JAKARTA – Abdul Wahid menjadi Gubernur Riau yang keempat terjerat kasus korupsi. KPK berharap kasus Abdul Wahid menjadi pengingat bagi seluruh pejabat di Riau.
“Ini adalah keprihatinan bagi kami, pertama, sudah empat kali ya ada empat gubernur yang ditangani terkait tindak pidana korupsi dengan yang ini ya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di KPK, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
KPK berharap tidak ada lagi pejabat di Riau yang akan terjerat kasus korupsi. “Perkaranya berbeda-beda ,tapi berulang seperti itu, dengan perkara yang berbeda-beda. kita berharap setop,” tambahnya.
Asep juga menyinggung wilayah Provinsi Riau yang APBD-nya sedang defisit. KPK meminta para kepala daerah membangun wilayahnya dengan benar.
“Itu APBD-nya itu defisit harusnya lagi prihatin, lagi prihatin prihatinlah, bangunlah daerahnya dengan sumber daya yang ada supaya APBD itu tidak defisit lagi bagaimana caranya bukan malah minta sejumlah uang membebani dari para stafnya,” tuturnya.
Adapun Abdul Wahid menambah daftar Gubernur Riau yang terjerat kasus korupsi. Ketiga Gubernur Riau sebelumnya yang tersangkut kasus korupsi yakni Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun.
Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap para bawahannya di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau oleh KPK. Selain Abdul Wahid, KPK menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka.
Dua tersangka lainnya ialah Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam. KPK juga menyita uang pound sterling hingga dolar AS dari rumah Abdul di kawasan Jakarta Selatan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pentingnya Integritas
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menyinggung pentingnya seseorang menjaga integritasnya, saat berbicara tentang potensi terjadinya tindak pidana korupsi di daerah. Menurut dia, negara tidak bisa menunggu semua pejabat menjadi orang baik untuk memberantas korupsi.
“Mau dicekokin ilmu sebanyak apa pun, tapi kalau niatnya sudah tidak baik, enggak ada gunanya. Oleh karena itu, tergantung individunya. Apakah kita harus menunggu individu-individu yang baik, baru semua baik?” ujar Setyo saat memberikan arahan dalam acara peluncuran Indikator Monitoring Center of Prevention (MCP) 2025, dikutip dari kanal YouTube KPK, Rabu (5/3/2025).
Ia menambahkan, integritas merupakan sebuah hal lahiriah yang ada pada setiap orang. Sebanyak apa pun ilmu yang diberikan, imbuh dia, jika seseorang sudah memiliki niat buruk untuk melakukan kejahatan maka hasilnya juga akan buruk.
Sebab, korupsi dapat terjadi karena adanya suatu kesempatan untuk berbuat jahat.
“Kesempatan ini yang seringkali banyak. Kadang ada giung, batu dilempari ke sana, ketemu orang korupsi. Lempar sandal ke sana, ketemu orang pungli di mana-mana kesenggol semuanya, ada-ada saja,” lanjut dia.
Setyo mengatakan, jika semua kepala daerah bisa berkomitmen untuk menjaga daerah mereka dan patuh pada sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi yang telah dibuat, potensi korupsi ini juga bisa diminimalisasi.
Sebaliknya, jika kepala daerah tidak patuh pada sistem mitigasi ini, semua upaya pemberantasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat akan sia-sia.
Untuk itu, Setyo mendorong agar sistem yang sudah ada bisa menjadi satu ekosistem yang lebih baik lagi.
“Jangan sampai regulasi mempersulit, menghambat, dan menakutkan bagi pelaku usaha dan para investor,” kata Setyo lagi.
𝗦𝗮𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗮𝗻 𝗠𝗮𝘁𝗶
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, menanggapi hal,di atas, praktisi dan pengamat hukum, Zeth Kobar Warouw menegaskan, saatnya hukuman mati diterapkan di Indonesia terhadap para koruptor baik ada eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena hanya kematian yang bikin para pejabat takut atau setidaknya enggan melakukan korupsi.
“Hukuman mati pada beberapa dari puluhan koruptor paling kakap yang sedang proses akan memberikan efek kejut dan menakutkan baik pada pejabat dan keluarganya. Istri dan anak yang biasa minta barang mewah dan jalan-jalan keluar negeri otomatis akan berhenti merengek, karena bayangan hukuman mati ada disetiap keluarga pejabat yang hidupnya glamour,” tegasnya Kamis (6/3) lalu di Jakarta,
Menurutnya, para koruptor yang belum ketahuan akan memilih mengembalikan uang jarahannya. Keluarganya pasti gemetaran mengingat ancaman hukuman mati kalau sampai ketahuan. Seruan Presiden Prabowo agar para koruptor mengembalikan uang negara pasti akan bermanfaat.
“Percuma kalau hukuman mati tidak diterapkan, malahan seruan Presiden Prabowo jadi tertawaan para keluarga koruptor dan jadi pompa kebencian anti pemerintah,” ujarnya.
“Hukuman mati juga akan menghapus penjara buat koruptor yang selama ini melahirkan korupsi berupa pungli dan pemerasan di penjara,” Sambungnya.
Hukuman mati menurut Zeth Warouw juga otomatis akan mendidik keluarga dan masyarakat tentang bahaya korupsi. Koruptor yang dihukum mati akan memberikan sanksi sosial kepada keluarga setidaknya pada 3 generasi dibawah dan 3 generasi ke atas dan seluruh keluarga besar. Ini akan efektif dan cepat terjadi peningkatan kesadaran tentang bahaya korupsi, lebih berbahaya ketimbang tersengat listrik, karena seluruh keluarga besar akan ikut ‘mati’ oleh sanksi sosial.
“Seluruh keluarga besar otomatis kesulitan mendapatkan pekerjaan, akan kesulitan mendapatkan sekolah bahkan kesulitan mendapat tempat tinggal karena ditolak masyarakat,” paparnya.
Sehingga menurutnya penegakan hukum tidak membutuhkan program sosialisasi anti korupsi miliaran yang selama ini sia-sia.
“Baru satu sampai 5 orang koruptor saja yang dihukum mati secara bergiliran dan mendapatkan publikasi luas, pasti akan membuat semua pejabat dari tingkat desa sampai nasional takut untuk mengentit serupiah pun,” ujarnya.
𝗣𝗿𝗼-𝗸𝗼𝗻𝘁𝗿𝗮 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗮𝗻 𝗠𝗮𝘁𝗶
Zeth Warouw menyoti pro kontra yang tidak berujung dari hukuman mati, sementara koruptor menari-nari di atas uang rakyat banyak yang dikorup dan penderitaan rakyat karena kemiskinan.
“Penolakan hukuman mati atas nama HAM seorang koruptor sudah absurd karena jutaan rakyat yang gak bisa keluar dari lubang kemiskinan beranak pinak karena negara membiarkan duit rakyat dirampok koruptor,” ujarnya.
Zeth Kobar mengatakan, hukuman mati dipertentang dengan Sila Ketuhanan dan Sila Prikemanusian dalam Pancasila secara semena-mena atas nama agama dan kemanusiaan.
“Tapi mereka menutup mata pada jutaan orang yang menjadi korban generasi ke generasi akibat korupsi merajalela,” tegasnya.
“Agama dan kemanusiaan macam apa yang tidak bisa membela satu orang koruptor dan membiarkan jutaan orang miskin? Tuhan yang mana yang membela nyawa koruptor? Jangan bilang nyawa koruptor ada ditangan Tuhan demi melanggengkan penderitaan jutaan orang miskin,” tegasnya.
Oleh karennya menurutnya Presiden Prabowo menurutnya harus berani mengakhiri pro-kontra dengan mengeluarkan instruksi hukuman mati pada koruptor, agar tidak menunggu DPR, aktivis HAM dan ahli hukum yang selalu menghambatnya.
“Seluruh rakyat pasti mendukung. Yang gak dukung hanya antek koruptor. Karena negara sudah dalam keadaan darurat, dibutuhkan kecepatan dan ketepatan mengambil keputusan sebelum kita semua tenggelam karena kapal Republik Indonesia dibobol koruptor,” tegasnya.
“Mumpung presiden kita Jenderal Prabowo yang punya cita-cita mempercepat menuju.masyarakat Indonesia adil makmur. Tanpa perintah hukuman mati dari presiden. Semua cuma impian kosong,” tegas Zeth Warouw (Calvin G. Eben-Haezer)

