JAKARTA — Pemerintah sedang mengkaji delapan skenario kebijakan terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk memastikan keberlangsungan dana program tersebut.
Opsi yang bergulir mulai dari kenaikan iuran BPJS Kesehatan 2026 hingga perubahan batas atas gaji pekerja dalam perhitungan iuran.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mahesa Pranadipa Maykel mengungkap bahwa saat ini rasio klaim BPJS Kesehatan sudah berada di atas 100%. Artinya, klaim yang dibayarkan sudah lebih besar dari total iuran yang diperoleh, sehingga bisa mengancam keberlangsungan program JKN.
Mahesa menyebut bahwa perlu ada perubahan kebijakan ke depannya untuk memastikan kondisi keuangan BPJS Kesehatan terjaga. Dia pun mengungkap bahwa DJSN bersama pemerintah sedang mengkaji delapan skenario kebijakan untuk BPJS Kesehatan pada 2026.
“Bauran kebijakan ini perlu diatur secara saksama, jangan sampai menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat,” ujar Mahesa usai Pertemuan Nasional Fasilitas Kesehatan di Jakarta, pekan lalu, dikutip pada Senin (13/10/2025).
Mahesa tidak mengungkap dengan detil delapan skenario kebijakan itu. Namun, dia menyebut bahwa salah satu opsi yang menjadi pembahasan adalah menaikkan tarif segmen penerima bantuan iuran (PBI).
“Ada delapan alternatif yang sedang dibahas oleh tim,” ujarnya.
Seperti diketahui, iuran PBI berasal langsung dari kantong pemerintah, baik yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
Berdasarkan data BPJS Kesehatan per Agustus 2025, sebanyak 41,5% peserta atau 116,9 juta orang merupakan peserta PBI, lalu terdapat 21% atau 59,2 juta orang peserta yang didaftarkan dan dibayar iurannya oleh Pemda—beberapa tahun lalu dikenal sebagai peserta PBI APBD.
Artinya, jika tarif PBI naik maka penerimaan iuran BPJS otomatis akan naik karena pemerintah yang membayarnya, dan besaran dana yang diperoleh pun sudah jelas.
Naiknya iuran PBI secara otomatis akan menambah penerimaan BPJS Kesehatan dari 62,5% pesertanya. Terakhir kali iuran BPJS Kesehatan naik adalah pada 2020. Saat itu, BPJS Kesehatan mengalami defisit menahun dan ada risiko keterlambatan pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan.
Setelah iuran naik dan klaim turun (karena efek pandemi Covid-19, yakni biaya pelayanan kesehatan ditanggung pemerintah), keuangan BPJS Kesehatan menjadi surplus.
Pers kemudian mengonfirmasi opsi lainnya kepada Mahesa terkait iuran segmen peserta pekerja penerima upah (PPU), yakni batas atas gaji dalam perhitungan iuran BPJS para pekerja. Mahesa membenarkan hal itu masuk dalam delapan skenario kebijakan yang menjadi pembahasan DJSN.
“[Threshold iuran PPU] itu salah satu alternatif yang sudah dibahas di dalam, jadi ada batas atas dan batas bawah,” ujar Mahesa.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menetapkan bahwa terdapat rentang gaji untuk perhitungan iuran BPJS Kesehatan para pekerja atau segmen PPU.
Pasal 32 Perpres 59/2024 menetapkan bahwa batas paling rendah dalam perhitungan iuran peserta PPU adalah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK). Besaran batas minimum itu dikecualikan bagi pekerja usaha mikro kecil.
Sementara itu, batas atas untuk perhitungan iuran PPU adalah Rp12 juta. Artinya, para pekerja dengan gaji Rp15 juta, atau bahkan Rp30 juta, tetap masuk kategori gaji Rp12 juta dalam perhitungan iuran PPU. Kenaikan batas atas atau threshold perhitungan gaji itu akan menambah pendapatan BPJS Kesehatan dari para pekerja maupun bos dengan gaji di atas Rp12 juta.
Ketahanan Dana BPJS Kesehatan Cukup Rentan
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir menjelaskan bahwa terdapat risiko ketahanan dana JKN dengan besaran iuran saat ini jika dibandingkan dengan perkembangan klaim.
Menurutnya, dana BPJS Kesehatan hanya bisa bertahan untuk membayar klaim rumah sakit hingga pertengahan 2026, sehingga perlu adanya penyesuaian kebijakan.
“Kalau berdasarkan perhitungan aktuaria, kami bisa bertahan hingga Juni 2026, tetapi setelah itu kami akan mengalami defisit,” ujar Abdul.
Dia tidak bisa menentukan apakah rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan 2026 akan berlaku atau tidak, karena keputusan itu berada di tangan pemerintah.
“Itu sangat tergantung dari keputusan pemerintah. Kami lagi menunggu ini apakah naik naik atau tidak, tergantung bapak presiden, menteri keuangan, dan DJSN,” ujarnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menilai bahwa jika iuran naik, prinsip kehati-hatian harus menjadi prioritas, sembari memperhatikan aspek solvabilitas JKN. Ghufron menjelaskan bahwa terdapat potensi kenaikan klaim BPJS Kesehatan menjadi Rp201 triliun, sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). Nilai itu naik dari klaim 2024 senilai Rp175 triliun.
“Yang jelas RKAT BPJS untuk tahun 2025 itu Rp201 triliun untuk pengeluaran,” ujarnya.
Apakah Iuran BPJS Kesehatan Harus Naik 2026?
Pengamat jaminan sosial Elyasani Irwanti menilai bahwa pemerintah memang perlu menaikkan iuran BPJS Kesehatan demi keberlangsungan program JKN. Namun, di tengah kondisi ekonomi saat ini, kenaikan tidak bisa berlaku untuk semua segmen peserta.
“Kenaikan iuran kemungkinan tidak akan berlaku untuk semua segmen peserta secara seragam. Tentunya pemerintah akan memepertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat juga, ya,” ujar Elyasani kepada Bisnis, Senin (13/10/2025).
Dia menilai bahwa pemerintah harus melakukan sejumlah langkah untuk menjaga ketahanan dana JKN dalam kondisi ekonomi saat ini. Salah satu sorotannya adalah pengelolaan biaya pelayanan kesehatan. Pengelolaan itu menjadi penting agar rasio klaim lebih terjaga dan keuangan JKN bisa lebih berkelanjutan.
Lalu, Elyasani juga menilai BPJS Kesehatan harus memastikan semua peserta terdaftar dan aktif.
Semakin banyak peserta yang aktif, maka semakin besar pula penerimaan iurannya, yang membuat keuangan JKN bisa lebih aman.
“Dalam hal ini berlaku hukum bilangan besar [law of large number], yaitu prinsip probabilitas yang menyatakan bahwa semakin besar jumlah tertanggung yang menjadi peserta, maka semakin akurat prediksi badan penyelenggara terhadap kerugian di masa depan. Ada prinsip gotong royong di sini, yang sehat membantu yang sakit, yang kuat membantu yang lemah, yang berpenghasilan besar membantu yang berpenghasilan kecil,” ujarnya.
Dia juga menilai bahwa setelah semakin banyak peserta yang aktif, BPJS Kesehatan harus melakukan pengelolaan iuran dengan baik dan benar. Hal itu penting agar peserta tetap menerima manfaat dengan baik, tetapi penerimaan iuran BPJS juga berjalan lancar. (Web Warouw)