Oleh: Edy Haryadi*
APA makna kebebasan pers di Indonesia? Mungkin dampak positifnya karena pemodal atau perbankan besar tidak bisa sepenuhnya membungkam dan menutup-nutupi kasus almarhum anak tunggal saya Raka Arung Aksara saat kami berdua memutuskan melawan Bank HSBC Indonesia dan PT Valdo International. Ini mungkin bisa membuat almarhumah istri saya Yuni Tanjung tersenyum di keabadian.
Ya, ketika media arus utama memilih tidak memberitakan kasus Arung, saya mencoba merenung. Awalnya saya pikir karena mungkin jumlah nominalnya terlalu kecil: cuma di bawah Rp 50 juta. Juga mungkin ini dianggap merupakan kasus individual. Tapi mereka lupa, kasus Arung adalah puncak gunung es dari ribuan kasus ketenagakerjaan akibat struktur outsourcing atau alih daya di bawah permukaaan dunia perbankan.
Maka pada Minggu siang 4 Oktober 2025 kemarin, iseng-iseng saya bertanya pada kecerdasan buatan alias Akal Imitasi (AI) Google: PT Valdo International bekerja sama dengan bank apa saja di Indonesia? Jawaban AI Google mengejutkan: “PT Valdo International bekerjasama dengan berbagai bank, baik bank asing maupun bank nasional, termasuk Citibank, HSBC, Standard Chartered, Permata Bank, Maybank, Bank Mandiri, dan OCBC NISP. Klien-klien ini merupakan sebagian dari daftar klien terkemuka yang dilayani oleh Valdo Inc. sebagai perusahaan penyedia jasa alih daya dan infrastruktur di sektor perbankan.”
Kebetulan selama 26 tahun bekerja sebagai jurnalis, saya pernah belajar dan mempraktikkan jurnalisme investigasi. Dan saya ingat doktrin yang saya dapat dari buku teori dan hasil praktik lapangan: jangan pernah meremehkan kasus kecil! Karena kasus kecil bisa jadi merupakan pintu masuk dari sebuah skandal besar yang mengungkap borok kondisi struktural praktik lancung outsourcing yang dilakukan bank asing bahkan bank BUMN, dalam merekrut karyawan. Terutama setelah UU Cipta Kerja dibuat dan disahkan Jokowi, sebelum akhirnya UU Ketenagakerjaan belum lama ini dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Cipta Kerja, dan MK memerintahkan pemerintah dan DPR segera membuat UU Ketenagakerjaan baru dalam tempo dua tahun, dan kini UU Ketenagakerjaan baru tengah dibahas. Dan terbukti, hanya dengan sedikit bantuan AI Google saya bisa mendapat jawaban bahwa kasus yang menimpa Arung tidak hanya terjadi di HSBC tetapi di dunia perbankan nasional secara umumnya.
Contoh, kita kembali ke kasus Raka Arung. Dia bekerja selama 1 tahun 7 bulan terakhir sebagai Sustainability Officer PT Bank HSBC Indonesia.
Jenis pekerjaan Arung merupakan jenis pekerjaan tetap dan tidak bisa di-outsourcing atau dialihdayakan. Sebab, menurut atasan Arung, bu Nuni Setyoko, Head of Corporate Sustainability Bank HSBC Indonesia, dalam percakapan dengan saya saat dia datang melayat ke rumah saya, asisten terakhirnya bekerja selama 10 tahun lebih sebelum pindah kerja dan posisinya diganti Arung. Karena itu pekerjaan Arung merupakan pekerjaan tetap dan bukan jenis pekerjaan kontrak berdasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa selesai dalam masa 5 tahun –durasi waktu paling lama pekerjaan PKWT– yang diperbolehkan pasal 6 dan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 tentang PKWT dan Alih Daya.
Menurut peraturan itu dan Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pekerja dengan status PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dapat dilakukan untuk jenis pekerjaan yang sifatnya sementara atau musiman, yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tertentu atau sekali selesai. Jenis pekerjaan yang tidak dapat menggunakan PKWT adalah pekerjaan yang bersifat tetap.”
Jadi inilah pelanggaran terbesar yang dilakukan Bank HSBC Indonesia dengan mengalihdayakan pekerjaan Arung yang bersifat tetap menjadi pekerja PKWT di bawah perusahaan outsourcing PT Valdo International.
Nah, menurut AI Google, klien PT Valdo International adalah bank-bank terkemuka seperti telah disebut di atas termasuk juga Bank Mandiri, salah satu BUMN kita. Jadi begitu masifnya pelanggaran dan skandal ketenagakerjaan outsourcing di dunia perbankan sekarang. Dan praktik lancung ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Dan media arus utama jelas lalai karena melihat bahwa kasus Arung cuma kasus individual dengan jumlah nominal kecil. Untuk itu saya sarankan mereka mulai belajar jurnalisme investigasi. Bagaimana anda menjadi penyampai kebenaran dan pembongkar skandal kejahatan bila anda malas menggali fakta dan kebenaran?
Saya juga melihat keengganan media arus utama ini memberitakan mungkin karena Bank HSBC terkenal royal memasang iklan. Ini juga yang membuat mereka gugup untuk memberitakan. Dewan Pers karenanya patut prihatin. Apalagi saya berencana menggugat Presiden Prabowo Subianto dan Menaker RI Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Tapi di tengah aksi penenggelaman isu kasus anak saya, untunglah masih ada media alternatif seperti Bergelora.com yang tidak peduli dengan “pengaruh besar” HSBC sebagai bank yang sudah beroperasi 100 tahun lebih di Indonesia dan royal pasang iklan, atau “nama besar” Prabowo. Redaksi media Bergelora.com itu cuma murni memandang dari segi kelayakan berita, dan mereka menganggap kasus anak saya layak diberitakan.
Karena itu di era pers bebas ini, kebenaran memang bisa diredam, Tapi tak bisa sepenuhnya dibungkam. Sampai kapan pun. Untuk itu saya berterimakasih pada awak redaksi Bergelora.com yang pertama kali memberitakan kasus ini sehingga membuat kebebasan pers di Indonesia tetap relevan dan punya makna. Terutama bagi korban ketidakadilan dan kezaliman seperti yang dialami almarhum anak saya, Arung.
Panggilan Tripartit
Dan sebagai kelanjutan kasus sengketa ini, pada 13 Oktober 2025 lalu, alhamdulilah saya menerima surat panggilan Tripartit dari Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan untuk klarifikasi kasus almarhum anak tunggal saya Raka Arung Aksara melawan PT Valdo International dan Bank HSBC Indonesia. Mamanya, almarhumah Yuni Tanjung, pasti ikut senang. Karena kasusnya sudah ada gerak maju, bukan jalan di tempat.

Surat undangan Tripartit itu ditujukan pada
1. Pimpinan perusahaan PT Valdo International dan saya, Edy Haryadi, selaku ahli waris Raka Arung Aksara.
2. Kami diminta menghadap pada hari Senin, 3 November 2025, jam 10.00 WIB di kantor Sudin Naker Jakarta Selatan yang terletak di Jalan Prapanca Raya No 9, Blok B Lantai 10, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, di kompleks perkantoran Walikota Jakarta Selatan.
3. Kami diminta bertemu dengan Eza Rezi Oliyanti, SH, MH, Pelaksana tugas Kepala Seksi Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Pekerja.
Seperti janji saya, bila perundingan Bipartit ini berakhir buntu dan kami akan melanjutkan ke tahapan sengketa selanjutnya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka saya tegaskan saya akan menggugat Presiden RI Prabowo Subianto sebagai tergugat pertama, Menteri Tenaga Kerja Prof. Yassierli S.T., M.T., Ph.D sebagai tergugat kedua, Bank HSBC Indonesia sebagai tergugat ketiga, dan PT Valdo International sebagai tergugat keempat.
Kronologi
Pada Rabu siang, hari ini 1 Oktober 2025, saya, Edy Haryadi, selaku ayah kandung sekaigus ahli waris anak tunggal saya almarhum Raka Arung Aksara yang meninggal dunia pada 29 Agustus 2025 di usia 23 tahun saat baru menjalani kontrak ketiga Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT) selama dua bulan dalam durasi kontrak selama setahun, hari ini telah resmi mendaftarkan pencatatan Tripartit sebagai tindak lanjut dari perselisihan hubungan industrial antara saya selaku ahli waris anak saya dengan PT Valdo International, sebuah perusahaan outsourcing yang digunakan Bank HSBC Indonesia untuk mengontrak Arung.
Pencatatan Tripartit itu saya lakukan di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Selatan yang beralamat di Kantor Walikota Jakarta Selatan di Jalan Prapanca Raya No.9 RT 1/RW1, Kelurahan Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Arung selama ini sudah bekerja selama 1 tahun 7 bulan dengan jabatan terakhir sebagai Sustainability Officer PT Bank HSBC Indonesia –sebuah pekerjaan tetap bukan pekerjaan musiman– dan berkantor di kantor pusat HSBC di Gedung World Trade Center 3, Lantai 9, Jalan Jendral Sudirman, Kavling 29-31, Jakarta Selatan.
Fase Tripartit ini dilakukan karena dalam pertemuan Bipartit yang digelar di kantor PT Valdo International di Jalan Raden Saleh 1 No. 3A, Menteng – Cikini, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Kamis 25 September 2025, pukul 14.00, tidak tercapai kesepatan antara saya selaku ahli waris Arung dan tim legal PT Valdo, sehingga kami sepakat harus ada pihak ketiga yang dianggap netral, yakni Negara, untuk menengahi perbedaan pandangan yang muncul.
Pertemuan Bipartit ini sendiri merupakan tindak lanjut surat undangan untuk pertemuan Bipartit yang saya kirimkan tanggal 17 September 2025 ke PT Valdo International yang juga saya tembuskan ke Presiden Prabowo Subianto, Menteri Tenaga Kerja Prof. Yassierli ST, MT, PHD, Chief Executive Officer (CEO) Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt, sejumlah instansi yang membawahi masalah ketenagakerjaan di Jakarta dan LBH Jakara.
Perundingan di pertemuan Bipartit itu menemui jalan buntu ketika Cakra yang mewakili PT Valdo menyatakan hal yang sama seperti apa yang diucapkan Arudhito dan Kristin dari PT Valdo sebelumnya bahwa Arung tak berhak menerima pesangon –atau lebih tepatnya: “sejumlah uang yang perhitungannya sama dengan uang pesangon”— karena Arung bukan karyawan tetap atau PKWTT tetapi karyawan kontrak atau PKWT.
Saya sudah jelaskan bahwa menurut Pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dijelaskan tentang pekerja PKWT yang meninggal dunia di tengah kontrak berhak menerima pesangon –atau lebih tepatnya: “sejumlah uang yang perhitungannya sama dengan uang pesangon.” Tapi Cakra mengatakan peraturan yang jelas-jelas mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau alih daya alias outsourcing itu, berlaku untuk karyawan tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Memang benar yang berhak atas pesangon adalah karyawan tetap atau PKWTT. Namun pasal 57 PP No 35 tahun 2021 tentang Pekerjaan Waktu Tertentu menyebut” “kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang,” Jadi, Arung memang tidak menerima pesangon, tapi kepada ahli warisnya diberikan “sejumlah uang.” Begini kutipan lengkap dari pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja: ”Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh meninggal dunia maka kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang perhitungan sama dengan: a. Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 40 ayat (2); b. Uang penghargaan masa kerja selama 1 (satu) kali ketentuan pasal 40 ayat (3); dan c. Uang penggantian hak sesuai pasal 40 ayat (4).”
Akhirnya karena ketidaksepakatan melihat Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 itu mengatur PKWT atau PKWTT, kami sepakat perlu wasit penengah. Artinya harus ada keterlibatan Negara yang berperan sebagai wasit yang dinilai adil atau pihak ketiga yang netral. Maka, saya pun memutuskan mengakhiri pertemuan Bipartit itu untuk masuk ke tahap sengketa ketenagakerjaan tahap berikutnya, yakni Tripartit. Alhasil perundingan Bipartit pertama dan terakhir itu cuma berjalan kurang dari 20 menit.
Sebagai mantan jurnalis yang kerap meliput isu-isu perburuhan terutama sengketa ketenagakerjaan, saya amat paham ini adalah taktik klasik mengulur-ulur waktu bagi perusahaan melawan hak-hak pekerja yang sebetulnya dilindungi undang-undang. Agar pekerja kelelahan dan memutuskan berhenti melawan, Apalagi PT Valdo memang perusahaan khusus outsourcing, yang memang diberi tugas perusahaan-perusahaan besar macam HSBC untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
Saya yakin saat di Tripartit pun, saat Negara menyatakan bahwa pendapat saya benar, bahwa Arung berhak menerima “sejumlah uang” karena sebagai PKWT dia meninggal di tengah kontrak, PT Valdo juga akan mengingkari. Yang PT Valdo lupa, saya juga tak sabar menunggu fase ketiga alias fase puncak yakni di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Bila kasus ini tetap berlanjut dari Tripartit ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka saya berencana menggugat Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Tenaga Kerja Prof. Yassierli S.T., M.T., Ph.D, selain tentunya juga Bank HSBC Indonesia dan PT Valdo International. Pertimbangan hukumnya, Presiden dan Menaker sudah tahu tentang kronologi kasus ini sejak awal, yakni pada tanggal 17 September 2023, ketika surat undangan Bipartit dari saya ke PT Valdo saya tembuskan ke Presiden Prabowo Subianto dan Menaker Prof. Yassierli S.T., M.T., Ph.D..
Menurut saya, kekacauan dunia ketenagakerjaan sekarang ini merupakan imbas dari kelalaian Menteri Tenaga Kerja melakukan pengawasan dan penegakan peraturan ketenagerkerjaan kepada perusahaan macam Bank HSBC Indonesia dan PT Valdo International.
Sementara menurut Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Menteri Tenaga Kerja bertanggungjawab kepada Presiden RI. Sehingga Presiden ikut bertanggungjawab atas kelalaian pengawasan dan penegakan aturan ketenagakerjaan oleh Menteri Tenaga Kerja sehingga almarhum anak saya menjadi korban kezaliman Bank HSBC Indonesia dan PT Valdo International.
Saya sendiri terus-terang merasa pesimis hak-hak Arung akan dipenuhi meski posisinya benar dan nanti dimenangkan di Tripartit atau PHI. Taktik mengulur-ulur waktu perusahaan sudah jadi taktik klasik sejak saat saya meliput sengketa perburuhan di awal tahun 2000 sampai sekarang. Yang jelas, saya sudah siap dan sudah mengikhlaskan apabila “sejumlah uang” –-bukan pesangon– yang menjadi hak Arung tidak dibayarkan PT Valdo dan HSBC. Tidak masalah. Apalagi jumlahnya tidak banyak, kurang dari Rp 50 juta.
Tapi paling tidak dengan perlawanan kami, negara, hakim dan publik tahu praktik lancung outsourcing yang selama ini dilakukan oleh Bank HSBC Indonesia dan PT Valdo International secara diam-diam di bawah permukaan. Padahal HSBC sudah beroperasi di Indonesia 100 tahun lebih.
Apalagi belakangan saya dapati Arung tergabung dalam WhatsApp Grup bernama “HSBC WTC 3 X VALDO” yang beranggotakan 62 orang. Grup ini juga jadi tempat mengirim absensi bagi puluhan karyawan yang direkrut Bank HSBC Indonesia tapi kemudian bukan dikontrak HSBC, tetapi oleh perusahaan outsourcing PT Valdo International. Ini tentu merupakan sebuah skandal ketenagakerjaan besar bagi Bank HSBC Indonesia yang sudah berdiri di Indonesia lebih dari 100 tahun.
Jadi kasus Arung saya lihat merupakan puncak gunung es yang kelihatan. Mungkin ada lebih banyak kasus seperti Arung yang terjadi di bawah permukaan.
Di sini juga saya merenung, mungkin ini memang rencana Tuhan memanggil Arung lebih cepat. Salah satunya agar penderitaan puluhan karyawan HSBC di grup itu bisa diketahui publik dan diakhiri.
Kronologi
Di bawah ini adalah kronologi kasus yang termuat dalam surat undangan Bipartit tanggal 17 September 2025 ke PT Valdo International yang saya tembuskan ke Presiden Prabowo, Menaker Prof. Yassierli S.T., M.T., Ph.D, Chief Executive Officer (CEO) Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt dan lain-lain:
1. Bahwa anak saya Raka Arung Aksara pertama kali bukan direkrut langsung oleh PT Valdo International, tetapi oleh Bank HSBC Indonesia.
2. Keterlibatan Bank HSBC Indonesia sudah dilakukan mulai dari informasi rekruitmen, melamar, proses seleksi pelamar, sampai wawancara akhir semuanya dilakukan oleh Bank HSBC Indonesia sekitar bulan Februari 2024.
3. Bahwa anak saya kemudian dinyatakan lolos rekruitmen awal oleh managemen HSBC Indonesia, sebelum dilakukan wawancara terakhir dengan bu Nuni Sutyoko yang menjabat sebagai Head of Corporate Sustainability Bank HSBC Indonesia. Bu Nuni berperan sebagai user dan pewawancara terakhir..Anak saya kemudian dinyatakan lolos seleksi akhir dan diterima untuk bekerja di kantor pusat Bank HSBC Indonesia di Gedung World Trade Center 3, Lantai 9. Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31. Jakarta 12920.
4. Yang mengejutkan, setelah anak saya Raka Arung Aksara dinyatakan diterima bekerja di Bank HSBC Indonesia, ia dikirim kontrak kerja. Tapi kontrak kerja itu bukan atas nama Bank HSBC Indonesia, tetapi PT Valdo International. Di sinilah kemudian baru muncul hubungan hukum antara Raka Arung Aksara dengan PT Valdo International. Sebelumnya anak saya sama sekali tak mengenal PT Valdo International. Kalau saja anak saya tahu sejak awal bahwa dia akan dikontrak PT Valdo International, mungkin dia tak akan mengambil pekerjaan di Bank HSBC Indonesia mengingat pada saat yang sama anak saya diterima di Bank Mega.
5. Bahwa sejak Februari 2024 anak saya Raka Arung Aksara tercatat sebagai karyawan kontrak dari PT. Valdo International dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), meski seungguhnya Raka Arung Aksara bekerja sebagai staf kantor Bank HSBC Indonesia, sehingga bukan jenis pekerjaan musiman sebagai filsafat awal lahirnya konsep PKWT dalam peraturan ketenagakerjaan.. ;
6. Bahwa berdasarkan surat kontrak ketiga anak saya Raka Arung Aksara yang dilakukan tanpa jeda selama 1 tahun 7 bulan terakhir dengan PT Valdo International dan tetap bekerja sebagai asisten bu Nuni Sutyoko yang menjabat sebagai Head of Corporate Sustainability Bank HSBC Indonesia, anak saya menandatangani kontrak baru. Anak saya Raka Arung Aksara menandatangani Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.1755/VI-PKWT/V/2025/3 yang pada pokoknya memuat hal kontrak itu berlaku sejak 1 Juli 2025 sampai 30 Juli 2026 yang merupakan batas waktu akhir kontrak kerja anak saya;
7. Bahwa ketika kontrak terbaru baru berjalan dua bulan dalam durasi kontrak selama setahun, pada hari Jumat tanggal 29 Agustus 2025 anak saya Raka Arung Aksara mendapat serangan jantung, pukul 6 pagi saat tertidur di rumah. Ia dinyatakan meninggal dunia dan dimakamkan hari itu juga.
8. Bahwa baru setelah empat hari meninggalnya anak saya, HRD PT Valdo International, Arudhito, mendadak datang ke rumah saya tanpa pemberitahuan. Sehingga saya tak bertemu dengan dia karena saya tengah mengambil cetakan buku Yasin anak saya di daerah Rawamangun.. Bahwa kemudian Arudhito menelepon saya. Ia lalu mengiundang saya untuk datang ke kantor PT Valdo International di Jalan Raden Saleh Jakarta Pusat untuk membicarakan hak-hak Arung sebagai karyawan kontrak PT Valdo International. Karena masih sibuk mengurus akta kematian dan surat pernyataan waris, saya baru bisa menjanjikan akan datang minggu depan.
9. Bahwa pada hari Kamis, 12 September 2025, saya akhirnya datang ke kantor PT Valdo International di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Saya ditemui Arudhito, HRD PT Valdo International. Pertemuan awalnya berjalan baik setelah Arudhito menjelaskan bahwa anak saya akan menerima hak-haknya sebagai pekerja seperti Jaminan Kematian, Santunan Kematian, Tunjangan Kematian dari BPJS Ketenagakerjaan. Itu sebetulnya sudah saya pahami karena itu memang hak normatif yang harus diterima anak saya Raka Arung Aksara sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
10. Bahwa kemudian ketika saya bertanya, apakah anak saya Raka Arung Aksara sebagai pekerja PKWT atau pekerja kontrak menerima pesangon, Arudhito menjawab tidak. Bahkan dia bilang seharusnya saya yang harus membayar denda karena anak saya Raka Arung Aksara tidak menyelesaikan kontrak kerjanya. Saya bilang, bagaimana saya harus mengganti rugi, sebab anak saya bukan pindah kerja, tapi meninggal dunia. Ia juga bilang anak saya tidak menerima pesangon apa-apa karena pesangon hanya diterima oleh karyawan tetap bukan karyawan kontrak atau PKWT. Akhirnya saya pulang dengan rasa kecewa karena saya tahu menurut Pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dijelaskan tentang pekerja PKWT yang meninggal dunia di tengah kontrak berhak menerima pesangon.
11. Saya lalu melaporkan hasil pertemuan dengan PT Valdo International itu kepada bu Nuni Setyoko, atasan anak saya yang menjabat sebagai Head of Corporate Sustainability Bank HSBC Indonesia pada hari Jumat, 13 September 2025, dan saya bilang saya mungkin sebagai ahli waris akan melanjutkan secara hukum. Di percakapan Whatsapp itu saya juga meminta maaf pada bu Nuni jika nama baik HSBC terseret-seret. Bu Nuni langsung merespon dan meminta saya bersabar. Dia berjanji pada hari Senin, 15 September 2025, saya akan dihubungi HRD HSBC untuk diajak berdialog. Karena pada saat itu saya juga bilang sama bu Nuni bahwa pesangon Raka Arung Aksara sebagai karyawan PKWT tidak sampai Rp 50 juta. Tapi masalahnya ini bukan soal uang, tapi masalah keadilan bagi almarhum anak saya Raka Arung Aksara.
12. Bahwa pada hari Senin, 15 September 2025, saya selaku ahli waris anak saya sejak pagi menunggu telepon dari HRD HSBC. Tapi alih-alih dihubungi HRD HSBC, saya malah kembali dihubungi melalui telepon oleh HRD Valdo International bernama Kristin. Ternyata penjelasan Kristin juga tidak berubah dari keterangan Arudhito sebelumnya. Bahwa anak saya Raka Arung Aksara selaku karyawan PKWT tidak berhak atas pesangon, karena yang berhak hanya karyawan tetap atau PKWTT. Maka, percakapan pun saya akhiri setelah saya bilang saya akan mulai memprosesnya secara hukum.
13. Bahwa hingga hari ini anak saya tidak mendapatkan hak pesangon yang seharusnya didapatkan berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia;
14. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 anak saya berhak mendapatkan hak hak sebagaimana berikut ini:
a. Pasal 15 ayat (1) menuliskan : “Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT”;
b. Pasal 40 ayat (2) huruf b menjelaskan: “Uang Pesangon masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah”.
c. Pasal 57 tertulis: ”Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh meninggal dunia maka kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang perhitungan sama dengan: a. Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 40 ayat (2); b. Uang penghargaan masa kerja selama 1 (satu) kali ketentuan pasal 40 ayat (3); dan c. Uang penggantian hak sesuai pasal 40 ayat (4).”
Bagi saya ini bukan soal uang. Tetapi keadilan bagi almarhum anak saya Raka Arung Aksara agar dia tenang di alam kuburnya saat tahu ayah kandungnya berjuang habis-habisan buat dia. Dan saya yakin almarhum istri saya Yuni Tanjung mendukung perlawanan Arung dan saya. Karena kami berdua telah melawan. Bersama-sama. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya!
——-
*Penulis Edy Haryadi, Jurnalis Freelance