Minggu, 19 Oktober 2025

Ketika Maluku Menjadi Titik Terlemah Dalam Peta Investasi Nasional

Oleh: Jefri Tipka, S.Si, M.Si*

“Di tengah kabar menggembirakan capaian investasi nasional yang menembus Rp.491,4 triliun hingga September 2025, Maluku justru menyisakan ironi. Dengan nilai investasi hanya Rp167,8 miliar atau kurang dari satu persen nasional, provinsi kaya sumber daya ini kembali menjadi titik terlemah dalam peta investasi Indonesia.”

KETIKA Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM merilis capaian investasi januari-september tahun 2025, banyak dari kita tentu ikut bangga. Indonesia kembali menorehkan kinerja yang mengesankan dimana nilai investasi mencapai Rp491,4 triliun, naik hampir 14 persen dibanding tahun lalu, dan sudah menembus tiga perempat dari target tahunan.

Di tengah dinamika global yang tidak menentu, angka ini adalah kabar baik sebagai tanda bahwa, Indonesia masih dipercaya sebagai tempat yang layak menanam modal.

Namun di balik Euforia Nasional itu, saya terdiam sejenak saat membaca satu bagian kecil dari laporan tersebut. Di antara deretan provinsi yang berlomba menarik investasi, nama Maluku berdiri di urutan hampir paling akhir peringkat ke-37 dari 38 provinsi. Nilai investasinya hanya Rp167,8 miliar dengan 1.724 proyek. Jika dikonversi, itu bahkan kurang dari satu persen dari total nasional.

Di saat daerah lain berlari, Maluku seperti tertinggal di garis start.Peta Wisata Maluku

Yang membuat hati semakin tercekat, perbandingan dengan provinsi tetangga sungguh mencolok. Provinsi Maluku Utara dimana daerah yang serumpun secara geografis, bahkan dulunya satu wilayah administrasi, kini menempati peringkat ke-12 nasional dengan realisasi investasi Rp 17,3 triliun. Perbedaan seratus kali lipat itu bukan sekadar angka, tapi gambaran nyata tentang jurang pembangunan yang makin melebar di antara dua daerah yang hanya dipisahkan oleh laut.

Saya mencoba memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Maluku adalah rumah bagi kekayaan laut yang luar biasa, hamparan kelapa yang luas, dan tanah yang subur oleh rempah. Tapi ironinya, kekayaan itu tidak berubah menjadi kekuatan ekonomi. Potensi yang sering kita banggakan, ternyata belum mampu mengundang kehadiran investor dalam skala yang berarti.

Maluku Jalan Di Tempat

Dalam empat tahun terakhir, tren investasi di Maluku seolah jalan di tempat. Hingga September 2025, total investasi yang masuk baru sekitar Rp 0,7 triliun, atau hanya 0,05 persen dari total nasional.

Angka itu nyaris tak bergerak dari tahun ke tahun, seperti air tenang yang tak kunjung bergelombang.

Sementara itu, provinsi lain di Indonesia Timur seperti Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara justru melaju pesat, memanfaatkan momentum hilirisasi mineral dan energi. Maluku, sebaliknya, masih berkutat di ruang promosi potensi yang terlalu sering diucapkan, tapi jarang diwujudkan.

Saya melihat ini bukan sekadar masalah angka, tapi masalah arah. Maluku seperti kapal besar yang punya layar megah, tetapi tidak tahu ke mana angin harus diarahkan.

Potensi ada, tetapi tidak terkelola. Peluang terbuka, tetapi tidak dimasuki. Ini yang dalam teori ekonomi disebut resource paradox, ketika daerah yang kaya sumber daya justru tertinggal karena tidak mampu mengelolanya menjadi nilai tambah.

Investasi Sulit Mengalir

Ada hal-hal struktural yang membuat arus investasi sulit mengalir ke Maluku. Pertama, biaya logistik yang masih tinggi. Sebagai provinsi kepulauan, distribusi barang dan bahan baku antar wilayah di Maluku membutuhkan ongkos besar. Pelabuhan yang belum sepenuhnya modern, konektivitas antar pulau yang terbatas, dan ketergantungan pada jalur laut membuat biaya usaha meningkat. Investor tentu berhitung, dan di situlah banyak rencana berhenti di atas kertas.

Kedua, kesiapan infrastruktur dasar yang belum optimal. Di banyak wilayah, ketersediaan listrik, air bersih, dan kawasan industri yang siap pakai masih menjadi kendala. Investor mencari kepastian, bukan hanya janji. Mereka ingin lokasi yang jelas, lahan yang bebas konflik, dan dukungan pemerintah daerah yang tangkas. Sayangnya, Maluku belum mampu menawarkan semua itu secara menyeluruh.

Ketiga, soal tata kelola. Perizinan yang lambat, koordinasi antar lembaga yang belum sinkron, dan promosi yang kurang strategis sering membuat minat investasi menguap di tengah jalan.

Kita sering mengundang investor datang, tapi lupa menyiapkan rumahnya dengan baik.

