Umat Kristiani sebentar lagi akan memperingati kematian Yesus Kristus di kayu salib. Tiga hari kemudian akan memperingati Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Dalam masa ibadah di rumah, akibat pandemic Corona virus, umat Kristen lebih punya kesempatan untuk merasakan masa-masa sulit yang dihadapi Yesus Kristus. Evangelis Huria Kristen Batak Protestan, Toga Tambunan menyoroti isu penyiksaan dan kematian Kristus menjelang perayaan Paskah ditengah wabah pandemic Corona,–kepada Pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Toga Tambunan
SEKITAR kurang lebih 10 tahun lalu saya hadir di Jl. Veteran 1 Jakpus. Klaster kantornya Taufik Rahzen penyenggara sarasehan budaya berkala setidaknya dua mingguan. Sosok Taufik Razen ini berpengetahuan budaya seakan buku di rak berlapis perpustakaan. Amat nglotok selukbeluk seni, kultural dan sosial bermacam bangsa. Termasuk kultur mistis, legenda, juga hapal jampi-jampi tradisi kuno tanah air. Diiringi rambut sebatas bahu lebat terurai sosok ini piawai bertutur. Ujaran lidahnya menyihir audiens. Kosakata tehnis akademis mengalir amat mulus. Mempesona. Tanpa teks pula. Dikuatkan intonasi serta bahasa tubuhnya. Aku sendiri penyenang amat kemahiran cerdas beliau. Beliau memberiku hadiah satu set trilogi buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang didalamnya termuat puisiku, besutan Rhoma Dwi Ariani Yuliantri & Muhiddin M. Dahlan. Saat itu pembuha diluncurkan. Edisi terbatas, hard cover. Harganya amat mahal. Yang kemudian dilarang edar oleh kejagung.
Ketika itu saya salahsatu undangan. Sarasehan itu terhadap peradaban dan kesenian renaisans. Pembahas utama, Taufik Rahzen. Seperti lazimnya saya terpesona. Dipertengahan uraiannya, ada sekuen terkait era via dolorosa dan tiang salib Golgota ucapannya sangat menohok konsentrasiku. “Yesus itu seorang masochist”
Saat tiba waktunya, saya tegas tangkis analisanya beraroma psykhologis itu. Bantahanku bahwa Tuhan Yesus taat setia tidak berdosa kepada Bapa Surgawi untuk menanggung dosa ummat manusia. Yesus tidak menikmati kekerasan yang dihunjam ke tubuhnya. Bahkan kukatakan analisa itu merendahkan Tuhan Yesus malahan tergolong penghinaan. Seraya kuberitahu pula orang Kristen tidak pernah membela Tuhannya jika pun direndahkan. Bukan porsi dan kapasitas orang percaya mencampuri jika Tuhan berperkara dengan seseorang.
Taufik Rahzen menjawab bantahanku. Katanya, analisa itu samasekali bukan pandangannya. Itu dia kutip pendapat teolog Kristen sendiri. Nama teolog itu disebutkan. Aku lupa, tak lagi kuingat. Jawabannya telak membebaskan dirinya dari dugaan menghina Yesus. Saya pun urung mendalaminya. Lanjut membicarakan isi paparannya yang lain. Disamping alokasi waktu bagi audiens lain.
Minggu ini kucari tahu, adakah buku teolog Katholik ataupun Kristen Protestan berpendapat seperti keterangan Taufik Rahzen itu. Juga kutanya beberapa pendeta dan pastor, dan perorangan alumni STT.
Tak seorang pun diantara beliau itu pernah tahu teolog seperti dikatakan Taufik Rahzen
Pendeta Suarbudaya Rahadian S.Th. dari Gereja Komunitas Anugerah Jakarta, menerangkan ada ahli sejarah sekaligus sosiolog mengkaji tafsirkan Yesus sengaja sedia menderita selaku tokoh sentral perlawanan terhadap otokrasi imam Ahli Taurat kaum Farisi, Saduki serta terhadap rezim penjajah Romawi. Yesus jadi simbol perjuangan. Pijakan analisa itu dari sejarah hidup Yesus belaka dan tak ada kaitan dengan Allah. Umumnya memang begitu persepsi orang banyak jika menolak Yesus itu Tuhan. Tapi tidak mengatakan masochist.
Jika mau tahu tentang Yesus dari Nazareth yang dilahirkan Maria di palungan Betlehem, sumber otentik lengkap, hanyalah Injil. Itu baru obyektif.
Ada dalam Injil, kalbu Yesus sang Mesias menyimpan bersitan : andai bisa tak menyusuri via dolorosa dan tidak terpajal di kayu salib. “KataNya: ‘Ya, BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki'”, dalam Mateus 26 : 39. Curahan isi hatiNya itulah basis tegas menyatakan terang benderang, tabiat Yesus tidak masochist. Bahkan sebelumnya pada ayat 38, Yesus seakan mengharap solidaritasnya Petrus dan kedua anak Zebedeus : “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah disini dan berjaga-jagalah dengan Aku”. Itu mendahului fakta, bahwa Yesus tidak seorang masochist. Melainkan menggumuli keniscayaan teramat runcing didepannya.
Sangkin teramat ekstrem super hiper berat tanggungan deritaNya, rupanya BapaNya bahkan mengalihkan pandangan wajahNya. Dan Yesus berteriak “Eli, Eli, lama sabachtani?” Artinya: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mateus 27 : 46). Perikop ini tuntas nyatakan pasti, Yesus tidak sosok masochist.
Kemahakuasaan Allah pasti bisa menolong Yesus. Begitu juga dahulu kala pasti gampang mencegah Hawa maupun Adam memetik dan makan buah terlarang itu. Pasti berkuasa secepatnya mengusir ular representasi tabiat kedurhakaan atau iblis itu dari Taman Eden.
Tetapi Allah tidak bertindak begitu. Allah tetap pada kedaulatan sejatiNya. Sistim, prosedur, mekanisme yang dikenalkan ketika mencipta jagat raya dan segenap isinya hingga teratur tertata sempurna. Antara lain ada aturan azas saling hubungan, misalnya periode penciptaan hari ke 1 sampai dengan hari ke 7. Ada aturan casaulitas didalamnya. Ada Hukum KasihNya, Kejadian 2 : 15, 18, dll. Diantaranya ialah Hukum RohaniNya, a.l Kej. 2 : 16 terhadap mahluk berrohani. Selamanya Allah setia mengaplikasikan segala azas Hukum RohaniNya. Termasuk dalam hal menyikapi Lucifer atas laku menyimpang berontak itu Allah tidak spontan mekanis melenyapkan Lucifer.
Ada aturannya saling hubungan atau interaksi sesama ciptaan dan terkait pula terhadap aturan casaulitas diantara ciptaanNya. Perbuatan disebut A misalnya balelo, baru dapat dinilai salah jika perbuatan paradoksalnya B yaitu setia, terbukti bisa dilakukan. Jika ternyata tabiat B terbukti tidak bisa dilakukan otomatis tabiat A suatu yang wajar. Demikian atas pemberontakan Lucifer terhadap Allah.
Belum ada diantara mahluk berrohani kemauan bebas yang taat setia patuh disegala situasi apapun kepada Allah. Artinya basis hukum menyatakan Lucifer bersalah belum ada. Apalagi jika bertindak antagonis terhadap Lucifer.
Kehadiran Yesus yang manusia berkemauan bebas dalam ruang dan waktu sepanjang hayat, membuktikan ternyata bisa setia tidak berdosa. Inilah buktinya mahluk berrohani itu berpotensi dan bisa setiawan mematuhi kehendak PenciptaNya. Walau konsekuensi logis menanggung derita tersiksa tiada tara bahkan sampai mati harus dilintasi.
Yesus sosok manusia dilahirkan Maria di Betlehem itu Corpus Delicti, seperti tulis Pdt. Dr. Erastus Sabdono. Sosok Pembukti, bisa setia patuh kepada Allah, jadi pijakan Allah mengesah legalkan status Lucifer pemberontak. Ketaat patuhan Yesus jadi jurisprudensi atau vonnis terhadap Lucifer dan legionnya.
Dengan demikian bagi Allah sudah ada basis hukumnya. Dan telah saatnya, adil se-adil-adilnya melaksanakan hukuman layak terhadap Lucifer berikut pengikutnya. Allah tidak sewenang-wenang. Pun tepat waktu, tidak terlambat berkontradiksi antagonis terhadap Lucifer.
Lagi pula ternyata kematian itu sementara. Yesus yang anak manusia itupun belum tentu tahu desain Allah demikian itu. Desain Allah tidak terselami akal manusia.
Sungguh naif pilihan kemauan bebas Yesus setia taat patuh kehendak Allah itu dipersepsikan masochist oleh teleskop psykhologis. Lenyapkan persepsi gituan.
Lucifer sudah kalah. Dan proses dialektik kontradiksi antagonis terhadapnya terus berlanjut. Proses lanjutan ini mengikut sertakan peran aktif jemaat. Seyogianya jemaat menyambut pengorbanan Yesus itu tidak sebatas nalarnya. Tidak kolektor pengetahuan kisah sejarah dunia tentang Yesus pada rak lemari akali manusia. Rasul Yakobus telah tegaskan, lakukan perbuatan bila beriman.
Wafatnya dan kemudian kebangkitan Yesus Anak Manusia yang Tuhan itu, tonggak baru landasan kehidupan menandai tegas lanjutan sejarah ummat manusia. Wahyu 5 : 5-12.
Ummat manusia seyogianya terinspirasi menyambut Rohkudus dan ikut terlibat mengaktivasi diri memproses kelahiran baru pribadinya.Tiap jemaat bertindak kontradiksi antagonistis terhadap ular yang sama atas Adam di Taman Eden. Dengan demikian masyarakat manusia memasuki sejarah kontradiksi antagonistis langsung terhadap Lucifer dan legionnya. Konsekuensi logisnya, bisa berdampak dililit atau ditikam semprotan bisa ular di Taman Eden itu. Yang bersangkutan bahkan kemungkin besar tewas.
Analog persis adanya korban perang pembebasan nasional untuk meraih kemerdekaan. Seperti yang kita kenal, kontradiksi antagonis rakyat melawan penindas demi penuntaskan proklamasi kemerdekaan. Hal itu merupakan gymnastik ummat manusia untuk terlatih melawan Lucifer dan legionnya iblis.
Layak diaktualisasi segra agar terpenuhi kekurangan jumlah disyaratkan dalam Wahyu 6 : 11, “…. bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi sehingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka”. Demi menyongsong Langit Baru Bumi Baru.
Jurisprudensi pengorbanan Yesus di Golgota itu juga mendidik ummat manusia seyogianya mematuhi standard kehendak Allah.
Yesus Anak Maria yang dilahirkan di Betlehem itu telah menuntaskan kehendak Allah. (Roma 5 : 13- 5)
Adam manusia pertama ciptaan Allah, yang semula dikendaki Allah setiawan, ternyata gagal berkualitas corpus delicti.
Proseslah diri jadi setiawan corpus delicti, Filipi 2 : 5 + 10, yang terpilih huios (manusia sempurna) diantara yang terpanggil nothos (manusia non sempurna) dari ummat manusia.
Selamat merayakan nikmat pengorbanan dan darah Yesus, Anak Manusia itu. Amin.

