JAKARTA- Peristiwa dugaan bullying terhadap MH (13) di SMPN Tangsel menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap guru, kepala sekolah, dan Dinas Pendidikan Tangsel dalam pencegahan kekerasan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, kasus dugaan bullying itu mencerminkan peran guru, pimpinan sekolah hingga dinas pendidikan, belum dapat diandalkan dalam mencegah kekerasan di sekolah.
“Mereka semua itu harus dievaluasi Dan dibenahi. Kalau enggak ya anak-anak di sekolah selalu terancam karena lingkungannya yang tidak aman dan terus terpapar kelerasan,” kata Ubaid, Kamis (20/11/2025).
Selain itu, Ubaid juga menilai soal keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah Tangsel belum berdampak nyata.
“Kejadian di Tangsel ini hanya penampakan gunung es. Satgas dan TPPK di mana-mana kinerjanya patut dipertanyakan dan perannya belum efektif,” ujar Ubaid.
Untuk diketahui, MH diduga menjadi korban perundungan pada 20 Oktober 2025, saat kepalanya dihantam kursi besi oleh rekannya, R (13).
Korban sempat dirawat di rumah sakit swasta sebelum dirujuk ke RS Fatmawati pada 9 November. MH masuk ICU sejak 11 November dan dikabarkan meninggal dunia.
Informasi kematian MH pertama kali disampaikan oleh LBH Korban yang mendampingi keluarga.
Proses hukum kasus ini kini ditangani kepolisian, yang telah memanggil sejumlah siswa dan guru untuk mengungkap fakta sebenarnya.
Dinas Pendidikan Tangsel juga berencana memasang CCTV di seluruh ruang kelas dan memperkuat program anti-perundungan.
Kondisi Korban
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, MH (13), siswa SMPN di Tangerang Selatan, meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan oleh rekannya, R (13), pada Oktober 2025.
Kepalanya diduga dihantam kursi besi oleh rekan sekelasnya, dan MH sempat dirawat di rumah sakit swasta sebelum dirujuk ke RS Fatmawati pada 9 November.
Kondisinya memburuk, masuk ICU sejak 11 November, MG dikabarkan meninggal dunia.
Satgas dan TPPK Dinilai Tak Efektif
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti lemahnya kinerja satgas pencegahan kekerasan dan Tim Penanganan Perundungan di Sekolah (TPPK).
“Keberadaannya ternyata belum berdampak pada perwujudan sekolah yang ramah anak. Ini hanya penampakan gunung es. Kinerjanya patut dipertanyakan,” ujar Ubaid
Ia menambahkan, kegagalan satgas dan TPPK mencerminkan lemahnya peran guru, kepala sekolah, hingga dinas pendidikan dalam mencegah kekerasan di sekolah.
“Mereka semua itu harus dievaluasi Dan dibenahi. Kalau enggak ya anak-anak di Sekolah selalu terancam karena lingkungannya yang tidak aman dan terus terpapar kelerasan,” kata Ubaid.
Dikhawritkan akan terulang Ubaid khawatir jika kasus kekerasan di sekolah tidak ditangani dengan baik, kejadian serupa bisa terus berulang dan kekerasan di sekolah seolah dinormalisasi.
“Itu yang saya khawatirkan. Jika tidak ditangani dengan baik, ya seperti hari ini, kekerasan di sekolah menjadi kebiasaan dan seakan dinormalisasi,” kata Ubaid.
Ubaid menambahkan, masyarakat mempertanyakan peran negara dalam melindungi anak, karena kasus-kasus kekerasan di sekolah masih terus berlarut-larut.
“Ini bahaya sekali, kita masyarakat mempertanyakan di mana peran negara dalam melindungi anak, kok sampai kasus kekerasan ini terus berlarut-larut di sekolah,” ucapnya.
Riwayat Absensi dan Mediasi Sekolah
Kepala SMPN Tangsel, Frida Tesalonik, menyebut MH tercatat tujuh kali tidak masuk sekolah sejak awal tahun ajaran baru karena izin sakit. Namun, korban tidak pernah curhat atau memberi sinyal bahwa dirinya dirundung.
“Enggak ada. Normal sama sekali. Enggak ada ngobrol sama sekali,” ujar Frida.
Sekolah mengaku telah memantau kondisi psikososial siswa melalui polling dan catatan manual.
Saat pertama kali orang tua melapor, pihak sekolah langsung melakukan mediasi antara orang tua korban dan terduga pelaku.
Namun, kasus ini kemudian viral beberapa hari setelahnya. Pendampingan psikologis untuk pelaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel, Deden Deni, mengatakan R kini berada di bawah tekanan psikologis.
Pihaknya memberikan pendampingan melalui UPTD PPA dan DP3KB, serta opsi belajar jarak jauh untuk menjaga hak pendidikan pelaku.
“Kondisinya dalam tekanan. Kami beri opsi sekolah pakai Zoom karena kondisinya sedang tidak kondusif,” kata Deden.
Proses hukum kasus ini kini ditangani kepolisian, yang telah memanggil sejumlah siswa dan guru untuk mengungkap fakta sebenarnya.
Dinas berencana memasang CCTV di seluruh ruang kelas dan memperkuat program anti-perundungan.
“Jangan sampai ada anak yang merasa trauma. Ini jadi pelajaran buat kita semua,” ujar Deden. (Argo Bani Putra)

