Minggu, 10 Agustus 2025

Ada Mataram di Lampung

Kampung Tua, Mataram Udik di Lampung Tengah. (Ist)

Ada banyak sejarah nusantara yang belum terungkap menjadi misteri yang hidup sampai saat ini. Salah satunya sejarah rakyat Lampung, khususnya di Mataram Udik, perbatasan Lampung Tengah – Lampung Timur. Sudah waktunya penggalian dilakukan didokumentasikan, agar dikenal generasi muda dari seluruh Indonesia. Dosen Unila, Maruly Hendra Utama mulai mengulik soal salah satu peninggalan kampung tua di Lampung ini di akun facebook Maruly Reborn dan dimuat kembali Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Maruly Hendra Utama

SEORANG kawan memberitahu jika DR. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud RI, meluncurkan program keren selama liburan untuk mengunjungi museum atau situs purbakala di daerah. Foto yang dianggap baik akan mendapatkan hadiah. Sebuah program progresif untuk mengenalkan budaya Indonesia yang beragam. Mudah-mudahan partisipasi masyarakat meluas dan membesar untuk mendukung program ini. Sebuah langkah maju Bung Dirjen yang membuat saya tertarik.

Saya tertarik bukan untuk mengikuti program ini karena saya bukan termasuk orang yang pandai memotret. Lebih kepada cara berpikir yang berangkat dari bagaimana seharusnya,– berbeda dengan konsepsi yang berlaku umum,– sebagaimana adanya! Untuk itu saya akan berbagi informasi tentang salah satu kampung tua di Lampung yang bernama Mataram Udik. Semoga bermanfaat

Mataram Udik adalah nama dari sekian banyak kampung tua yang masuk dalam wilayah administrasi Lampung Tengah. Banyak nama kampung lain yang menggunakan nama Mataram, seperti Mataram Ilir atau Mataram Marga di Lampung Timur. Dalam sejarahnya pengguna nama Mataram berasal dari kampung tua Mataram Udik. Mereka adalah kerabat, yang membangun kampung dan wilayah perladangan baru dengan menggunakan nama Mataram untuk menunjukan identitas bahwa mereka berasal dari Mataram Udik di Lampung Tengah.

Umumnya semua kampung di Lampung terletak di tepi jalan besar. Sementara wilayah perladangan pinggiran sungai. Berbeda dengan Mataram Udik, satu-satunya kampung tua di Lampung yang penduduknya justru tinggal di tepi sungai Way Pengubuan dan wilayah perladangannya ditepi jalan besar.

Memasuki kampung tua ini melewati perladangan di kiri kanan jalan, ujung aspal jalan masuk ini adalah Sungai Way Pengubuan yang pinggiran sungai di huni kurang lebih 300 kepala keluarga penghuni kampung tua. Sampai sekarang Way Pengubuan ini menjadi pemasok ikan sungai seperti Baung, Lais, Kemudik, bahkan Udang Air Tawar untuk wilayah Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur dan Lampung Utara.

Dari 300 kepada keluarga kampung tua Mataram Udik terdapat beberapa keluarga yang bukan orang Lampung. Mereka berasal dari Jawa dan profesinya pun tak lazim: pandai besi secara turun menurun. Selain lokasi pemukiman yang unik, penduduk kampung tua umumnya, suku Lampung tetapi di Mataram Udik ada suku Jawa yang hidup di tengah masyarakat adat lampung.

Informasi dari tokoh adat, nama Mataram berasal dari bahasa Lampung yang artinya mata kita. Terkesan sangat dipaksakan karena jika mau jujur, bahasa Lampung mata kita = mato ghram. Lalu bagaimana dengan keluarga Jawa yang profesinya pandai besi? Memiliki kemampuan darimana?

Sungai Way Pengubuan adalah sungai besar yang melewati Kabupaten Tulang Bawang dan muaranya di laut lepas yang dahulu menjadi jalur perdagangan masyarakat Lampung menuju Jawa. Awal tahun 2.000-an jalur transportasi Tulang Bawang – Jakarta pernah dihidupkan kembali oleh Bupati Mance. Tidak bertahan lama jalur ini lalu tutup hingga sekarang.

Banyak referensi yang menuliskan bahwa pelarian pasukan kerajaan  saat Mataram diserang menyebar hingga ke Banten. Mungkinkah sampai Lampung? Hanya pemalas yang buru-buru mengambil kesimpulan tanpa melakukan riset dan penelitian ilmiah. Ini harusnya menjadi tugas Universitas. Rektor harusnya memiliki visi untuk membangun Fakultas Ilmu Budaya. Melakukan riset-riset untuk melacak jejak asal usul orang Lampung.

Tapi apa yang bisa diharapkan jika Rektor Unila tidak pernah menggunakan otaknya untuk berpikir. Gelar Profesornya  hanya berorientasi untuk membangun kos-kosan. Sebuah bentuk usaha yangg tidak kreatif selain mengindikasikan sebagai pemalas yang tidak punya hati.

Serakah! Kenapa sih tidak memberikan ruang usaha kos-kosan untuk masyarakat setempat yang hidup di lingkungan kampus. Memang secara hukum tidak salah, tapi sebagai intelektual ini yang namanya tidak beradab! Selisih berebut tanah pula dengan tetangga sendiri. Lahan sengketa pun hanya 22 meter persegi. Betul-betul memalukan!

Sumpah saya malu jadi dosen Unila! Malu sebagai orang Lampung! “Api ubat malu nduk? Mati anakku!” Ini Dialog Radin Inten II dengan ibunya ketika hendak berperang melawan Belanda di pesisir Lampung Selatan.

Sejarah manusia bermula dari ilmu pengetahuan. Selain kampung tua di Mataram Udik, orang Lampung juga dipaksa percaya bahwa pernah ada kerajaan Tulang Bawang. Tapi letak kerajaan Tulang Bawang sendiri tidak pernah ada yang tahu. Pernah Universitas Lampung memberikan jawaban atas persoalan ini? Universitas menjadi unfaedah karena tidak mengenal masyarakatnya sendiri.

Tahun 1997 Bung Dirjen, Hilmar Farid pernah menterjemahkan buku yang super keren. Melalui buku itu kita jadi tahu secara detil tentang peristiwa awal pergerakan modern termasuk pengaruh HOS Tjokroaminoto. Sumber buku itu adalah riset dan penelitian orang Jepang, Takashi Shiraishi. Ayo bung, buat program riset lagi!

Artikel Terkait

[td_block_social_counter facebook="bergeloradotcom" twitter="bergeloralah" youtube="channel/UCKbE5la4z_J_DLH03Le8RzA" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]

Terbaru