Minggu, 14 Desember 2025

Antara Radikalisme dan Manipulator Agama

Ketua GDKK, Dr. Salahuddin Harahap, S.Fil.I, MA saat menghadap Gubernur Lemhanas, Letjen Agus Widjojo di Jakarta, Kamis (31/11) lalu. (Ist)

Presiden Jokowi meminta penggantikan istilah radikalisme dengan manipulator agama. Mengapa istilah ini penting digantikan, Dr. Salahuddin Harahap, MA, Ketua Gerakan Da’i Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) dan Sekretaris Prodi Pasca Sarjana UIN Sumatera Utara menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

 
Oleh: Dr. Salahuddin Harahap, S.Fil.I, MA
 
PADA beberapa status dan komentar sahabat FB dapat ditemukan sejumlah orang penting yang secara tulus mempertanyakan “Mengapa sedikit-sedikit harus concern terhadap radikalisme ?”. Sebuah pertanyaan yang cukup logis lahir dari sementara kita yang menggunakan nalar biasa (common reasoning) terhadap kondisi yang luar biasa. 
 
Disebut demikian, karena ke-terpaparan radikalisme telah berhasil menyusup secara apik ke dalam relung-relung emosi dan pemikiran sebagian kita yang membuat kita hampir saja tidak dapat mengidentifikasi apakah seseorang sedang terpapar atau belum.
 
Mengapa demikian, sebab sudah sejak sangat lama, bahkan sejak Indonesia merdeka, dengan berlindung di bawah naungan demokrasi yakni jaminan atas kebebasan beragama dan menjalankan agama (Pasal 29 Ayat 2 UUD), sementara orang telah secara perlahan memasukkan unsur-unsur radikalisme ke dalam pemahaman agama seterusnya terhadap pengamalannya. Celakanya, ketika asimilasi antara kemurnian ajaran agama dengan unsur radikalisme ini dapat berjalan sedemikian soft, hingga antara yang terpapar dengan yang belum atau tidak terpapar hampir tidak berjarak terutama pada tahap-tahap permulaan asimilasi.
 
Demikian sulitnya untuk memisahkan antara yang terpapar dari yang belum atau tidak terpapar, terutama pada kasus-kasus tertentu hampir saja sama dengan kesulitan yang dialami umat Islam pada masa awal dalam memisahkan antara yang beriman terhadap para munafik. 
 
Usulan Presiden Joko Widodo untuk mengganti istilah ‘radikalisme’ dengan ‘ma nipulator ajaran agama’ — tentu perlu disambut hangat dan terang saja, telah menjadi lompatan yang amat berarti dalam konteks pencegahan dan penanggulangan radikalisme di Indonesia.
 
Perobahan istilah ini penting dalam rangka  pemisahan radikalisme agama dari radikalisme lain seperti radikalisme ekonomi, politik dan suku, ras atau budaya. Sebab, tidak jarang radikalisme agama telah dapat menyusupi isu-isu lain seperti kesenjangan kesejahteraan, pemerataan pembangunan, konflik antar suku, persoalan demokrasi yang pada mulanya kita memiliki cara tersendiri dalam mengatasinya lewat pendekatan struktural dan kearifan budaya lokal kita, tetapi tiba-tiba kita tidak berdaya dan khawatir, karena persoalan-persoalan ini telah berhasil ditarik dan dibusanai dengan jubah bermerek agama atau ajaran agama tertentu.
 
Dalam suasana terpapar, isu-isu populer akan dengan sengaja mencuat atau ditampilkan dengan gencar, hingga tampak bagaikan sesuatu hal yang substantif dan fundamental, padahal sejatinya hanya sebagai cover bagi apa yang oleh pemerintah disinyalir sebagai aktivitas manipulasi ajaran agama tersebut.
 
Jika seluruh permasalahan hidup dapat diboboti secara substantif dengan manipulasi ajaran atau pemahaman agama. Sementara, bagi masyarakat Indonesia sendiri, agama itu telah diposisikan pada sisi terdalam kesadaran emosionalnya, yang jika disentuh sedikt saja atau terganggu sedikit saja akan secara otomatis direspon secara radikal atau fundamental. Lebih celaka lagi, kalau kemudian responnya tidak hanya berupa diksi atau sikap, tetapi lebih jauh telah direspon dengan tindakan radikal yang seolah-olah digerakkan oleh energi keimanan padahal sejatinya gerakan yang sedang dimanipulasi atas nama agama.
 
Keputusan pemerintah dalam memproduksi narasi-narasi konstruktif yang menohok kepada radikalisme sebagaimana yang dilemparkan sejumlah menteri, seperti Menag, Menkopolhukam, Mendagri dan lainnya yang belakangan ini demikian getol dan gencar, dapat dilihat sebagai upaya brainstorming awal untuk membongkar kesadaran kritis bagi yang diduga terpapar dan sekakigus menjadi simbol perlawanan bagi siapa saja yang dengan sengaja ingin menabur benih dan memupuk radikalisme agama tersebut untuk kepentingannya atau hawa nafsunya.
 
Memang harus disadari bersama, bahwa dibutuhkan proses, kesungguhan dan kerja meras untuk menumbuhkan kesadaran kritis di tengah-tengah masyarakat untuk kemudian dapat menyatakan perang terhadap radikalisme, seperti halnya kesulitan yang dialami dan dihadapi ketika menumbuhkan kesadaran untuk menyatakan permusuhan terhadap Narkoba  di tengah-tengah masyarakat kita. Selamat berjuang para menteri, semoga Allah Swt, senantiasa memberikan kemudahan dan memberi pertolongan dalam menuntaskan kerja mulia ini. Wallahu A’lam.
 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru