JAKARTA – Di tengah memanasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat, investor global mulai gelisah dan mempertanyakan apakah Beijing akan memanfaatkan kepemilikannya atas obligasi pemerintah AS (US Treasury/UST) sebagai alat tekanan terhadap Washington.
Seperti dikutip Bergelora.com dari Reuters di Jakarta, Sabtu (19/4) sejumlah pengamat dan media pemerintah China telah lama menyerukan agar pemerintah memanfaatkan kepemilikan besar mereka atas surat utang AS sebagai senjata ekonomi.
Di sisi lain, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, justru menyatakan bahwa kepemilikan China tersebut— yang menurut Departemen Keuangan AS mencapai US$760 miliar — sama sekali tidak memberikan pengaruh atau daya tawar terhadap Amerika.
Kekhawatiran investor meningkat setelah pekan lalu terjadi aksi jual besar-besaran yang mendorong imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melonjak hingga 4,59%.
Para manajer investasi pun dibanjiri pertanyaan dari klien terkait skenario terburuk yang selama ini dikhawatirkan, misalnya, apakah China menjual sebagian besar, atau bahkan seluruh obligasi AS yang dimilikinya, untuk menaikkan suku bunga dan memberi tekanan terhadap pemerintahan Presiden Donald Trump, yang belakangan mengobarkan perang tarif.
Meskipun Beijing dalam beberapa tahun terakhir mulai mendiversifikasi cadangan devisanya, China tetap membutuhkan simpanan surat utang dalam denominasi dolar untuk berjaga-jaga jika nilai tukar yuan mulai melemah tajam.
Bank Sentral China (PBoC) memang telah menghindari penjualan langsung surat utang AS sejak 2015, ketika membutuhkan cadangan devisa saat mencoba menahan depresiasi yuan.
Namun, jika Beijing kehilangan cadangan dolar itu, kebijakan alternatif untuk menstabilkan nilai tukar akan jauh lebih lemah.
Scott Bessent yang sebelumnya merupakan hedge fund di Soros Fund Management dan pendiri Key Square Group, perusahaan investasi global tersebut, berpendapat bahwa Bank Sentral China kemungkinan harus membeli kembali yuan.
Meski demikian, Beijing juga bisa memilih untuk menyimpan dolar hasil penjualan obligasi pemerintah AS untuk investasi ke pasar obligasi lain seperti di Eropa atau Jepang.
Namun, seperti disampaikan Bessent, upaya menjadikan surat utang AS sebagai senjata ekonomi akan menjadi langkah yang berisiko dan kompleks.
Pasar Jual Obral Obligasi Pemerintah AS
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pasar obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury dan US Bonds/UST) selama beberapa hari terakhir dilanda tekanan jual yang akhirnya diduga mengakibatkan Presiden Donald Trump menunda perang tarif 90 hari.
Hanya dalam beberapa sesi, imbal hasil obligasi 10 tahun melonjak ke 4,592% pada hari Jumat, tertinggi sejak Februari. Demikian pula, imbal hasil obligasi 30 tahun mencapai tertinggi sejak November 2023 pada hari Rabu lalu.
Pertanyaannya adalah siapa yang menjual obligasi tersebut. Sebab, lazimnya, pada situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian investor cenderung berpindah ke instrument “safe haven”, seperti obligasi pemerintah AS.
Data dari Departemen Keuangan AS menunjukkan, China adalah pemilik obligasi pemerintah AS terbesar kedua setelah Jepang dengan kepemilikan per Desember 2024 sebesar US$760 miliar.
“Saya pikir China sebenarnya sudah lama mempersenjatai diri dengan kepemilikan obligasi pemerintah AS,” kata Chen Zhao, Chief Global Strategy Alpine Macro, seperti dikutip CNBC.
“Mereka menjual obligasi pemerintah AS dan mengonversi hasilnya menjadi Euro atau obligasi pemerintah Jerman (bunds). Itu sebenarnya sangat konsisten dengan apa yang terjadi selama beberapa minggu terakhir,” tambahnya.
Namun, Michael Pettis, Mitra Senior Carnegie yang berbasis di Beijing berpendapat lain. Penjualan tersebut justru akan merugikan China sendiri.
“China menjual obligasi pemerintah AS pada dasarnya akan menembak kaki mereka sendiri,” kata Michael Brown, research strategist senior di Pepperstone.
Penjualan tersebut, lanjutnya, akan mengharuskan modal dipindahkan kembali ke Beijing dan memicu apresiasi yuan. Itu akan menjadi “kebalikan persis” dari apa yang diinginkan Beijing, terutama pada saat pemerintah berharap untuk merangsang ekonomi domestik dan meredam pukulan dari tarif. (Calvin G. Eben-Haezer)