JAKARTA- Bangsa Indonesia beruntung masih memiliki Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi benteng menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme transnasional berkedok agama. Nahdlatul Ulama adalah satu-satunya organisasi Islam yang mengakar dan dicinta seluruh rakyat Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Aristides Katoppo, tokoh pers nasional kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (11/6)
“Peran Nahdlatul Ulama sangat penting untuk kembali menegaskan visi-misi profetiknya yang agung, yaitu mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh semesta raya. Beruntung bangsa Indonesia masih punya Nahdlatul Ulama,” ujarnya.
Aristides menyebutkan, walaupun Nahdlatul Ulama disebut sebagai kaum sarungan sebagai cerminan konservatisme,–namun telah membuktikan konsistensinya menjaga profetik agung Nabi Muhammad SAW agar Islam menjadi berkah bagi seluruh umat manusia.
“Jadi salah dan tidak tepat kalau menyebut NU sebagai Islam konservatif. Ternyata NU menjalankan visi Islam masa depan yang sangat modern. Dibandingkan dengan kelompok yang dikatakan modern, metropolis dan mahir komputer tapi pikiran dan visinya justru sebaliknya. Ini penting untuk diluruskan agar bangsa dan umat Islam menyadarinya,” katanya.
Menurut Pimpinan Harian Sinar Harapan ini, Nahdlatul Ulama telah berhasil membuktikan ajaran kebaikan dan kebenaran dalam Islam kepada masyarakat non-muslim, disaat berbagai pemberitaan negatif tentang Islam secara nasional maupun internasional.
“Kalau tidak ada NU, maka kita yang kita lihat saat ini hanyalah pemberitaan negatif saja tentang Islam,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam menginginkan Nahdlatul Ulama berperan lebih aktif lagi mengurus masalah negara dan kebangsaan saat ini. Sudah saatnya para pemimpin Nahdlatul Ulama mempersiapkan kader-kader terbaiknya terlibat penuh mengembalikan persatuan dari berbagai keragaman Indonesia, yang menjadi fondasi berdirinya bangsa Indonesia.
“Dulu ada Gus Dur, sekarang masih ada Gus Mus dan kawan kawan sebagai tokoh nasional, menyampaikan pesan-pesan Islam rahmatan lil ‘alamin pada bangsa ini. Kami rindu mendengar pesan-pesan mereka untuk menhadapi ancaman radikalisme dan terorisme,” ujarnya.
Menurut Aristides, sebaliknya media massa khususnya di nasional harus bisa mengartikulasi pesan para ulama Nahlatul Ulama agar terdengar diseluruh pelosok kota dan pedesaan.
“Rakyat saat ini membutuhkan siraman rohani dari para Ulama NU. Media massa musti menangkap dan memberikan porsi lebih banyak lagi memfasilitasi pesan-pesan Ulama NU. Ini untuk menyadarkan umat dan bangsa Indonesia, bahwa walau kita berbeda-beda, tapi kita tetap harus bersatu, tak boleh mudah dipecah belah,” ujarnya.
Peran NU Dalam BPUPKI
Aristides juga mengingatkan peran Nahdlatul Ulama dalam pendirian Republik Indonesia yang sangat penting bagi persatuan bangsa Indonesia sampai saat ini. Dalam sidang BPUPKI, Soekarno dan Hatta sendiri telah menyetujui Syariah Islam menjadi bagian dari pada pembukaan UUD’45. Namun karena ada masukan pentingnya persatuan Indonesia dari beberapa tokoh non muslim dari Sulawesi Utara dan Bali maka Syariah Islam tidak dimasukkan dalam Pembukaan UUD’45.
“Hanya karena visi dan misi Islam rahmatan lil ‘alamin lah yang dimiliki para pimpinan NU, maka secara sadar dan bulat, maka Syariah Islam tidak dimasukkan dalam Pembukaan UUD’45,” ujarnya.
Ia mengingatkan agar semua orang mempelajari kembali sejarah berdirinya bangsa ini karena tidak mungkin ada Indonesia hari ini tanpa perjuangan para pendiri bangsa yang mendahului. Tanpa persatuan Indonesia yang dibangun beradarah-darah, tidak mungkin ada kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai hari ini.
Ia menegaskan bangsa dan negara ini hanya akan maju jika bisa sungguh-sungguh bersatu. Persatuan tidak bisa dibangun jika tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan.
“Dalam persatuan kita mengakui berbagai keragaman perbedaan. Dengan kekuatan persatuan dari keberagaman itu kita pasti mampu lebih kuat lagi mengejar berbagai ketertinggal,” tegasnya (Web Warouw)