Oleh: Mark Gerald Keenan *
Selama lebih dari tiga dekade, frasa “sains telah ditetapkan” telah digunakan sebagai perisai sekaligus pedang dalam debat iklim global. Frasa ini melindungi para pembuat kebijakan dari pengawasan dan membungkam perbedaan pendapat dengan mengubah data kompleks menjadi dekrit moral. Namun, banyak ilmuwan, termasuk ilmuwan yang pernah bekerja dalam birokrasi iklim, menyadari betapa rapuhnya klaim “perubahan iklim disebabkan oleh CO2”.
SEBAGAI mantan ilmuwan di Departemen Energi dan Perubahan Iklim Inggris dan kemudian sebagai pakar teknis di Badan Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya menyaksikan langsung bagaimana ketidakpastian dalam ilmu iklim dikelola bukan sebagai tantangan untuk dieksplorasi, melainkan sebagai ancaman yang harus diatasi. Seluruh karier saya bergantung pada upaya mempertahankan konsensus yang telah disepakati sebelum penelitian dimulai.

Semua ini bukan berarti iklim tidak berubah. Perbincangan tentang mengapa dan bagaimana perubahan iklim telah dipersempit secara sistematis—bukan melalui penemuan, melainkan melalui keputusan. Hasilnya adalah apa yang hanya bisa disebut climate orthodoxy (ortodoksi iklim) : sebuah sistem kepercayaan yang menuntut keyakinan alih-alih pemahaman, kepatuhan alih-alih penyelidikan.
Munculnya Birokrasi Iklim
Ilmu iklim awalnya merupakan bidang penelitian, tetapi pada tahun 1990-an, ilmu ini telah berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar — dan jauh lebih politis. Pembentukan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),– sebuah panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim yang mengubah apa yang sebelumnya merupakan penyelidikan akademis menjadi sebuah lembaga global yang menghubungkan pemerintah, perusahaan, dan LSM di bawah misi bersama: mendefinisikan, mengukur, dan mengelola “masalah” sesuai kepentingam bisnis semata.
Di dalam sistem tersebut, menjadi jelas bahwa laporan IPCC bukanlah ringkasan penelitian yang netral, melainkan dokumen yang dinegosiasikan secara politis.
Bagi saya, “Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan”—satu-satunya bagian yang dibaca sebagian besar jurnalis dan politisi—sering kali ditulis terlebih dahulu, baru kemudian dikaji secara ilmiah untuk mendukung kesimpulannya.
Pembalikan tersebut—kesimpulan mendahului bukti—menjadi fondasi ortodoksi iklim. Para ilmuwan yang mempertanyakan narasi dominan CO2 atau menekankan faktor-faktor alami seperti siklus matahari dan osilasi samudera mendapati karya mereka terpinggirkan.

Konsensus Lainnya: 2.000 Ilmuwan yang Tidak Setuju
Meskipun PBB mempromosikan “konsensus” para ilmuwan iklim, terdapat banyak sekali keahlian yang mengesankan di luar lingkaran tersebut — dan hal ini menceritakan kisah yang sangat berbeda. Pada tahun 2019, Deklarasi Intelijen Iklim,– Climate Intelligence Declaration, (CLINTEL) , yang ditandatangani oleh lebih dari 2.000 ilmuwan dan profesional iklim terkemuka di lebih dari 30 negara , menyatakan dengan jelas:
“Tidak ada darurat iklim [akibat CO₂]. Arsip geologi mengungkapkan bahwa iklim Bumi telah bervariasi selama planet ini ada. Kesenjangan antara dunia nyata dan dunia yang dimodelkan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari memahami perubahan iklim. CO₂ bukanlah polusi — melainkan makanan bagi tanaman , vital bagi kehidupan dan fotosintesis. Model iklim memiliki banyak kekurangan dan sama sekali tidak masuk akal sebagai alat kebijakan global.”
CLINTEL didirikan oleh Profesor Guus Berkhout, profesor emeritus geofisika, dan Marcel Crok , seorang jurnalis sains Belanda. Saya juga merupakan penandatangan deklarasi tersebut.
CO₂ bukanlah jelaga atau asap — melainkan gas tak berbau dan tak berwarna yang berperan penting dalam fotosintesis dan kehidupan tumbuhan. Fokus PBB pada CO₂, alih-alih polutan nyata seperti racun industri atau logam berat, telah mengalihkan fokus lingkungan dari misi awalnya.

Sebagai seseorang yang pernah bekerja di sistem PBB, saya dapat membuktikan distorsi tersebut. Peran saya meliputi penyediaan Pollution Release and Transfer Register Protocol, —Protokol Registrasi Pelepasan dan Transfer Polusi, —sebuah perjanjian lingkungan multinasional yang memantau polutan udara, tanah, dan air. Polusi memang ada, dan parah. Namun, CO₂ bukanlah masalahnya — dan menggabungkan keduanya telah mencapai tujuan politik, bukan tujuan ekologis.
Ketika Sains Menjadi Rezim
Batas antara nasihat ilmiah dan advokasi politik telah lama kabur. Pemerintah dan lembaga membutuhkan urgensi untuk membenarkan regulasi dan perpajakan yang luas; LSM membutuhkan krisis untuk mempertahankan pendanaan.
Dalam lingkungan ini, kompleksitas menjadi musuh. Model iklim yang menghasilkan prakiraan mengkhawatirkan diperkuat, sementara model yang menunjukkan ketidakpastian diabaikan. Sebuah sistem insentif—moral, finansial, dan kelembagaan—muncul yang memberi penghargaan atas penyederhanaan dan ketakutan.
Frasa “consensus science”,– sains konsensus,– memasuki leksikon, — menjadi sebuah kontradiksi. Sains sejati berkembang melalui perbedaan pendapat dan penyelidikan; konsensus adalah konstruksi politik. Namun, begitu istilah itu mengakar, ia menjadi senjata. Mempertanyakannya menandai seseorang sebagai seorang yang sesat.

Bahasa iman,— keyakinan, penyangkalan, keselamatan—menggantikan bahasa analisis. Apa yang awalnya merupakan kepedulian lingkungan mengeras menjadi semacam teologi sekuler: carbon credo (kredo karbon).
Keberqtan Para Ilmuwan
Beberapa ilmuwan paling berbakat di bidang tersebut telah mengajukan keberatan serius,— sering kali dengan biaya pribadi dan profesional yang besar.
Nils-Axel Mörner, mantan ketua UN Committee on Sea Level Changes (Komite Perubahan Permukaan Laut) IPCC PBB, menyatakan:
“Kebenaran ilmiah ada di pihak skeptis… Saya punya ribuan ilmuwan tingkat tinggi di seluruh dunia yang setuju bahwa TIDAK, CO2 bukanlah mekanisme pendorongnya dan bahwa semuanya dibesar-besarkan… Saya curiga bahwa para promotor di balik layar… punya motif tersembunyi… Ini cara yang luar biasa untuk mengendalikan pajak, mengendalikan rakyat.”
Profesor John R. Christy, Direktur Ilmu Atmosfer dan Bumi, University of Alabama, menyatakan:
“Teori pemanasan global yang berlaku saat ini secara signifikan salah mengartikan dampak gas rumah kaca tambahan; cuaca yang paling memengaruhi manusia tidak menjadi lebih ekstrem atau lebih berbahaya; suhu lebih tinggi pada tahun 1930-an.”
Profesor Richard Lindzen, Profesor Emeritus Ilmu Atmosfer di MIT, mencatat:
“Sepanjang sejarah Bumi, hampir tidak ada korelasi antara iklim dan CO₂. Narasi ini memberi pemerintah kekuasaan untuk mengendalikan sektor energi… Para elit selalu mencari cara untuk mengiklankan keunggulan mereka dan menegaskan otoritas mereka.”
Patrick Moore, salah satu pendiri Greenpeace, secara terbuka menyatakan:
“Seluruh krisis iklim bukan hanya berita palsu, melainkan sains palsu. Kita dibajak oleh kaum kiri ekstrem, yang mengubah Greenpeace dari organisasi berbasis sains menjadi organisasi berbasis rasa takut.”

Uang di Balik Mandat
Finansialisasi karbon — melalui perdagangan emisi, kredit karbon, dan portofolio investasi hijau — mengubah urgensi moral menjadi peluang ekonomi.
Pemerintah menggelontorkan miliaran dolar untuk subsidi energi terbarukan, yang seringkali menguntungkan kepentingan korporasi dan perbankan alih-alih lingkungan. Paradoks ini jarang dibahas. Jika krisis iklim benar-benar eksistensial, akankah pengelolaannya benar-benar dipercayakan kepada mereka yang diuntungkan?
Dalam buku Climate CO₂ Hoax – How Bankers Hijacked the Environmental Movement , saya merinci bagaimana KTT Bumi PBB di Rio de Janeiro tahun 1992 menandai momen penting ketika para elit perbankan secara efektif mengambil kendali atas kebijakan lingkungan global. Para pelapor sejak saat itu mengklaim bahwa dekrit-dekrit yang mengarah pada KTT tersebut dirancang tanpa perdebatan — dekrit yang akan mengesampingkan kedaulatan nasional atas nama keberlanjutan. Beli bukunya di sini .
Net Zero dan Fatamorgana Energi Hijau
Saat ini, perekonomian dunia sedang direstrukturisasi untuk mencapai tujuan nol emisi bersih. Namun ironinya sangat jelas: pembangunan infrastruktur untuk “energi hijau” — mulai dari panel surya hingga baterai kendaraan listrik — bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil yang masif dan penambangan logam tanah jarang yang merusak.
Mobil listrik, yang digadang-gadang sebagai masa depan, mengandalkan litium dan kobalt yang diekstraksi melalui proses industri yang merusak ekosistem lokal. Energi yang dibutuhkan untuk menambang, mengangkut, dan memurnikan bahan-bahan ini seringkali melebihi energi yang “dihemat” oleh kendaraan itu sendiri. Ini merupakan redistribusi polusi industri dengan merek baru.
Di Jerman, transisi energi hijau telah mengubah jaringan energi yang dulunya stabil dan berbiaya rendah menjadi salah satu yang termahal di dunia industri. Di Irlandia, rencana penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara Moneypoint dibatalkan pada tahun 2022 karena pemerintah diam-diam mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbahan bakar minyak — sebuah pengakuan diam-diam bahwa fantasi “energi terbarukan” menghadapi batas yang berat ketika dihadapkan dengan kenyataan.

Membungkam Perbedaan Pendapat
Para ilmuwan yang mempertanyakan ortodoksi CO₂ menghadapi penyensoran, pengucilan profesional, dan daftar hitam media. Istilah seperti “penyangkal” menyamakan skeptisisme ilmiah dengan kebobrokan moral. Ini bukan bahasa sains; melainkan bahasa dogma.
Seperti yang diamati oleh Dr. Roger Pielke Jr. dari Universitas Colorado setelah meninjau laporan IPCC terbaru PBB:
Richard Moss dari IPCC memperingatkan bahwa RCP 8.5 tidak boleh digunakan sebagai referensi untuk RCP lainnya, tetapi 5.800 makalah ilmiah di seluruh dunia menyalahgunakannya seperti itu… Seluruh prosesnya sangat cacat… Ilmu iklim memiliki masalah besar! IPCC saat ini menggunakan RCP 8.5 sebagai skenario ‘bisnis seperti biasa’, tetapi RCP 8.5 hanyalah dunia khayalan liar dan sama sekali tidak relevan dengan realitas saat ini… ilmu iklim mengalami krisis integritas ilmiah.
Ketika pencarian kebenaran berubah menjadi ajaran sesat, ilmu pengetahuan itu sendiri runtuh di bawah beban ideologi.
Moralisasi Karbon
CO₂ telah diinterpretasikan ulang sebagai polutan moral — simbol rasa bersalah manusia. Istilah “carbon footprint” (jejak karbon) mereduksi sistem global yang kompleks menjadi dosa pribadi, mengajarkan warga negara bahwa keberadaan mereka menuntut penebusan dosa melalui konsumsi “hijau”. Namun, banyak dari produk yang sama ini — mulai dari mobil listrik hingga infrastruktur surya — bergantung pada ekstraksi industri yang sama yang dulu ditentang oleh gerakan lingkungan.
Kerangka moral ini memiliki tujuan politis. Alih-alih mempertanyakan lembaga-lembaga yang diuntungkan dari polusi dan dugaan penyembuhannya, individu justru didorong untuk menyalahkan diri sendiri. Ini adalah strategi lama untuk mengendalikan—memerintah dengan rasa bersalah, alih-alih dengan kekerasan.

Politik Ketakutan
Tak ada ideologi yang bertahan tanpa rasa takut. Citra apokaliptik (kiamat)—hutan yang terbakar, kota-kota yang kebanjiran, jam-jam kepunahan—telah menggantikan bukti empiris sebagai instrumen utama persuasi. Padahal, kebakaran dan banjir setua Bumi itu sendiri. Yang berubah bukanlah iklim, melainkan cara rasa takut digunakan untuk menafsirkannya.
Anak-anak kini tumbuh dengan keyakinan bahwa planet ini akan runtuh sebelum mereka dewasa, sementara para politisi menggunakan retorika “ancaman eksistensial” untuk membenarkan kontrol sosial dan ekonomi yang luas. Dulu, isu lingkungan hidup merupakan tantangan bagi kekuasaan korporasi dan negara. Namun, kini, isu tersebut justru terlalu sering menguntungkan mereka.
Kredo Baru
Ortodoksi iklim modern lebih merupakan konstruksi sosiopolitik daripada konsensus ilmiah — perpaduan antara ketakutan, uang, dan birokrasi yang lebih mengutamakan kepatuhan daripada pemahaman. Sains tidak boleh melayani ideologi. Ketika data menjadi dogma, penyelidikan mati — dan bersamanya, kebenaran itu sendiri.
Ketika ortodoksi menggantikan penyelidikan, kebijakan mengikuti keyakinan, bukan bukti — dan warga negara menanggung akibatnya berupa kenaikan biaya dan menyusutnya kebebasan. Jika kita sungguh-sungguh ingin menyelamatkan planet ini, pertama-tama kita harus menyelamatkan sains itu sendiri.
——
*Penulis Mark Gerald Keenan adalah penulis Climate CO2 Hoax: How Bankers Hijacked the Environment Movement ; mantan ilmuwan di Departemen Energi dan Perubahan Iklim Pemerintah Inggris; dan mantan Pejabat Urusan Lingkungan di United Nations Environment.
Buku-buku berikut tersedia di Amazon dan Reality Books.
- CO2 Climate Hoax – How Bankers Hijacked the Real Environment Movement
- No Worries No Virus
- Fake Moon Landings and the Lies of NASA
- Demonic Economics and the Tricks of the Bankers
- Censored History of WW2 and Communism
- Original Christianity – Beyond Institutional Dogma
- The War on Men: How the New Gender Politics Is Undermining Western Civilization
Artikel ini diterjemahkan Bergelora.com dari artikel yang berjudul “When Data Becomes Dogma: The Making of Climate Orthodoxy” di media Global Research.