JAKARTA— Para ilmuwan telah berhasil menciptakan chip memori yang sangat tipis dengan ketebalan hanya beberapa atom saja. Bahkan chip ini dibangun dan diintegrasikan ke chip silikon konvensional, sehingga menjadi terobosan pertama di dunia yang memadukan material dua dimensi (2D) dengan teknologi silikon biasa.
Chip ini diciptakan oleh sekelompok peneliti yang dipimpin oleh Chunsen Liu di Universitas Fudan, Shanghai, China. Pencapaian para ilmuwan ini dinilai dapat menjembatani kesenjangan material 2D dan pengaplikasiannya di dunia nyata.
Material 2D adalah bahan yang hanya memiliki ketebalan satu atau beberapa lapisan atom saja. Ketebalannya sangat tipis seperti kertas, tapi punya kekuatan dan sifat unik di dunia elektronik.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan berupaya untuk terus mengecilkan papan sirkuit pada chip silikon, tetapi teknologi yang sudah diterapkan saat ini dinilai sudah mendekati batas.
Nah, material 2D yang sangat tipis, dapat menjadi solusi dari keterbatasan itu. Namun, cara mengintegrasikan material ini dengan prosesor konvensional menjadi rintangan tersendiri. Sebab, struktur bahan 2D yang rapuh dan kurang stabil.
Untuk mengatasinya, tim peneliti China tadi menciptakan teknologi baru bernama Atom2Chip. Teknologi ini mencakup sejumlah inovasi termasuk proses yang memungkinkan material 2D (monolayer molybdenum disulfide) ditumpukkan dengan permukaan kasar chip CMOS (Complementary Metal-Oxide-Semiconductor), serta kemasan khusus untuk melindungi lapisan bahan 2D yang rapuh.
Kepada Bergelora.com di Jakarta, Rqbu (15/10) dilaporkan, para peneliti juga mendesain sistem lintas platform baru guna memastikan kombinasi komponen ini dapat berkomunikasi dan berjalan dengan lancar. Hasilnya, mereka menciptakan chip memori flash NOR 2D dengan fitur yang lengkap dan mampu menjalankan operasi kompleks. Pencapaian ini juga dipublikasikan para peneliti lewat jurnal Nature.
Berdasarkan pengujian, chip ini mampu mencapai clockspeed 5 MHz serta menunjukkan kecepatan pemrograman dan penghapusan data cepat 20 nanodetik disertai konsumsi daya yang rendah. Chip ini juga mampu meretensi data hingga sepuluh tahun dengan daya tahan lebih dari 100.000 siklus penulisan. Artinya, chip ini dapat menyimpan dan menghapus data berulang kali hingga 100.000 kali tanpa mengalami kerusakan atau penurunan kualitas secara signifikan.
Pada akhirnya, chip ini menjadi blueprint untuk chip memori generasi selanjutnya yang hadir dengan kepadatan lebih tinggi serta efisiensi energi yang lebih tinggi pula.
Walaupun chip yang diciptakan para peneliti ini difokuskan untuk penyimpanan data, pendekatan yang sama boleh jadi bakal diterapkan untuk prosesor perangkat lainnya. Inovasi ini nantinya bisa menghasilkan perangkat yang dengan performa yang lebih cepat, lebih tipis dan lebih hemat daya.
Ramai-ramai Serbu AS
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Industri chip tak ubahnya ‘harta karun’ yang jadi rebutan negara-negara ekonomi terbesar di dunia. Pasalnya, chip merupakan tulang punggung infrastruktur teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diprediksi akan mendorong transformasi inovasi dan kehidupan manusia secara umum.

Amerika Serikat (AS) dan China sudah terlibat ‘perang’ untuk mendominasi industri chip agar bisa menguasai teknologi AI. Selain itu, Taiwan dan Korea Selatan juga dikenal sebagai negara produsen chip krusial dalam rantai pasok global.
Sejak era kepemimpinan Joe Biden, larangan ekspor chip dan alat pembuat chip ke China sudah dilancarkan untuk menghambat perkembangan di negeri Tirai Bambu.
Namun, langkah itu justru membawa ‘berkah’ bagi China yang makin kencang mengembangkan industri chip secara mandiri. Pabrikan lokal seperti Huawei menangkap peluang dan menciptakan chip sendiri untuk mengalahkan dominasi Nvidia asal AS.
China tak tanggung-tanggung menggelontorkan investasi dan subsidi pemerintah untuk pengembangan chip. Di sisi lain, AS juga makin menggenjot industri chip dalam negeri.
Terbaru, Nikkei Asia melaporkan bahwa investasi chip AS diproyeksikan akan melewati China, Taiwan, dan Korea Selatan, pada 2027 mendatang, dikutip dari Taiwan News, Senin (13/10/2025).
Investasi chip AS yang makin gencar didorong oleh kebijakan Trump yang meminta produksi semikonduktor diperkuat secara domestik.
Laporan Nikkei Asia menyebut AS akan melihat lonjakan pengeluaran untuk membangun fasilitas fabrikasi dan alat pembuat chip canggih hingga 2030 mendatang, menurut ramalan dari Semi.
Dorongan ini akan didukung oleh insentif pemerintah yang menargetkan produksi chip memori dan logika.
Lebih spesifik, investasi chip di AS dari 2027 ke 2030 diproyeksikan bisa tembus US$158 miliar (Rp2.619 triliun). Senior Director untuk Market Intelligence Semi, Tseng Jui-yu, mengatakan pertumbuhan dengan skala tersebut belum pernah terlihat di mana-mana.
“AS sepertinya akan melampaui seluruh dunia dari segi pertumbuhan berdasarkan komitmen-komitmen manufaktur semikonduktor yang telah terkonfirmasi sejauh ini,” kata Tseng dalam gelaranperdagangan Semicon West di Phoenix, AS.
Ia menambahkan bahwa proyek-proyek yang dibekingi pemerintah sepertinya akan membuat pengeluaran AS melampaui para kompetitor dalam dekade ke depan.
Laporan Semi juga menunjukkan bahwa pengeluaran global untuk alat pabrik chip yang memproduksi wafer 12 inci akan mencapai NT$11,4 triliun (Rp6.159 triliun) antara 2026 dan 2028. Angka tersebut akan melampaui nilai NT$3 triliun untuk pertama kalinya, menandai pencapaian baru setelah ekspansi pasca-pandemi.
Para analis industri mengatakan lonjakan pengeluaran menunjukkan optimisme bahwa permintaan chip AI akan terus bertahan di masa depan.
Sejak perilisan ChatGPT oleh OpenAI pada 2022, permintaan data center dan komputasi canggih kian membara. Hal ini mendorong peningkatan pemesanan untuk prosesor AI dan teknologi pengemasan canggih.
Para raksasa pembuat chip merespons fenomena ini dengan investasi yang memecahkan rekor di fasilitas AS. TSMC asal Taiwan telah berkomitmen untuk menggelontorkan investasi total senilai NT$5 triliun untuk banyak situs.
Sementara itu, Samsung mengeluarkan lebih dari NT$1,22 triliun di Texas. Raksasa memori AS Micron Technology menginvestasikan NT$6,1 triliun di berbagai proyek yang tersebar di Idaho, New York, dan Virginia.
Dengan komitmen-komitmen tersebut, AS diprediksi akan melampai Jepang dalam pengeluaran alat produksi chip hingga 2028. Semi memproyeksikan investasi AS untuk alat pembuat chip tembus NT$1,83 triliun dari 2026-2028.
China akan menjadi pembeli alat chip terbesar dengan estimasi pengeluaran mencapai NT$2,87 triliun di 2026-2028. Namun, fokusnya akan didominasi pada mature nodes yang lebih ‘rendah’, seiring pembatasan akses ekspor AS ke teknologi yang digunakan untuk prosesor kelas atas.
