JAKARTA – Tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources (PTAR) di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara dituding memperparah banjir di provinsi itu sebab diduga berdiri di ekosistem Batang Toru; yang merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di wilayah tersebut.
Dalam situs resminya, 95% saham PTAR tercatat dimiliki oleh PT Danusa Tambang Nusantara yang merupakan anak perusahaan PT Pamapersada Nusantara (Pama) dan PT United Tractors Tbk. (UNTR).
Konstruksi tambang tersebut dimulai sejak 2008 dan produksi dimulai pada 2012. Total area konsesi yang mencakup tambang emas martabe tercantum dalam kontrak karya 30 tahun generasi keenam antara PTAR dan pemerintah.
Luas awal yang ditetapkan pada 1997 tercatat selebar 6.560 km persegi (km2), tetapi dengan beberapa pelepasan kini menjadi 130.252 hektare (ha) yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Area operasional tambang emas Martabe dalam konsesi tersebut terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas area 509 ha per Januari 2022.
PTAR mengoperasikan tiga pit terbuka; Pit Rambing Joring yang dibuka pada 2017, Pit Barani dibuka pada 2016, dan Pit Purnama yang dibuka pada 2011.
Perusahaan juga mengoperasikan pabrik pengolahan bijih emas dengan teknologi carbon-in-leach (CIL) dengan fasilitas prasarana dukungan seperti jalan angkut, fasilitas penampungan tailings, tangki penyimpanan air baku, bendungan pengendali sedimen, instalasi pengolahan air, switchyard, fuel depot, workshop, dan warehouse.
Sepanjang 2024, PTAR mencatatkan penambangan bijih sebesar 6,9 juta ton naik 21% dibandingkan dengnan tahun sebelumnya yang sebanyak 5,7 juta ton. Penggilingan bijih tercatat sebesar 6,7 juta ton naik 1,5% dibandingkan dengan 2023.
Di sisi lain, perusahaan juga melakukan eksplorasi di area Martabe dan regional. Sepanjang 2024, perusahaan melakukan pengeboran 37.200 meter.
Dengan dilakukannya aktivitas tersebut, sumber daya bijih perusahaan per 30 Juni 2024 sebesar 6,1 juta ons emas dan 59 juta ons perak. Sementara itu, cadangan yang dimiliki, tercatat sebesar 3,5 juta ons emas dan 32 juta ons perak.
Tudingan Walhi
Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumut mencatat terdapat 8 kabupaten/kota di Sumut yang terdampak banjir bandang dan longsor, banjir terparah terjadi di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.
Walhi menyatakan bencana tersebut paling parah melanda wilayah yang berada di ekosistem Harangan Tapanuli atau Ekosistem Batang Toru– salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumut.
Berdasarkan data citra satelit pada 2025, Walhi mencatat pembukaan hutan di areal harangan Tapanuli yakni di Batang Toru, Tapanuli Selatan sangat masif terjadi. Lokasi tersebut padahal memiliki nilai konservasi tinggi dan menjadi benteng alam jika hujan terjadi.
“Tak jauh dari lokasi penambangan emas, muncul pada 2025 lahan gundul yang luas di daerah Tapanuli Tengah,” tulis Walhi Sumut dalam akun Instagram resminya.
Di sisi lain, Walhi juga menilai keberadaan tambang tersebut tidak memberikan dampak bagi masyarakat sekitar. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, Walhi mencatat tingkat kemiskinan di kabupaten yang menjadi lokasi operasi tambang tersebut sebesar 6,92%.
“Walhi sumut menilai pendapatan besar perusahaan tidak otomatis diterjemahkan ke peningkatan kesejahteraan masyarakat atau pemulihan ekosistem. Ini bukti nyata keuntungan tambang seringkali keluar dari wilayah terdampak. Kontribusi ke pendapatan daerah hanya berkisar 5% dari penghasilan tambang,” tulis Walhi. (Web Warouw)