Dalam konteks ini, yang dibutuhkan bukan sekadar brosur potensi, tapi proposal investasi daerah yang konkret, lengkap dengan analisis ekonomi dan proyeksi keuntungan yang masuk akal.

Yang paling menyedihkan, ketika pemerintah pusat sedang gencar mendorong hilirisasi sebagai kunci pertumbuhan baru, nama Maluku tidak muncul dalam daftar daerah yang aktif melakukan hilirisasi.

Sektor perikanan dan kelautan nasional mencatat investasi Rp1,5 triliun, tapi Maluku tidak kebagian peran besar di dalamnya. Padahal, kita dikenal sebagai “lumbung ikan” di kawasan timur.

Ironi ini menegaskan betapa hilirisasi di sektor maritim belum benar-benar menyentuh daerah yang seharusnya menjadi tulang punggungnya.

Lihatlah Maluku Utara. Mereka memulai dari nol, tetapi dengan keberanian membuka kawasan industri nikel dan mengundang investor global, kini ekonominya melesat. Sementara itu, di Maluku, ikan masih diekspor dalam bentuk segar, kopra masih dijual mentah, dan pala tetap diperdagangkan seperti berabad-abad lalu. Tidak ada pabrik pengolahan besar, tidak ada industri maritim modern, dan tidak ada pusat logistik terpadu yang bisa memperkuat rantai nilai.

Ini Bukan Takdir!

Potensi kita ibarat tambang mas yang tidak pernah digali.

Namun saya percaya, keterbelakangan bukanlah takdir. Banyak daerah di Indonesia Timur yang dulu dianggap pinggiran, kini bisa menembus sepuluh besar nasional.

Artinya, faktor geografis bukan alasan abadi. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan arah yang jelas.

Kepemimpinan daerah menjadi kunci dimana bagaimana menggerakkan birokrasi agar lebih adaptif, menata regulasi agar lebih ramah, dan menempatkan investasi produktif sebagai prioritas utama pembangunan.

Butuh Peta Jalan Baru

Maluku butuh peta jalan baru dimana sebuah Masterplan Investasi Daerah yang fokus pada dua sektor unggulan yaitu hilirisasi perikanan dan diversifikasi produk kelapa. Kedua sektor ini punya daya tahan dan rantai ekonomi panjang, serta bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal.

Dari sisi pemerintah pusat, Maluku juga layak mendapat perhatian lebih. Sebagai provinsi afirmasi di kawasan timur, sudah saatnya Maluku diberikan insentif fiskal khusus atau bahkan difasilitasi pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis maritim.

Langkah seperti ini akan memberi sinyal kuat bahwa pemerintah serius membangun keseimbangan ekonomi antar wilayah.

Namun semua itu akan sia-sia jika perubahan tidak dimulai dari dalam diri kita sendiri. Kita membutuhkan semangat baru dimana semangat untuk keluar dari keluhan, dan mulai bergerak.

Investasi bukan hanya urusan modal asing atau angka statistik; ia tentang kepercayaan. Ketika kita bisa menunjukkan tata kelola yang jujur, kepastian yang jelas, dan kemauan untuk melayani, investor akan datang bukan karena kita memohon, tapi karena mereka percaya.

Menjadi titik terlemah dalam peta investasi nasional memang menyakitkan, tetapi juga bisa menjadi titik awal kebangkitan. Dari titik inilah Maluku dapat belajar, menata arah, dan memperbaiki langkah. Seperti perahu yang menunggu angin, kita hanya perlu memastikan layar sudah terkembang dan tujuan sudah jelas.

Karena potensi tanpa arah hanyalah cerita, sementara investasi adalah cara agar potensi itu hidup dan memberi harapan bagi banyak orang.

Saya teringat kata-kata Gunnar Myrdal, ekonom pembangunan asal Swedia: “Daerah yang tertinggal bukanlah daerah yang kekurangan sumber daya, melainkan daerah yang gagal menciptakan kelembagaan yang mendorong kemajuan.” Kalimat itu seolah ditulis untuk Maluku hari ini. Kita tidak kekurangan laut, tidak kekurangan tanah, dan tidak kekurangan orang-orang yang cerdas. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk berbenah dan kemauan untuk berubah.

Masa depan Maluku tidak akan ditentukan oleh seberapa besar potensi yang kita punya, tetapi oleh seberapa sungguh-sungguh kita mengelolanya. Dari titik terlemah sekalipun, sebuah kebangkitan bisa dimulai dan bila ada kemauan yang tulus, arah yang jelas, dan hati yang berpihak pada kemajuan rakyat.

Karena saya percaya, suatu hari nanti, ketika peta investasi nasional kembali diterbitkan, nama Maluku tidak lagi berada di barisan terbawah, melainkan naik perlahan, dengan langkah yang pasti, menuju tempat yang selayaknya sebagai simpul pertumbuhan baru ekonomi maritim Indonesia.

——-

*Penulis Jefri Tipka, S.Si, M.Si, Koordinator Bidang Perumusan Kebijakan ISEI Cabang Ambon 2025-2028

 

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru