Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi *
PERMINTAAN maaf Mas Amin Rais atas kenaifan dirinya dalam mengkalkulasi “out put” dari penerapan UUD hasil 4 kali Amandemen oleh MPR yang dipimpinnya, sebagaimana yang disampaikan Prof Dr. Mahfud MD melalui Kolom Opini Harian Kompas tanggal 15 Juni 2024 yang lalu, membuat ingatan penulis sempat kembali ke tanggal 8 Juni 2008, saat Pak Amien hadir sebagai Nara Sumber dalam bedah buku karya Penulis yang berjudul “Mengutamakan Rakyat” di Delta Plaza Surabaya.
Sungguh diluar dugaan kalau ternyata Mas Amin saat itu belum bisa memahami penjelasan bahwa jiwa dan semangat yang otoriter, serta sifat akonstiturif dan asistemik UUD-1945 yang asli masih berlanjut dan melekat pada UUD-1945 Hasil 4 kali Amandemen.
UUD -1945 Adalah UUD Yang Akonstitutif dan Asistemik.
Disebut akonstitutif, karena UUD-1945 yang asli belum memuat “tool” tentang bagaimana tujuan dan cita-cita didirikannya negara hendak diwujudkan.
Dari Kumpulan Pidato dan Risalah Rapat-Rapat BPUPKI/PPKI dapat diketahui bahwa karena begitu tergesa-gesanya “Founding Fathers” kita untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, membuat PPKI tidak sempat merumuskan sendiri Rancangan UUD dan membahasnya dengan matang.
Bukankah Rancangan UUD yang kemudian oleh PPKI hanya sempat dibahas 1 kali saja adalah Rancangan UUD yang diserahkan oleh Moch. Yamin kepada Bung Karno (Tanpa diketahui siapa pembikinnya dan dimana dibikinnya) yaitu setelah Pemerintah Pendudukan Jepang menolak usulan Ketua PPKI untuk Moch. Yamin dimasukan dalam Tim Penyusun UUD yang dipimpin Bung Karno.
Adapun ketergesa-gesaan termaksud terkait dengan jadwal keberangkatan Bung Karno dan Rajiman untuk segera menghadap Panglima Perang Asia Timur Raya di Dalat (Vietnam Selatan) untuk memastikan bahwa Indonesia siap memproklamasikan kemerdekaannya, dengan membawa bukti dokumen UUD yang telah disetujui PPKI tersebut, karena mustahil ada negara tanpa UUD.
Dari kontekstual sebagaimana dijelaskan di atas, kiranya dapat dimaklumi kalau tujuan dan cita-cita dibentuknya NKRI yang didasarkan pada prinsip dasar “Kedaulatan Ditangan Rakyat” dalam kenyataannya amanat batang tubuh UUD nya belum mengatur keberadaan Partai dan Pemilu sekalipun.
Hal yang sejenis juga dalam pengaturan tata kelola dibidang ekonomi, hukum, TNI dan aspek kehidupan lainnya.
Keadaan tersebut oleh Bung Karno dan juga Pak Harto kemudian disiasati dengan mengadopsi “tool” dari paham lain tanpa terlebih dahulu disesuaikan dengan budaya bangsa dan sebagian lagi baru sebatas gagasan elit berkuasa semata, yang kemudian distempel dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Era Bung Karno); Demokrasi Pancasila dan juga Ekonomi Pancasila (Era Orba).
Dari fakta sosial yang seperti itu, kita tahu diera Bung Karno sendiri, Koes Plus dipenjara hanya karena “menyanyi”. Sementara sejak era Orba hingga saat ini, masyarakat Adat seperti Samin, Badui, Tengger dan lain-lainnya yang keberadaannya di bumi Nusantara jauh lebih dahulu sebelum NKRI lahir, tidak bisa memiliki KTP, kecuali dengan memalsukan data Agama.
Dan belum lagi bukti sejarah yang memilukan akibat pendholiman negara terhadap rakyatnya sendiri, dengan jumlah korban yang tidak kecil, tapi semuanya itu konstitusional dan juga sah menurut hukum.
UUD-1945 yang asli juga asistemik, karena rangkaian sub-sub sistem kenegaraan yang tertuang didalamnya belum merupakan sebuah rangkaian yang saling mengkait dan bersinerji satu dengan lainnya dalam sebuah totalitas.
Berangkat dari rumusan dalam perencanaan pembangunan, malah menggunakan model GBHN, padahal model GBHN hanya mungkin diterapkan dalam negara dengan 1 Partai yang saat itu dikenal hanya pada sistem negara komunis.
Disisi lain, model GBHN yang kandungannya berisi Rencana Pembangunan Jangka Pendek (5 Tahun), Sedang (10-15 Tahun) dan Panjang (25 Tahun) mustahil bisa diterapkan dalam negara demokrasi yang menempatkan Pemilu sebagai sarana kontrak sosial dalam pembentukan Pemerintahan, karena dalam Pemilu potensial terjadinya pergantian Rezim berkuasa yang beda ideologi.
Bukankah janji politik Calon Presiden dalam kampanye Pemilu, wajib dilaksanakan sebagai program Pemerintah manakala dirinya tampil sebagai pemenang Pemilu.
