Selasa, 2 September 2025

AKAL-AKALAN PARPOL DOANG..! Biang Kerok Kemarahan Rakyat Seharusnya Diberhentikan, Bukan Dinonaktifkan

JAKARTA- Polemik soal tunjangan DPR berbuntut panjang, namun sanksi yang diberikan partai politik kepada kadernya dinilai hanya ‘sandiwara’. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) melontarkan kritik tajam terhadap langkah sejumlah parpol yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI.

Langkah tersebut dianggap tidak menyentuh akar masalah dan terkesan setengah hati. Sejumlah nama besar yang dinonaktifkan antara lain Ahmad Sahroni dari NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, serta Adies Kadir dari Golkar.

Sementara itu, nasib Anggota Fraksi PDIP Deddy Sitorus yang juga terlibat dalam kontroversi ini masih belum jelas sanksinya.

Ketua Formappi, Lucius Karus, menilai keputusan tersebut lebih mirip strategi politik untuk meredam amarah publik sesaat ketimbang sebuah sanksi yang memberikan efek jera.

Menurutnya, penonaktifan ini tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya dikeluhkan masyarakat.

“Keputusan partai-partai itu tentu saja baik sebagai respons atas tuntutan publik yang mengkritik pernyataan dan sikap tidak pantas sejumlah anggota DPR itu terkait tunjangan DPR,” kata Lucius kepada wartawan, Minggu (31/8/2025).

Tak Ada di UU MD3, Sanksi Nonaktif Dianggap Cacat Hukum

Persoalan mendasar dari sanksi ini, menurut Lucius, adalah tidak adanya landasan hukum yang kuat. Istilah ‘nonaktif’ sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

“Istilah nonaktif ini bukan kata yang dipakai UU MD3 untuk menyebutkan alasan yang bisa digunakan DPR untuk memproses penggantian anggota DPR (PAW),” ujarnya.

Lucius menjelaskan secara rinci bahwa UU MD3 hanya mengatur tiga kondisi yang memungkinkan seorang anggota DPR diganti atau diberhentikan, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan secara resmi oleh partai.

Dengan demikian, status nonaktif tidak dapat diartikan sebagai sanksi formal dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengubah status keanggotaan mereka di parlemen.

“Nampaknya partai tak cukup berani untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan kader-kader mereka, yang memicu kemarahan publik,” katanya.

Strategi Tenangkan Publik, Gaji dan Tunjangan Jalan Terus

Formappi mencium adanya strategi politik di balik penggunaan istilah ‘nonaktif’. Lucius menilai ini adalah cara partai untuk menunjukkan bahwa mereka merespons publik, namun tanpa memberikan konsekuensi nyata kepada kadernya. Ini adalah langkah gamang yang diambil untuk menenangkan situasi sementara waktu.

“Oleh karena itu, keputusan parpol atas Eko, Sahroni Cs lebih nampak sebagai strategi untuk menenangkan publik sementara waktu sembari melihat perkembangan selanjutnya untuk memastikan sanksi terhadap kader-kader mereka,” kata Lucius.

Ironisnya, status nonaktif ini tidak memengaruhi hak finansial para anggota dewan tersebut. Mereka tetap menerima gaji dan seluruh tunjangan yang melekat pada jabatannya. Padahal, akar dari kemarahan publik adalah pernyataan mereka terkait tunjangan DPR.

“Ketika partai membuat keputusan yang ragu-ragu dengan menggunakan istilah non aktif, maka tunjangan yang jadi akar masalah munculnya aksi massa, masih akan diterima oleh kader-kader non aktif ini,” ujar dia. (Wrb Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru