Oleh: Nirmal Ilham
DILEMA pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi biasanya suka dengan kebijakkan yang popular agar selalu mendapat dukungan rakyat. Padahal tidak selamanya kebijakkan popular baik bagi rakyat dan negara. Untuk itu pemimpin dituntut berani dalam mengambil keputusan dan matang dalam komunikasi politiknya.
Presiden Jokowi diuji keberanian dan kematangannya sebagai pemimpin, terhadap kebijakkan pemindahan ibukota negara. Karena membuat ibukota baru adalah pekerjaan yang sangat besar, sangat kompleks dan sangat mahal. Penolakan terhadap proyek tersebut juga pasti sangat banyak.
Sejarah rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan itu sendiri sudah ada sejak era presiden pertama Sukarno. Artinya memang ada alasan strategis dalam pemindahan ibukota ke Kalimantan.
Alasan itu ada yang dikemukakan ke publik. Tapi ada juga yang disembunyikan, karena bukan untuk konsumsi publik.
Alasan yang mengemuka adalah pertama, pemerataan penduduk untuk mengurangi kepadatan di Pulau Jawa. Kedua, pemerataan ekonomi agar tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Ketiga, efisiensi transportasi bagi daerah yang menuju ke ibukota karena Kalimantan berada di tengah kepulauan Indonesia.
Keempat, geologi Kalimantan yang kecil kemungkinan dari bencana gempa, tsunami dan gunung berapi. Kelima, geopolitik Kalimantan yang didalamnya ada tiga negara yang stabil dan makmur yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei. Yang berpotensi mempercepat roda perekonomian ibukota baru.
Keenam, geostrategis lokasi ibukota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Mendekatkan Indonesia dengan negara-negara asia pasifik yang lebih maju seperti Cina, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Selain itu jalur lautnya adalah Selat Makasar yang merupakan jalur perdagangan internasional yang ramai.
Dari semua alasan yang mengemuka tersebut, tidak ada mendung yang membuat pemindahan ibukota menjadi suram. Namun jika membongkar semua alasan yang disembunyikan, maka ada awan hitam di kegelapan malam yang mencekam. Hal ini berhubungan dengan sejarah masa silam dan prediksinya di masa depan yang kelam.
Semuanya menyangkut Cina. Dari pemerintah nasionalisnya hingga pemerintah komunisnya. Pemerintahan Nasionalis Cina atau Republik Cina (sekarang Taiwan) adalah yang pertama membuat peta Cina pada tahun 1946.
Dimana dalam peta tersebut ada sembilan garis putus-putus atau nine dash line berbentuk huruf U yang menguasai 90 persen Laut Cina Selatan (LCS).
Pemerintah Nasionalis Cina sendiri tidak dapat menjelaskan secara hukum dasar klaim tersebut. Karena hukum laut internasional tentang klaim atas laut itu harus berpangkal pada garis pantai negaranya. Sedangkan klaim Cina tidak berdasarkan garis pantai daratannya atau pulau-pulau miliknya. Cina hanya membuat alasan sejarah yang menghubung-hubungkan LCS sebagai wilayah tradisional nelayan mereka.
Sedangkan hal yang berkaitan dengan pemerintah komunis Cina atau Republik Rakyat Cina saat ini adalah melanjutkan klaim dari pemerintahan sebelumnya secara agresif. LCS yang berada di utara Kalimantan itu disebut pemerintah komunis Cina sebagai “kedaulatan tak terbantahkan”.
Agresifitas pemerintah komunis Cina ditunjukkan dengan membangun pulau buatan di atas pulau-pulau karang. Dimulai dengan Kepulauan Paracel pada 1980-an, Kepulauan Spratly pada 1990-an, dan kepulauan Scarborough pada 2000-an. Terbaru Cina membuat pulau buatan di dekat Kepulauan Natuna.
Pulau-pulau buatan itu ternyata dijadikan sebagai pangkalan militer Cina. Dari pangkalan tersebut dapat dilihat bagaimana Cina bereaksi keras terhadap kebebasan navigasi dan kebebasan penerbangan di LCS. Yang menimbulkan reaksi keras balik dari Amerika Serikat. Sehingga ancaman perang pasifik tak terhindarkan.
Situasi semakin tidak menguntungkan bila perang benar terjadi dan dimenangkan oleh Cina. Karena Cina lebih unggul dalam hal jumlah personel dan jumlah kapal perang dari mulai jenis korvet, fregat hingga destroyer dan kapal selam. Cina hanya kalah pada jumlah kapal induk dan pesawat tempur dari Amerika Serikat.
Lalu jika Cina menang perang apakah Cina berhenti di Laut Cina Selatan saja? Kepala Intelijen era Orde Baru, Ali Murtopo dimasanya sudah menjelaskan bahwa setelah orang-orang Cina diusir oleh Sukarno. Cina kembali mengirim orang-orangnya ke Indonesia pada masa Suharto.
Jumlahnya lebih banyak dan polanya lebih terencana. Yaitu menetap di wilayah sepanjang pantai timur Sumatera, pantai barat Kalimantan dan pantai utara Jawa.
Artinya klaim Cina dengan sembilan garis putus-putus yang berbentuk huruf U itu tidak hanya berhenti menguasai Laut Cina Selatan saja. Tetapi akan berlanjut dengan klaim yang sama yang semakin masuk ke dalam wilayah laut Indonesia. Dimana klaim laut itu mengitari seluruh Pulau Kalimantan. Sehingga Kalimantan secara otomatis akan masuk ke dalam wilayah klaim Cina.
Cina dapat melakukan hal itu dengan dalih pemenang perang. Apalagi jika ditambah alasan sejarah yang dihubung-hubungkan. Seperti sejarah suku dayak, orang asli Kalimantan yang asalnya dari pulau Formosa (Taiwan) bermigrasi 4 ribu tahun lalu.
Skenario terburuk inilah alasan tersembunyi pemerintah memindahkan ibukota ke Kalimantan. Dan dengan cerdas ibukota itu ditempatkan di Kabupaten Kutai Kertanegara. Sejarahnya ditempat itu pernah ada Kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan pertama dan tertua di Indonesia yang berdiri pada abad ke-4 masehi. Sehingga sejarah dilawan dengan sejarah.
Jika ekspansi militer dilawan dengan militer. Maka Indonesia akan memiliki legitimasi dalam berperang mengingat ibukota negara adalah pusat pemerintahan dan simbol kedaulatan sebuah negara yang harus dipertahankan sekuat tenaga. Dalam sejarah dunia, penaklukan sebuah negara secara de facto ditandai dengan keberhasilan menduduki ibukota negaranya.
Sehingga pemindahan ibukota ke Kalimantan dilakukan dalam rangka antisipasi ekspansi militer Cina. Bukan penyerahan kedaulatan Indonesia kepada Cina. Karena secara perhitungan militer, perang untuk mempertahankan ibukota di pulau Kalimantan akan berjalan efektif dibanding perang mempertahankan ibukota Jakarta di pulau Jawa.
Alasan pertama, geografi pulau Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar di dunia yang luasnya enam kali pulau Jawa. Artinya perang di Kalimantan akan membutuhkan waktu lama. Biasanya pihak penyerang tidak akan sanggup bertahan karena faktor logistik. Selain itu medan Kalimantan yang berbukit, rawa, gambut, semak belukar dan hutan lebat tidak memungkinkan peralatan militer berat asing untuk bebas beroperasi.
Kedua, demografi pulau Kalimantan yang secara keseluruhan dari lima provinsi disana hanya berpenduduk 16 juta jiwa atau 6 persen dari total penduduk Indonesia. Ini akan meminimalisir jumlah korban jiwa. Dan tidak akan terjadi rebutan bahan pangan antara rakyat dan militer yang mengganggu jalannya perang.
Ketiga, harta negara baik berupa uang, cadangan devisa, cadangan emas, benda berharga, dan koleksi museum tidak berada di Kalimantan. Sehingga aman dari penjarahan pihak penyerang. Begitupun dengan sebagian besar situs peninggalan sejarah seperti candi dan istana yang tidak berada di Kalimantan sehingga selamat dari kerusakan perang. Selain itu kerusakan kota-kota besar pusat perekonomian seperti Jakarta, Surabaya dan Medan dapat diminimalisir.
Berdasarkan alasan tersembunyi dari pemindahan ibukota ke Kalimantan itu, disadari kebijakkan tersebut tidak salah. Walaupun tampak masa depan yang tidak cerah. Tapi jika skenario terburuk tidak terjadi, itu merupakan berkah. Tuhan masih menolong bangsa Indonesia yang hidup rukun harmonis di zamrud khatulistiwa yang indah.
Penulis, Nirmal Ilham, Tenaga Ahli di DPR-RI