JAKARTA – Ribuan demonstran di ibu kota Madagaskar, Antananarivo, mendapat dukungan mengejutkan dari sekelompok tentara yang bergabung dengan mereka dan menolak perintah untuk menembak warga sipil. Aksi pada Sabtu (11/10/2025) ini menandai babak baru dalam gelombang protes besar-besaran yang mengguncang negara kepulauan di Samudra Hindia itu sejak akhir September. Baca berita tanpa iklan.
Menurut laporan AFP, para tentara dari markas militer di Distrik Soanierana menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi menuruti perintah untuk menindak para demonstran.
Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, para tentara menyerukan agar aparat keamanan bersatu dan menolak menjadi alat kekerasan terhadap rakyat.
“Mari kita bersatu — militer, gendarmerie, dan polisi — dan tolak dibayar untuk menembak teman, saudara, dan saudari kita,” ujar mereka dalam pernyataan di video tersebut.
Mereka juga menyerukan agar pasukan di bandara mencegah pesawat berangkat dan memerintahkan rekan-rekan mereka di barak lain untuk menolak perintah menembak.
“Tutup gerbang dan tunggu instruksi kami. Jangan patuhi perintah atasanmu. Arahkan senjata pada siapa pun yang memerintahkanmu menembak sesama prajurit, karena mereka tidak akan peduli pada keluargamu jika kamu mati,” lanjut pernyataan itu.
Disambut Sorakan Di Jalanan Antananarivo

Setelah pernyataan itu, kelompok tentara tiba di pusat aksi massa di sekitar Danau Anosy, tempat ribuan demonstran muda berkumpul memprotes pemerintah.
Kedatangan para tentara disambut sorakan dan tepuk tangan. Beberapa di antara mereka terlihat mengibarkan bendera Madagaskar, sementara massa meneriakkan “Terima kasih!”.
Demonstrasi tersebut merupakan yang terbesar dalam beberapa hari terakhir sejak gerakan yang dipelopori oleh generasi muda—dikenal sebagai “Gen Z”—pecah pada 25 September lalu.
Awalnya, mereka menuntut solusi atas krisis listrik dan air, namun protes kini berkembang menjadi gerakan anti-pemerintah yang menuntut perubahan politik. Belum jelas berapa banyak personel militer yang benar-benar bergabung dengan aksi ini, tetapi langkah sebagian tentara itu menandakan adanya perpecahan di tubuh angkatan bersenjata.
Mengingatkan pada Pemberontakan 2009
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, langkah tentara Soanierana ini memunculkan kenangan akan peristiwa tahun 2009, ketika basis militer yang sama memimpin pemberontakan rakyat yang akhirnya menggulingkan Presiden Marc Ravalomanana dan mengantarkan Andry Rajoelina ke tampuk kekuasaan.
Kini, Rajoelina kembali menghadapi tantangan serupa dari rakyatnya sendiri. Menteri baru urusan angkatan bersenjata, Jenderal Deramasinjaka Manantsoa Rakotoarivelo, mendesak prajurit untuk tetap tenang.
“Kami menyerukan kepada saudara-saudara kami yang tidak sependapat untuk mengutamakan dialog,” katanya dalam konferensi pers.
“Tentara Madagaskar tetap menjadi penengah dan garis pertahanan terakhir bangsa,” ujarnya menegaskan.
Aksi-aksi protes sebelumnya berlangsung dengan keras. Pada Kamis lalu, pasukan keamanan menggunakan gas air mata, peluru karet, dan kendaraan lapis baja untuk membubarkan massa, mengakibatkan sejumlah orang luka-luka.
Video kekerasan aparat yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang pria dikejar dan dipukuli hingga tak sadarkan diri — kejadian yang juga disaksikan langsung oleh jurnalis AFP. Menanggapi eskalasi tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar pemerintah “menghentikan penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan menghormati hak berkumpul serta kebebasan berekspresi.”
PBB mencatat sedikitnya 22 orang tewas dalam hari-hari pertama demonstrasi, sementara Presiden Andry Rajoelina membantah jumlah itu. Dalam pernyataannya Rabu lalu, ia menyebut hanya 12 korban tewas, yang diklaim sebagai “perusuh dan penjarah.”
Rajoelina Kerahkan Militer
Awalnya, Rajoelina sempat mengambil langkah damai dengan membubarkan seluruh kabinetnya. Namun, dalam beberapa hari terakhir ia justru memperkuat posisi militernya dengan menunjuk seorang perwira sebagai perdana menteri pada 6 Oktober dan mengisi jabatan menteri baru dari unsur militer, kepolisian, dan keamanan publik.
Ia menegaskan bahwa negara “tidak lagi membutuhkan kekacauan.” Diketahui, Madagaskar—salah satu negara termiskin di dunia—memiliki sejarah panjang gejolak politik sejak merdeka pada 1960.
Demonstrasi rakyat kerap berujung pada pergantian kekuasaan, termasuk saat Rajoelina pertama kali naik ke tampuk pemerintahan lewat dukungan militer pada 2009.
Ia kemudian kembali memenangkan pemilu tahun 2018 dan 2023, meski kedua pemilihan itu diboikot oleh oposisi. (Web Warouw)