Oleh: Henny Dwi Vidiarina
Saya tidak akan menjawab pertanyaan Andi Arief tentang mengapa Megawati belum pernah menjelaskan kepada publik secara terang-terangan mengenai pilihannya untuk berpasangan dengan Prabowo pada pilpres 2009”. Karena saya bukan cenayang yang bisa membaca pikiran Megawati.
Saya tidak akan membandingkan Megawati dengan Aquino seperti yang ditulis Andi Arief secara berlebihan dan berat sebelah. Saya juga tidak akan membahas pernyataan Andi Arief bahwa Masyarakat Indonesia kini terbelah karena Megawati dan PDI-P yang menceraikan Prabowo dan Gerindra tanpa penjelasan. Karena saya tidak melihat relevansi pernyataan ini terhadap Pilpres 2014. Tidak pernah terbukti bahwa masyarakat terbelah gara-gara ‘diam’nya Megawati. Malah sebenarnya kalau saya lihat, kalahnya pasangan Megawati-Prabowo pada Pilpres 2009 bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat sudah enggan memilih pasangan tersebut. Bisa jadi karena masyarakat memang tidak suka Prabowo dari dulu, tapi tidak ada yang tahu. Jadi saya juga akan mengabaikan pernyataan emosional tidak mendasar ini.
Saya lebih tertarik untuk mengemukakan keberatan saya terhadap tulisan Andi Arief yang seolah menggiring pembaca untuk menyamakan Prabowo dengan Fidel Ramos. Saya berani mengatakan bahwa Prabowo tidak secuilpun mirip dengan Fidel Ramos. Siapa sebenarnya Fidel Ramos? Menurut Andi Arief, Fidel Ramos adalah tentara yang juga berlumuran darah, pengikut gerbong diktator Marcos, namun dianggap menanamkan perubahan perpecahan di militer dengan berbalik mendukung People Power, selamatkan Preside Aquino dari tiga kekuatan militer yang hendak mengkudeta, memperlakukan rakyat secara adil dan pintar memberi pengertian pada rakyat sehingga negara bebas dari banjir desas-desus.
Saya katakan, Fidel Ramos lebih dari itu. Kita harus melihat sepak terjangnya pada 3 periode jaman, pertama, pada jaman Marcos sampai pada kejatuhannya, kedua, pada jaman Presiden Aquino, dan ketiga pada jaman kepemimpinannya sebagai Presiden.
Fidel Valdez Ramos, lahir pada tanggal 18 Maret 1928 di Lingayen, Filipina. Ramos dididik di Akademi Militer AS di West Point, NY, dan di University of Illinois, AS. Dia kemudian masuk tentara Pilipina, bertugas di Korea dan Vietnam. Ramos telah menerima beberapa penghargaan militer termasuk the Philippine Legion of Honor, the Distinguished Conduct Star, Philippine Military Merit Medal, the United States Legion of Merit, the French Legion of Honor dan the U.S. Military Academy Distinguished Graduate Award.
Ketika Presiden Ferdinand Marcos memberlakukan darurat militer pada akhir tahun 1972, Ramos baru saja diangkat sebagai kepala Philippine Constabulary, semacam polisi nasional, dan harus menghadapi kejadian penangkapan terhadap ribuan pembangkang politik. Para pendukungnya mengatakan bahwa ia melakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa hak-hak para tahanan politik dilindungi dan dihormati.
Pada tanggal 22 Februari 1986, Marcos mengklaim dirinya menang dalam Pemilu. Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile menuduh Marcos telah melakukan kecurangan pemilu, akhirnya Ramos dan Enrile memberontak dan membelot ke musuh Marcos, yaitu Corazon Aquino. Pembelotan mereka memicu gerakan sipil “People Power“. Pada tanggal 25 Februari, “EDSA Revolution” mencapai puncaknya ketika Marcos, bersama dengan keluarganya dan beberapa pendukung, melarikan diri ke pengasingan di Hawaii dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat, mengakhiri kekuasaan 20 tahun. Corazon C. Aquino, yang mungkin telah memenangkan pemilu kontroversial melawan Marcos minggu sebelumnya, menjadi presiden pertama wanita negara itu, dan demokrasi dipulihkan setelah 20 tahun dikuasai pemerintahan otokratis.
Aquino mengangkat Ramos sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina (1986-1988), kemudian Menteri Pertahanan Nasional (1988-1991) dengan pangkat Jendral. Selama waktu itu, Ramos telah berhasil menggagalkan sembilan kali upaya kudeta terhadap pemerintah Aquino yang melibatkan berbagai anggota Angkatan Bersenjata Filipina. Sejumlah besar peserta militer dalam upaya ini adalah anggota Gerakan Reformasi Angkatan Bersenjata (RAM), sementara yang lain diidentifikasi loyalis mantan Presiden Ferdinand Marcos. Namun demikian, Ramos bersama dengan Haydee Yorac, ketua Komisi Unifikasi Nasional, mengusulkan kepada Presiden Aquino agar memberikan amnesti kepada perwira militer pemberontak dari RAM yang dipimpin oleh Kolonel Gregorio “Gringo “Honasan.
RAM didirikan oleh sekelompok perwira militer junior yang tidak puas dengan politik patronase dan korupsi di Angkatan Bersenjata Filipina pada tahun 1980. RAM dipimpin oleh Kolonel Gregorio Honasan, yang saat itu menjabat sebagai kepala keamanan dan intelijen di bawah Departemen Pertahanan. Keberadaan RAM direstui oleh Menteri Pertahanan, Juan Ponce Enrile, karena Enrile juga menginginkan reformasi di dalam tubuh militer. RAM berjuang untuk “mereformasi militer, mendukung nasionalisme dan patriotisme, dan berjuang melawan korupsi dan tindakan kriminal” Serta memberantas Sistem Patron (Padrino system) – masalah favoritisme, ketidakmampuan, dan korupsi di kalangan pimpinan senior”. RAM memainkan peran penting dalam pemberontakan yang mendorong Revolusi people power pertama di EDSA, Filipina. Tapi setelah jatuhnya rezim diktator Marcos, gerakan RAM disalah gunakan oleh faksi elit anti-Aquino untuk kepentingan mereka sendiri, yaitu untuk mengkudeta pemerintahan Aquino dan merebut kekuasaan. Ramos menggagalkan semua upaya kudeta tersebut.
Setelah masa Aquino berakhir, Ramos, yang dikenal sebagai pahlawan revolusi people power, menang dalam pemilu Mei 1992 mengalahkan lebih dari enam kandidat lainnya. Tugas pertamanya yang paling sulit adalah melakukan pemulihan demokrasi, sementara pada saat yang bersamaan harus memperbaiki persoalan ekonomi dan sosial yang telah runtuh selama masa-masa pemerintahan Marcos. Namun demikian strategi rekonsiliasi dan kepemimpinan yang kuat berhasil membuatnya mendapatkan kepercayaan dari rakyat sejak dari tahun pertama pemerintahannya.
Ramos mampu menengahi perjanjian damai dengan gerilyawan komunis atau dikenal sebagai Tentara Rakyat Baru (NPA), sayap kanan militer dan gerilyawan Muslim dari Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Perjanjian damai ini telah membuat hidup di Filipina lebih stabil daripada sebelumnya dalam beberapa dekade.
Di bawah kepemimpinan presiden Ramos, Filipina dikenal sebagai “Macan Asia” karena mengalami periode stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, selama tahun 1993-1997, perekonomian Filipina pulih secara dramatis. Dia secara luas diakui sebagai pemimpin yang mampu menghidupkan kembali perekonomian negara. Para pengagumnya memanggilnya “Steady Eddie”.
Pada masa pemerintahannya, dia telah memberantas korupsi di kepolisian nasional; mendorong praktek keluarga berencana untuk mengekang pertumbuhan penduduk negara itu. Dia menjalankan Agenda Reformasi Sosial (SRA) yang komprehensif untuk menangani masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, perumahan, perlindungan lingkungan, anak-anak dan pemuda, orang tua dan cacat, pekerjaan dan mata pencaharian, reformasi agraria dan akses ke kesempatan yang sama. Dia juga mengakhiri peraturan yang melumpuhkan telekomunikasi, perbankan, asuransi, perkapalan dan industri minyak. Pada 1997 Ramos mendapatkan penghargaan dari UNESCO dengan kategori Perdamaian, penghargaan yang pertama untuk Asia.
Secara ringkas bisa digambarkan bahwa Fidel Ramos adalah seorang yang serius bekerja dan memperhatikan kepentingan rakyat, mampu memulihkan demokrasi di negaranya, dicintai dan dipercaya oleh mayoritas rakyat pada masa sebelum, pada saat, dan sesudah kepemimpinannya, terkenal dengan gerakan rekonsiliasi, reformasi, dan anti korupsi sehingga memulihkan kondisi prekonomian, dan menstabilkan kondisi sosial politik di negara. Sepak terjangnya telah membuahkan berbagai macam penghargaan.
Penggambaran di atas secara ironis telah mengantarkan kita pada sosok lain yaitu Jokowi. Justru sebenarnya Fidel Ramos lebih mirip jokowi. Jadi salah besar jika Andi Arief menyatakan “Jokowi satu-satunya calon presiden yang hadir tanpa penjelasan”, mungkin justru Megawati telah melihat alasan-alasan tersebut maka dia memilih Jokowi.
Jika pilihan ini berdampak pada kesan “seolah membawa dendam pada politik sektarian yang berkoalisi di belakang Prabowo”, nah itu menjadi masalah Prabowo, bukan Megawati atau orang lain, itu cuma membuktikan Prabowo seribu persen nampak lemah saat memutuskan untuk berkoalisi dengan politik sektarian.
Penulis aktif di Sekretariat Nasional Perempuan Pendukung Jokowi