Korea Selatan dan Taiwan diprediksi akan menginvestasikan masing-masing NT$2,6 triliun dan NT$2,3 triliun pada periode yang sama. Eropa dan Timur Tengah secara bersamaan diprediksi akan mengeluarkan NT$427 miliar, sementara Asia Tenggara akan berinvestasi sekitar NT$366 miliar.
Proyeksi ini juga merefleksikan perkembangan baru-baru ini di antara para pemain utama AI. OpenAI baru saja mengumumkan kesepakatan jangka panjang dengan AMD untuk membeli ratusa ribu chip AI yang setara dengan kapasitas 6 gigawatt mulai akhir 2026.
Kesepakatan ini mengikuti mekanisme serupa dengan Nvidia yang akan menciptakan sistem berkinerja tinggi setidaknya berkapasitas 10 gigawatt.
Analis memprediksi pembuat chip kontrak seperti intel akan melakukan ekspansi secara agresif untuk memenuhi pesanan-pesanan tersebut. CEO Intel Lip-Bu Tan mengatakan di Semicon West bahwa perusahaan berencana melipatgandakan bisnis pengecorannya, meskipun terjadi pelemahan produksi baru-baru ini.
“Seiring chip AI menjadi makin rumit, pengemasan canggih menjadi hambatan, dan kemudian kendala kapasitas,” ujarnya.
“Bagaimana cara benar-benar meningkatkan skalanya agar memenuhi permintaan, menurut saya, merupakan peluang yang luar biasa bagi Intel,” ia menuturkan.
Amerika Tak Siap Sama Sekali
China kini memperketat kendali atas logam tanah jarang (rare earths)—mineral penting bagi teknologi canggih seperti kendaraan listrik, chip, dan sistem pertahanan—hingga berubah dari sekadar kekhawatiran strategis jangka panjang menjadi ancaman ekonomi nyata.

Melansir Fortune, ekonom senior dari Wharton, Jeremy Siegel, memperingatkan bahwa Amerika Serikat sama sekali tidak siap menghadapi krisis ini.
“Sungguh memalukan bahwa kita tidak memiliki cadangan strategis logam tanah jarang,” ujar Siegel kepada CNBC Squawk Box pada Senin.
Dia menambahkan, “Kita membiarkan China memonopoli 90% pemurnian bahan ini. Di mana kita saat itu, ketika seharusnya menyadari betapa pentingnya hal ini?”
Siegel mendesak pemerintah AS untuk membangun cadangan logam tanah jarang nasional, mirip dengan Strategic Petroleum Reserve (Cadangan Minyak Strategis) yang dibentuk tahun 1975 setelah embargo minyak Arab membuat Amerika lumpuh secara geopolitik.
Peringatan Siegel muncul hanya beberapa hari setelah Beijing mengumumkan kontrol ekspor besar-besaran yang mengharuskan perusahaan di seluruh dunia meminta izin Tiongkok sebelum mengekspor ribuan produk yang mengandung sedikit saja unsur logam tanah jarang.
Langkah itu mengguncang rantai pasok industri dan pertahanan AS, yang sangat bergantung pada kemampuan pemrosesan mineral Tiongkok.
Namun, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan pada Senin bahwa Presiden Donald Trump tetap akan bertemu dengan Xi Jinping akhir bulan ini, dan Washington siap “melakukan apa pun yang diperlukan” untuk merespons pembatasan ekspor Beijing.
Bessent mengatakan dalam wawancara dengan Fox Business bahwa sudah ada “komunikasi intensif” antara pejabat AS dan Tiongkok selama akhir pekan, dan memastikan pertemuan bilateral Trump–Xi di sela-sela KTT APEC di Korea Selatan masih sesuai jadwal akhir Oktober. (Enrico N. Abdielli)