JAKARTA – Kini telah diketahui bagaimana anak berhadapan dengan hukum (ABH) dalam kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta mendapatkan bahan-bahan untuk merakit peledak. Polisi juga telah memaparkan susunan peledak yang digunakan.
Berdasarkan olah tempat kejadian perkara (TKP), diketahui bahan utama peledak adalah potassium chloride.
“Kemudian bahan peledak atau explosive yang kami temukan, dengan menggunakan alat rigaku yang kami punya, itu terdeteksi potassium chloride, yang digunakan terduga,” jelas Dansat Brimob Polda Metro Jaya Kombes Henik Maryanto melalui jumpa pers di Mapolda Metro Jaya di Jakarta dikutip Bergelora.com di Jakarta, Minggu (23/11/2025),
Berdasarkan olah TKP ditemukan serpihan plastik dan paku. Plastik tersebut untuk membungkus struktur peledak. Paku digunakan untuk memberi dampak kerusakan ledakan.
Henik mengatakan paku tersebut adalah paku baja dan paku seng yang ada payungnya, sebagaimana ditemukan berserak di masjid SMAN 72 Jakarta.
Sementara untuk tenaga peledakan, polisi menemukan empat baterai dan alat pemicu ledakan. Meski begitu, di masjid yang merupakan lokasi utama ledakan, tidak ditemukan remote untuk mengendalikan ledakan.
“Bahwa power yang digunakan oleh terduga itu menggunakan empat buah baterai A4, kemudian inisiatornya adalah electric mass, kemudian explosive-nya mengandung potassium chloride, kemudian switching-nya menggunakan receiver yang dikendalikan dengan remote, namun remote tidak kami temukan dalam masjid,” terang Henik.
“Kemudian casing-nya itu jeriken plastik 1 liter, dan kemudian shrapnel-nya paku,” lanjutnya.
Beralasan untuk Ekskul
Polisi membeberkan bahan peledak dipakai ABH diduga dibeli secara online. ABH mengaku kepada keluarganya, paket yang dibeli berisi barang untuk keperluan ekstrakurikuler. Maka dari itulah keluarga ABH tidak curiga.
“Iya seperti itu (diduga dibeli online). Karena kan orang tuanya yang menerima (paket),” jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto kepada awak media pada Jumat (21/11/2025).
“Terus kalau barang-barang paket yang diterima itu, itu kan untuk ekstrakurikuler sekolah. Jadi tidak ada kecurigaan dari keluarga juga. Kalau ke orang tuanya, ke keluarga, dia bilang untuk ekstrakurikuler, makannya disimpan sama pihak keluarga,” jelasnya.
Kepada orang tuanya, ABH mengakuk laptop miliknya rusak. Kendati begitu, ia sebetulnya berselancar di dark web.
“Terus termasuk dia menggunakan web, kan kalau menurut si ABH ke orang tuanya, bahwa laptopnya itu rusak,” ungkap Kombes Budi.
Laptop itu sekarang telah disita penyidik Polda Metro Jaya, Polisi akan melakukan digital forensik untuk mencari tahu isi laptop ABH.
Pelaku Pendiam, Keluarga Tak Sangka
Keluarga mengatakan karakter pelaku memang pendiam. Mereka tak menyangka ABH terlibat dalam ledakan di SMAN 72 Jakarta.
“Ya sama, ya karakternya memang sifatnya seperti itu, pendiam,” kata Budi.
Ia menyebut kondisi ABH tersebut sekarang berangsur pilih setelah ikut terluka dalam insiden. Walau begitu, polisi masih menunggu rekomendasi dokter untuk memeriksa ABH.
Kombes Budi mengatakan ABH baru lepas selang makan beberapa hari lalu. Sehingga, yang bersangkutan masih beradaptasi.
“Artinya dia baru beradaptasi keterangan dokter, jadi dia masih beradaptasi, jadi masih ada rasa mual pusing,” ujar Budi.
Namun, yang paling utama adalah penyidik berkoordinasi dengan dokter psikisnya, apakah ABH sudah layak atau belum untuk dimintai keterangan.
“Tapi yang paling utama, penyidik itu berkoordinasi dengan dokter psikisnya, sudah layak belum dia diminta keterangan, tapi dari dokter menyatakan itu belum. Karena dia masih bengong, terus ngomong sebentar kadang masih kayak masih belum pulih sepenuhnya,” terangnya.
Akses Grup True Crime Community
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa pelaku ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Utara diketahui mengakses sebuah grup daring bernama True Crime Community (TCC) sebelum melakukan aksinya. Temuan tersebut menjadi salah satu indikasi bahwa pelaku terpapar memetic violence atau kekerasan berbasis peniruan alias kekerasan mimesis.
“Jadi dia lebih kepada meniru ide atau perilaku. Ya, contohnya, kalau di SMA 72 diketahui Densus juga mengakses grupnya yang namanya TCC, True Crime Community,” kata Kepala BNPT Eddy Hartono dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Eddy menjelaskan bahwa rekrutmen dan paparan ekstremisme secara online kini menjadi tren yang perlu diwaspadai.
Perundungan Terus Didalami
Dalam kajian psikologis, fenomena ini dikenal dengan istilah memetic radicalization atau memetic violence, yaitu proses ketika seseorang meniru ide atau perilaku kekerasan yang viral atau populer di ruang digital.
“Jadi dia bisa meniru ide perilaku apa yang terjadi, sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat, ya, supaya ada kebanggaan. Nah itu dari segi psikologis,” ujarnya.
BNPT menilai pola ini berbeda dengan radikalisasi berbasis ideologi yang selama ini sering ditemui dalam jaringan terorisme konvensional. Untuk mengatasi dampak psikologis pada anak-anak yang terpapar konten ekstrem, BNPT kini bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, serta para ahli psikologi.
“Sehingga ketika diketahui secara psikologis apa yang terjadi, baru kita melakukan rehabilitasi. Kira-kira rehab apa yang pas ketika orang atau anak-anak ini mengalami tekanan secara psikologis. Nah itu yang sekarang kita kembangkan,” jelasnya.
Faktor Psikologis, Bukan Ideologis
Sebelumnya, Polri menegaskan bahwa ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara pada 7 November 2025 tidak berkaitan dengan jaringan radikalisasi online, meski pelakunya adalah seorang anak.
Kasus tersebut dinilai lebih dipengaruhi faktor psikologis dan sosial ketimbang ideologi ekstrem.
“Salah satu kasus menonjol adalah peristiwa pengeboman di SMA Negeri 72 Jakarta Utara pada 7 November 2025 yang lalu yang melibatkan anak, meskipun fenomena tersebut berbeda dengan radikalisasi online,” kata Karopenmas Polri Brigjen (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Ia menjelaskan, asesmen Densus 88 menunjukkan pelaku bertindak karena menjadi korban perundungan atau bullying serta meniru pola aksi penembakan massal di luar negeri.
“Pelaku melakukan aksi karena menjadi korban bullying dari rekannya dan meniru pelaku penembakan massal di luar negeri sebagai metode untuk melakukan aksi balas dendam dan bukan melakukan aksi karena keyakinan atas salah satu paham atau ideologi,” tegasnya. (Web Warouw)