Lebih nyata pada UUD hasil 4 kali amandemen, karena dalam melakukan 4 kali Amandemen tidak didahului dengan perubahan “Platform” kenegaraan dari otoriter menjadi demokrasi, tapi langsung menukit ke perubahan Pasal-Pasal, maka jiwa dan semangat yang otoriter, serta rumusan batang tubuh yang akonstitutif dan asistemik masih terus berlanjut.
Lebih dari itu sejumlah amanatnya justru saling menegasikan embanan lembaga negara yang satu dengan lainnya. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dalam rumusan sistem demokrasi, dimana Pemilihan Presiden dilakukan secara langsung oleh Rakyat, artinya sistem yang dipilihnya adalah Demokrasi dengan Sistem Presidensial, tapi Lembaga DPR yang dirancangnya adalah model DPR pada sistem Parlementer, dimana kedudukan DPR adalah Wakil Partai, bukan Wakil Rakyat sebagai prasyarat untuk lahirnya kondisi “chek and balance” dalam sistem Presidensial. Dan karena dalam UUD nya tidak ada kejelasan batasan tentang Partai, maka yang kini tergelar Partai bukanlah “wadah Perjuangan kumpulan orang-orang se ideologi yang punya kesamaan cita-cita”, tapi justru digunakan untuk membesarkan karir anak sang Pemilik Partai.
Berangkat dari kesemrawutan sistem kenegaraan yang kita terapkan sejak awal berdirinya NKRI, sungguh “absurd” kalau ada elit bangsa berharap terbentuknya “ahklaq mulia” para penyelenggara negara, terlebih elitnya. Bukanlah baik buruknya moral Penyelenggara Negara di negara manapun sangat ditentukan oleh “aturan main” yang digunakan, sama sekali tidak ada kaitan dengan tinggi rendahnya pengetahuan agama yang dimilikinya dan tampilannya yang agamais.
Disanalah pentingnya solusi cerdas agar bangsa ini segera keluar dari belenggu realitas yang memasung negeri ini, dengan merekonstruksi UUD nya.
UUD Yang Ber “DNA” Pancasila Sebagai “Condition Sine Qua Non”
Dalam kekumuhan moral elit bangsa dan juga keredupan NKRI akibat salah kelola negara, satu hal yang memilukan adalah sikap sebagian elit kita yang malah sibuk dengan usulan menghidupkan kembali Penataran P-4, seolah dengan hafal nilai-nilai luhur Pancasila, bakal menjamin bangsa ini terkhusus elitnya menjadi berakhlaq mulia.
Dan sebagian lagi malah mengusulkan untuk kembali ke UUD-1945 yang asli, sepertinya mereka belum tahu bahwa UUD bukanlah hasil elaborasi dari nilai-nilai luhur Pancasila. Bukankah UUD-45 ibarat dalam sebuah keluarga, memang betul nama ayah yang tercantum dalam KK (Kartu Keluarga) tertulis Pancasila, tapi bagaimana kalau realitanya “sprema” yang membuahi “ovum” sang ibu pertiwi bukanlah sperma yang keluar dari kelamin Pancasila. Disisi lain, bukankah penerapan UUD-1945 yang asli dengan tenggang waktu lebih 35 tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk meyakini bahwa mustahil dengan UUD-1945 yang asli kita bakal dapat mewujudkan tujuan dan cita-cita didirikannya NKRI.
Untuk itu, bangsa ini perlu segera melaksanakan Amanat Bung Karno yang disampaikan tanggal 18 Agustus 1945 pada Sidang PPKI saat pengesahan UUD-1945 yaitu amanat untuk menyusun UUD yang lebih sempurna. Sudah barang tentu UUD yang sempurna termaksud, haruslah disusun dengan mengelaborasi nilai-nilai luhur dasar negara Pancasila sehingga dijamin ber “DNA” Pancasila.
Lebih dari itu kelak UUD yang disusun haruslah konstitutif dan juga sistemik, dalam bentuk nilai terapan berupa “tool” yang mempunyai kejelasan serta kepastian pilihan model untuk digunakan sebagai hukum dasar yang kelak dijabarkan dalam bentuk UU dan turunannya.
Lebih dari itu, rumusan “tool” termaksud haruslah teruji validitas kebenarannya baik secara teori (keilmuan) maupun dalam praktek oleh negara lain sekalipun. Dengan demikian 270 Juta lebih anak bangsa kedepan tidak lagi dijadikan “kelinci percobaan” gagasan elit bangsa.
Untuk maksud tersebut hanyalah mungkin, manakala yang merancang dan membahasnya adalah orang ahli yang diwadahi dalam Lembaga independen (Bukan Partisan) sehingga makna “Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan” otomatis bakal terwujud, karena dalam bermusyawarah otomatis dilandaskan pada basis keilmuan yang kebenarannya telah terbukti dalam praktek.
Dan sudah barang tentu untuk pengesahannya tetap dilaksanakan oleh Lembaga yang berwenang yaitu MPR RI.
*Penulis Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, Mantan Aster KASAD dan Abituren Program Pasca Sarjana S-3 IAKN Kupang

