi karena dibunuh secara halus oleh hasil operasi intel asing yang bekerja melalui pikiran.

——-

*Penulis Laksda TNI Purn Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, Kabais TNI 2011-2013

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru