JAKARTA- Aliansi Perempuan Bangkit menyoroti semakin banyaknya kekerasan, teror dan intimidasi, baik terhadap masyarakat
sipil, mahasiswa, pembela HAM dan Jurnalis.
“Dengan ini kami para perempuan pembela HAM dan Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Bangkit mengecam keras perbuatan teror dan intimidasi yang dialami antara lain oleh kantor KONTRAS, peserta aksi demo dan kemudian intimidasi dengan dua kali pengiriman bangkai binatang kepada Jurnalis yang secara spesifik ditujukan kepada Jurnalis perempuan Tempo pada minggu lalu,” tegas Nursyahbani Katjasungkana kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (29/3).
Ia juga mengecam pelecehan seksual pada peserta perempuan peserta aksi-aksi gerakan masyarakat sipil yang menolak RUU TNI.
Ia mengungkapkan, Aliansi Perempuan Bangkit, mencatat bahwa sudah tidak terhitung Pembela HAM dan Jurnalis, mengalami intimidasi, pelecehan dan teror dengan cara-cara purba yang sering dipakai untuk mengontrol dan membatasi kebebasan ekspresi dan Hak Asasi Manusia dari masyarakat sipil atau kepada media atau jurnalis.
“Tindakan tersebut menjadi wajah pemerintah yang tidak mencerminkan perlindungan terhadap warganya dan hanya peduli
pada aspirasi dan kepentingan elite politik saja,” tegasnya.
Nursyahbani mengingatkan, para pembela HAM dan media merupakan pilar demokrasi yang menyuarakan suara rakyat
dan kebenaran serta memberikan masukan kritis pada rezim pemerintahan, yang dijamin oleh UUD 1945, yang berperan juga untuk ikut serta dalam penegakan HAM.
“Karena itu sudah
seharusnya negara memberikan perlindungan kepada mereka sebagai perwujudan hadirnya
negara dalam melaksanakan kewajibannya mewujudkan dan memperkokohkan ideologi Pancasila dan UUD 1945, dalam berbagai proses demokrasi dan politik kita.
Untuk itu menurutnya Aliansi Perempuan Bangkit menuntut Presiden dan kabinetnya, untuk menjalankan hukum dań konstitusi dengan menghentikan intimidasi dan teror serta tindakan tidak beradab lainnya yang terjadi sekarang ini.
“Kami mendesak Kepolisian RI untuk menginvestigasi intimidasi dan teror baik langsung atau tidak langsung (melalui media daring termasuk doxing) terhadap jurnalis TEMPO, dan menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Aliansi Perempuan Bangkit juga meminta Juru Bicara Presiden dan pejabat pemerintah lainnya, agar memberikan tanggapan sesuai dengan visi pemerintah dengan menghormati Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tidak bertindak sebaliknya.
“Kami juga menuntut jaminan perlindungan bagi semua pembela HAM, khususnya Perempuan Pembela HAM (PPHAM) dan Jurnalis, agar tidak mendapatkan ancaman
atau teror dalam bentuk apapun,” tegasnya.
Aliansi Perempuan Bangkit mengajak masyarakat sipil untuk aktif mengkritisi ketidakadilan dan represi,
juga bersatu menghadapi tantangan yang terjadi dalam masyarakat.
Aliansi Perempuan Bangkit beranggotakan Perempuan Pembela HAM, Jurnalis, aktivis gerakan sosial, individu, akademisi, lembaga jaringan organisasi HAM dan perempuan dari Sabang sampai Merauke.
Kekerasan TNI Terhadap Perempuan
Sebelumnya dilaporkan banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI terhadap perempuan menjadi sorotan dalam aksi yang digelar oleh Suara Ibu Indonesia di depan Sarinah, Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, pada Jumat, 28 Maret 2025.
Dalam orasinya, Aida, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyinggung laporan Komnas Perempuan yang mengungkap tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sepanjang 2020-2024, Komnas Perempuan mencatat ada sebanyak 190 laporan kasus yang merupakan tindak pidana umum.
“Kasus-kasus tersebut diselsaikan di pengadilan militer yang sangat tertutup dan tidak berpihak kepada korban,” kata Aida.
Aida menilai, pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara diam-diam merupakan bukti bahwa pemerintah tidak memberikan bagi masyarakat untuk memberi masukan. Sehingga, kata dia, berdemonstasi adalah satu-satunya cara untuk didengar, meskipun massa aksi mengalami kekerasan dari aparat kepolisian.
Ririn Sesfani, bagian dari Suara Ibu Indonesia, mengatakan gerakan ini merupakan bagian dari Suara Ibu Peduli yang tumbuh saat Orde Baru. Dia mengatakan kembalinya dwifungsi TNI dikhawatirkan akan merenggut ruang-ruang yang seharusnya diisi oleh masyarakat sipil.
“Kekhawatiran kami adalah rezim ini, melalui aparatnya, semakin tidak peduli terhadap suara kami dengan melakukan kekerasan,” ujar Ririn.
Dia pun mendorong ibu-ibu di seluruh Indonesia untuk ikut turun ke jalan atau mendukung anak-anak muda yang turun ke jalan.
Revisi UU TNI yang disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025 menuai kritik keras dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat di beberapa daerah, seperti Surabaya dan Pekanbaru, turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun aksi tersebut mendapat respons represif dari aparat. (Web Warouw)