JAKARTA – Polda Kalimantan Timur membantah tuduhan kriminalisasi terhadap Misran Toni, tersangka pembunuhan dalam tragedi Muara Kate, Paser, November tahun lalu.
Sebelumnya, Koalisi Advokasi Muara Kate menilai proses hukum terhadap Misran Toni sarat kejanggalan dan kental dugaan kriminalisasi.
Isu kriminalisasi kembali mencuat setelah beredar video yang diduga merekam penangkapan Fathur Rahman, pendamping hukum Misran Toni, pada Selasa (18/11/2025) malam.
Koalisi menilai tindakan itu sebagai bentuk intimidasi terhadap kuasa hukum yang sedang menjalankan tugasnya.
“Saudara Fathur ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Padahal kami sedang menjalankan tugas secara profesional dan beretika,” kata Ketua PBH Peradi Balikpapan, Ardiansyah, Rabu (19/11/2025).
Bantah Penangkapan Fathur Rahman
Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Yuliyanto menegaskan tidak ada penangkapan maupun penahanan terhadap Fathur Rahman.
“Tidak ada surat perintah penangkapan untuk Fathur Rahman. Faktanya, dia tidak ditahan,” ujarnya menepis tudingan kriminalisasi tersebut.
Ia juga menyatakan keberadaan kuasa hukum di Mapolres Paser pada malam itu tidak serta-merta berarti ia ditahan.
“Saya tidak tahu apakah ia pulang atau memilih berada di Polres hingga pagi. Tapi yang jelas, tidak ada penangkapan dan tidak ada penahanan,” jelasnya.
Koalisi sebelumnya juga menyoal proses pemindahan Misran Toni dari Rutan Polda Kaltim ke Polres Paser, yang terjadi setelah masa penahanannya dinyatakan habis.
Menanggapi hal tersebut, Yuliyanto menegaskan pemindahan itu merupakan prosedur standar tahap dua, karena berkas perkara Misran Toni telah dinyatakan lengkap atau P21.
“Meski penahanannya oleh Polres Paser, tempat penahanan bisa dititipkan di Polda. Itu wajar. Dan sebelum pelimpahan ke kejaksaan, penyidik wajib mengeluarkan surat perintah pengeluaran penahanan. Itu administrasi,” katanya.
Menjawab isu kriminalisasi, Yuliyanto menyatakan penyidikan oleh kepolisian dilakukan berdasarkan fakta dan alat bukti.
“Kriminalisasi itu kalau orang tidak melakukan perbuatan lalu dibuat seolah-olah melakukan. Dalam kasus ini, peristiwanya terjadi. Penyidik menemukan bukti dan alur kejadian,” tegasnya.
Ia menuturkan, apakah tindak pidana itu benar terbukti atau tidak akan diuji sepenuhnya di pengadilan.
“Nanti semuanya dinilai dalam persidangan. Hakim yang menentukan apakah peristiwa pidananya terjadi atau tidak,” ujarnya.
Kronologi Konflik Muara Kate
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, Ketua BPH Peradi Balikpapan, Ardiansyah, menyebut penangkapan ini merupakan puncak dari rangkaian peristiwa panjang yang bermula sejak akhir tahun 2023 di Paser, tepatnya di Desa Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser.
Konflik berawal ketika sebuah perusahaan tambang batubara menggunakan jalan umum sepanjang 126 km untuk kepentingan angkutan batubara dari lokasi penambangan di Tabalong, Kalimantan Selatan, menuju lokasi jetty di Desa Rangan, Paser.
Warga di Batu Kajang melakukan berbagai upaya penolakan mulai dari mediasi, aksi, hingga blokade jalan.
Ironisnya, tidak ada satu pun sikap aparat penegak hukum yang mendukung perjuangan warga.
Akibat aktivitas hauling batubara ini, sedikitnya ada tujuh korban kritis hingga meninggal dunia, termasuk Ustad Teddy pada 1 Mei 2024 dan Pendeta Veronika pada 26 Oktober 2024.
Puncaknya, pada 15 November 2024 dini hari, posko perjuangan warga diserang oleh sekelompok orang tak dikenal, menyebabkan satu orang meninggal dunia atas nama Rusel dan satu orang luka parah atas nama Ansouka.
Misran Toni, yang dikenal sebagai salah satu warga yang aktif sejak peristiwa tragis kecelakaan hauling batubara yang menewaskan Pendeta Veronika, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut.
Tim Pendamping Hukum dari JATAM Kaltim dan LBH Samarinda yang melakukan investigasi menemukan banyak kejanggalan yang merujuk pada upaya kriminalisasi terhadap Misran Toni.
Masa penahanan Misran Toni telah berlangsung sejak 17 Juli 2025 dan telah dua kali mengalami perpanjangan.
Koalisi Masyarakat untuk Perjuangan Masyarakat Muara Kate, yang terdiri dari JATAM Kaltim dan LBH Samarinda, telah mengirimkan Surat Keberatan Perpanjangan Penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanah Grogot. Namun, upaya hukum ini sepertinya tidak diindahkan oleh pihak kepolisian.
Ardiansyah menambahkan bahwa penangkapan terhadap pendamping hukum yang merupakan anggota PBH PERADI Balikpapan ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan pendamping hukumnya yang berjuang melawan praktik tambang batubara yang merusak dan membahayakan keselamatan warga.
“Warga dan tim pendamping hukum lainnya berencana akan mengambil langkah hukum lebih lanjut untuk memperjuangkan pembebasan keduanya,” tutur Ardiansyah. (Web/Des)

