Minggu, 19 Oktober 2025

SERAHKAN KE KANTIN SEKOLAH..! UGM Nilai Skala Produksi Dapur MBG Lampaui Kapasitas

YOGYAKARTA — Direktur Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada ( UGM ), Citra Indriani menyebut pengelolaan makanan dalam skala besar seperti yang dilakukan dapur Makan Bergizi Gratis ( MBG ) atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki kerentanan tinggi terhadap risiko keracunan.

Setiap celah dalam proses, mulai dari pemilihan bahan baku, memasak, penyimpanan, hingga distribusi, bisa berdampak pada ribuan anak sekolah,” kata Citra dikutip dari situs resmi UGM, Kamis (9/10).

Skala hidangan atau porsi Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diproduksi SPPG setara hingga bahkan melampaui industri katering. Sehingga, kata Citra, idealnya ini menyesuaikan standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).

Namun, hasil kajian investigasi UGM dari beberapa kasus keracunan pangan terkait MBG di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan tidak adanya kesetaraan penerapan kaidah HACCP.

Selain itu, hasil investigasi UGM pada kasus tersebut juga menemukan minimnya pengawasan, serta terbatasnya pengetahuan pelaksana di lapangan.

Temuan lain sementara juga mengungkap bahwa durasi antara proses memasak, pengemasan, hingga waktu konsumsi oleh penerima manfaat seringkali melebihi empat jam. Padahal, pada saat yang sama manajemen penyimpanan belum memadai.

Kata Citra, beberapa menu ditemukan bahkan dalam kondisi kurang matang karena harus diproduksi dalam jumlah besar. Di sejumlah sekolah juga dilakukan pengemasan ulang tanpa proses pemanasan.

“Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya keracunan massal,” ujar Citra.

PKT UGM menyimpulkan perlunya evaluasi menyeluruh agar tujuan mulia program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini dapat tercapai dengan lebih aman.

PKT UGM merekomendasikan sejumlah langkah perbaikan, meliputi standarisasi fasilitas dan kapasitas SPPG, asesmen awal untuk menilai kelayakan produksi massal. Lalu, penerapan SOP berbasis HACCP mulai dari bahan baku hingga konsumsi siswa.

Kemudian, masing-masing staf SPPG wajib memperoleh pelatihan keamanan pangan dan mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).

Menurut Citra, pengawasan juga ditekankan sebagai instrumen penting dalam tata kelola MBG. Mekanisme kontrol yang jelas, monitoring periodik, serta koordinasi lintas sektor sudah semestinya diperkuat.

“Kolaborasi berbagai pihak mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar mendapat manfaat program tanpa terpapar risiko keracunan pangan,” pungkas Citra.

Sebaiknya Dikelola Kantin Sekolah

Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, Agus Sartono berpendapat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) alangkah baiknya diserahkan langsung ke kantin masing-masing sekolah.

Agus melihat program MBG yang sebenarnya bertujuan mulia ini selama 10 bulan bergulir masih diwarnai begitu banyak kasus keracunan makanan. Belum lagi potensi praktik berburu rente di balik pelaksanaannya.

“Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul,” kata Agus dalam keterangannya, baru-baru ini.

Ia melanjutkan, apabila ditinjau dari sasarannya setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA, dan Dikmas/SLB 2,3 juta siswa atau total ada sekitar 55,1 juta penerima manfaat dari kalangan siswa yang harus dilayani. Semua tersebar di 329 ribu satuan pendidikan, dan belum termasuk lebih dari 20 ribu pesantren.

Dengan anggaran Rp15 ribu per siswa, maka kata Agus, diperlukan anggaran sebesar Rp247,95 triliun, melebihi dana desa 2025 sebesar Rp71 triliun. Sementara anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun ini sebesar Rp347 triliun, sehingga terdapat Rp665,95 triliun dana berputar di daerah.

“Jumlah yang sangat besar tentunya, dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.

Kata Agus, sebenarnya sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu, macam Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos. Program-program ini selama ini menyasar setidaknya 20 persen pada keluarga tidak mampu.

Lanjutnya, penyaluran BOS pada tahun 2010 lalu sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan. BOS diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.

Pertanyaan Agus, mengapa MBG tidak menggunakan mekanisme yang sudah ada. Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan, di mana kabupaten/kota mengelola SD/SMP, provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih di bawah Kemenag.

Oleh karenanya, Agus berpendapat ada baiknya daerah diberikan kewenangan sesuai UU dan Badan Gizi Nasional (BGN) sebatas melakukan monitoring. Dia meyakini kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik lewat cara dan pemberdayaan pemda.

Pemerintah pusat pun, kata Agus, bisa belajar dari praktik oleh negara maju yang menggulirkan program semacam MBG melalui kantin sekolah. Baginya, cara ini lebih baik ketimbang sistem-sistem yang diterapkan dalam pelaksanaan MBG sekarang ini.

Menurutnya, melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji secara segar, dan menghindari makanan basi. Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol seharusnya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. “Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” sambungnya.

Apabila skema ini diterapkan, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM sekitaran sekolah. Artinya, tercipta sirkulasi ekonomi yang baik. Alokasi dana utuh sebesar Rp15 ribu rupiah per porsi pun bisa utuh sampai ke perut siswa. Bukan cuma Rp7 ribu per porsi seperti yang terjadi selama ini.

Agus juga membeberkan alternatif lain, yang mana dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orang tua untuk membelanjakan serta menyiapkan bekal kepada putra putrinya. BGN cuma perlu menyusun panduan teknis sembari mengawasi. Demikian pula para guru dengan memperingatkan siswa yang tidak membawa bekal ke sekolah.

“Jika sampai satu bulan tidak membawa, bisa memanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktek pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS,” urainya.

Agus menuturkan, persoalan keracunan MBG belakangan jika dirunut sebagai akibat panjangnya rantai penyaluran. Penyaluran MBG via Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilainya hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini.

Menyedihkan bagi Agus jika unit cost Rp15 ribu per porsi per anak pada akhirnya disunat dan menyisakan Rp7 ribu saja. Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi “Makar Bergii Gratis” bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara ‘gratis’.

Dia menguraikan, jika margin per porsi diambil Rp2 ribu dan satu SPPG melayani 3 ribu porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp150 juta atau Rp1,8 miliar rupiah per tahun. Secara nasional margin Rp2 ribu dari Rp15 ribu atau sekitar 13 persen adalah suatu jumlah yang besar.

Maka dari itu, implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan kebocoran atau keuntungan pemburu rente sebesar Rp33,3 triliun.

“Saya kira masih belum terlambat, dan ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” pungkasnya. (Hari Subagyo)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru