JAKARTA – Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto terus menuai pro dan kontra. Di tengah perdebatan itu, sejarah panjang represi terhadap kebebasan pers di era Orde Baru kembali diingat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong menilai, langkah pemerintah yang mempertimbangkan Soeharto sebagai pahlawan justru berpotensi mengkhianati sejarah bangsa. Ia menyebut, lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harusnya menyadari posisi mereka sebagai salah satu korban kekuasaan Soeharto.
“Anggota DPR kemudian juga mengamini atau menyetujui penetapan pemberian gelar pahlawan nasional itu. Itu berarti DPR kita juga sebenarnya menghianati sejarah, di mana DPR salah satu pihak yang jadi korban di era Soeharto, bagaimana DPR hanya dianggap sebagai stempel saja, proksi dari kekuasaan itu sendiri,” kata Mustafa, dalam konferensi pers, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).
Mustafa mempertanyakan sikap sebagian pihak yang seolah ingin menghapus memori kelam itu dengan menempatkan Soeharto sebagai tokoh berjasa.
“Apakah DPR ingin kembali ke sana, atau menanggap itu era yang menyeramkan sehingga kemudian orang yang menciptakan situasi itu ditetapkan sebagai pahlawan?” kata dia.
Menurut dia, alasan yang menyebut tidak ada bukti keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau praktik korupsi adalah keliru, karena selama ini negara memang tidak pernah mengadili atau mengakui kesalahan itu secara resmi.
“Tidak ada bukti yang menyatakan Soeharto adalah pelaku pelanggaran utama, ya memang karena tidak pernah diakui oleh negara itu sendiri, karena tidak ada peradilan,” kata Mustafa.
Ia menegaskan, berbagai bukti sebenarnya telah dikumpulkan oleh masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis yang mendokumentasikan praktik pelanggaran di masa Orde Baru.
“Padahal, ada banyak sekali bukti-bukti yang dikumpulkan oleh masyarakat sipil, akademis yang bisa dibaca,” kata Mustafa.
“Sekarang pertanyaan, apakah ada bukti yang menyatakan Soeharto tidak bersalah? Kan harus dibalik logikanya,” ucap dia.
Warisan Represi Terhadap Pers
Di bawah pemerintahan Soeharto, pers menjadi salah satu korban paling nyata dari represi politik. Mustafa mengingatkan bahwa di masa itu, media dan jurnalis tidak memiliki ruang kebebasan untuk mengkritik kekuasaan.
“Bahkan, menggunakan hukum untuk menangkap aktivis, termasuk media yang dibredel menggunakan undang-undang pers waktu itu. Gimana undang-undang itu kemudian sangat kuat cengkraman pemerintah karena di dalam formasi dewan pers diketuai oleh Menteri Penerangan,” kata dia.
Ia mengatakan, Undang-Undang Pers pada masa Orde Baru mengatur kewajiban Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang mudah dicabut pemerintah.
“Ketika dianggap mengganggu stabilitas yang diterjemahkan secara bebas oleh pemerintah, maka itu bisa dicabut,” tutur Mustafa.
Kebijakan itu membuat banyak media terpaksa tutup atau menyesuaikan isi pemberitaan agar tidak berseberangan dengan penguasa. Beberapa media besar seperti Tempo, Detik, dan Editor sempat dibredel.
“Masih banyak saksi-saksi, masih banyak buku-buku yang memperlihatkan dengan jelas bagaimana represi terhadap media. Bukan hanya menghalangi, bahkan banyak warga negara yang harus berkorban nyawa,” ujar dia.
TAP MPR Dan Tanggung Jawab Negara
Mustafa juga mengingatkan bahwa negara sebenarnya pernah mengakui dosa masa lalu Soeharto. Hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, yang secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban hukum atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“TAP MPR ini secara eksplisit menyebutkan Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam upaya pemberantasan KKN. TAP ini hingga saat ini masih berlaku, jadi secara moral dan substansi harusnya menjadi rujukan,” kata dia.
Namun, hingga lebih dari dua dekade reformasi berjalan, tanggung jawab itu tidak pernah benar-benar ditegakkan. Mustafa mempertanyakan apakah negara masih memiliki komitmen moral untuk menuntaskan kebenaran sejarah.
“Jangan kemudian karena tidak pernah diadili, lalu dianggap tidak terbukti sebagai pelaku pelanggaran HAM. Persoalannya adalah apakah masih ada komitmen negara untuk membuktikan itu,” ujar dia.
Bahaya Memutar Balik Sejarah
Menurut Mustafa, menetapkan Soeharto sebagai pahlawan berisiko menormalisasi kejahatan masa lalu.
“Ini bukan kemudian membalikkan fakta itu dengan menetapkan kata ‘pahlawan’ di depan nama Soeharto yang kemudian memaksa kita mengakui bahwa Soeharto tidak bersalah,” ujar dia.
“Buktikan dulu bahwa dia tidak bersalah, baru nyatakan sebagai pahlawan. Itupun kalau layak.” kata dia.
Ia menilai, ketika seseorang yang pernah membungkam kebebasan pers dan melakukan represi diangkat sebagai pahlawan, maka kebenaran sejarah akan terdistorsi.
“Jangan jadikan dia pahlawan dulu kemudian dicari cara untuk menyatakan dia tidak bersalah. Kemudian, anak-anak kita dipaksa untuk belajar bahwa Soeharto itu baik,” kata Mustafa.
Ia mengingatkan, langkah itu bisa menimbulkan efek domino yang berbahaya bagi kebebasan berekspresi.
“Ketika kita mengungkap dosa-dosa Soeharto, dianggap menghina pahlawan nasional. Sehingga menjadi sangat penting bagi kita menjaga sejarah tidak diputar, tidak diubah oleh rezim saat ini,” ujar dia.
Bagi banyak kalangan, reformasi 1998 bukan hanya kejatuhan seorang pemimpin, tapi juga titik balik perjuangan kebebasan pers.
Karena itu, wacana Soeharto sebagai pahlawan dianggap bertentangan dengan semangat perubahan yang diperjuangkan puluhan tahun lalu.
“Ketika Soeharto kembali dijadikan sebagai pahlawan, kita lihat gejala sekarang, sepertinya era Orde Baru akan muncul dalam wujud yang baru,” kata Mustafa.
Pemerintah sebut Soeharto penuhi syarat Di sisi lain, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyatakan, Soeharto memenuhi syarat mendapat gelar pahlawan nasional.
Hal itu disampaikan usai Fadli melaporkan 49 nama calon pahlawan nasional kepada Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Tentu dari kami, dari tim GTK ini, telah melakukan juga kajian, penelitian, rapat ya, sidang terkait hal ini. Jadi, telah diseleksi tentu berdasarkan, kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Semua yang telah disampaikan ini memenuhi syarat,” kata Fadli.
Ia menegaskan, Soeharto telah melalui seluruh tahapan penilaian, mulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga pemerintah provinsi.
“Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi memenuhi syarat dari bawah,” ujar dia.
Menurut Fadli, nama Soeharto bahkan telah diusulkan sebanyak tiga kali.
“Nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” tutur dia.
Fadli kemudian memerinci jasa Soeharto yang dinilai layak mendapat penghargaan negara, di antaranya kepemimpinan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
“Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah cease to exist, sudah tidak ada lagi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut Fadli, Soeharto juga memiliki peran penting dalam operasi pembebasan Irian Barat dan berbagai operasi militer lainnya. “Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Jadi ada, ada rinciannya. Nanti rinciannya kalau mau lebih panjang nanti saya berikan,” ujar dia.
Wacana Yang Terus Diperdebatkan
Sebelumnya, pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon pahlawan nasional. Beberapa di antaranya adalah Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah. Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto menuai penolakan dari berbagai pihak.
Sebanyak 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana tersebut.
Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI-P Bonnie Triyana juga menyampaikan keberatannya. Di sisi lain, dukungan datang dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Ia menilai, jasa Soeharto sangat besar bagi bangsa dan negara.
“Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil, usai menemui Prabowo di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025).
Menurut Bahlil, Soeharto adalah tokoh penting di balik kebangkitan ekonomi Indonesia dan dikenal sebagai “Macan Asia” pada masa Orde Baru.
“Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun,” ucap dia. (Web Warouw)

