Minggu, 13 Juli 2025

Asean Open Sky Policy: Kebodohan Yang Keterlaluan!

Oleh: Marsda (Purn) Joewono Kalbioen*

Permasalahan yang terjadi di dunia penerbangan Indonesia yang akhirnya mempersulit dan merugikan adalah diakibatkan cara berpikir yang sangat lineair pada para pembuat keputusan di negeri ini. Salah satu buktinya adalah keikutsertaan Indonesia pada ASEAN Open Sky Policy secara serta merta.     

Keputusan yang  dibuat sepertinya tidak memikirkan sektor-sektor terkait yang selama ini didominasi modal Pemerintah yang belum “seia-sekata” dalam mendukung program-program pemerintah, saya pribadi menilai sektor penerbangan di Indonesia  belum siap untuk mengimplementasikan rezim ASEAN Open Sky.  

Dampak terburuk dari liberalisasi angkutan udara bagi Indonesia,  adalah  tidak siapnya  Indonesia yang memiliki jumlah penumpang domestik terbanyak (tahun 2015 = 88 Juta) dan yang terbanyak memiliki bandara internasional di antara negara-negara ASEAN, dengan 31 bandara serta memiliki ruang udara.5.193.250 km2 atau 52% dari luas total ruang udara ASEAN yang seluas 9.877.100 km2.  

Situasi ini cepat atau lambat akan membuat  “pasar ” Indonesia yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, akan berakhir bagi negara-negara ASEAN lainnya,– di lain sisi rakyat Indonesia hanya sebagai penonton. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi infrastruktur bandara internasional di Indonesia dan hasil pembangunan daya saing maskapai-maskapai penerbangan Indonesia.  

Kiranya perlu dikaji ulang tentang perusahaan penerbangan berbendera Singapura, Singapore Airlines, yang dapat mengakses lima bandara internasional yang ada di Indonesia, namun sebaliknya maskapai penerbangan Indonesia hanya diperbolehkan terbang menuju satu bandara saja di Singapura.  Hal yang sama berlaku bagi maskapai dari negara ASEAN lainnya. 

Malaysia yang punya enam bandara dan yang diliberalisasi hanya dua bandara saja, maka komposisi yang dimiliki Indonesia jelas tidak sebanding dengan kedua negara tersebut. 

Kemampuan  daya saing dengan mudah akan dapat dipahami bahwa tidak adanya dukungan dari Lembaga/Kementrian terkait.   Salah satu contoh adalah bea masuk suku cadang pesawat terbang yang baru dihapuskan pada tahun 2015 suatu upaya yang sangat-sangat terlambat (seharusnya pada tahun 2005), Fakta lain adalah “tutupnya beberapa maskapai penerbangan dalam negeri” karena satu dan lain hal.

Seyogyanya Indonesia sebagai negara besar yang berdaulat harus tegas dan berani melindungi industri penerbangan domestik dari ancaman asing. Hal ini sesuai dengan konvensi Chicago pasal 1, yang menyebutkan, bahwa suatu negara berdaulat di dunia ini berhak mengatur dan menutup bandaranya dari kepentingan negara lain.

Hal tersebut akan menjadi bertambah “runyam” lagi apabila dihadapkan dengan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang selama ini dengan adanya fakta  “keburukan” yang “ditutup-tutupi”,–dihadapkan dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah yang memberlakukan Asean Open Sky Policy.  Karena dengan ketidaksiapan berbagai aspek dalam industri penerbangan di Indonesia, terutama image Indonesia yang terpuruk karena lebih dari 9 tahun masuk kategori 2  FAA dan hasil audit USOAP tahun 2016 yang memberikan informasi ke dunia internasional bahwa seluruh parameter (8 parameter) yang dinilai,  seluruhnya masih berada di bawah nilai rata-rata dunia,  upaya Indonesia untuk dapat duduk kembali pada Council Parts III ICAO yang berakhir dengan sangat memalukan.

Kondisi nyata tersebut apabila dihadapkan dengan diberlakukannya Open Sky Policy, akan membuat suatu peluang dimunculkannya alasan bahwa untuk pengontrolan ruang udara di Indonesia dengan alasan keselamatan penerbangan akan “dibantu” oleh negara Jiran.  Sehingga selanjutnya yang dikontrol oleh pihak asing tidak hanya ruang udara diatas Natuna dan Kepulauan Riau saja, tetapi diseluruh ruang udara Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan upaya untuk menegakkan kedaulatan di udara, terancam.   

Dengan demikian dapat kiranya disimpulkan bahwa kebijakan untuk mengikuti ASEAN Open Sky Policy akan mengakibatkan terganggunya upaya untuk menegakkan kedaulatan diudara itu. Karena Indonesia dengan berbagai kelemahan yang tidak dapat diatasi akan dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Sehingga wewenang pengaturan lalu lintas udara di wilayah kedaulatan Indonesia dalam perkembangannya terpaksa  diserahkan kepada negara lain.    Alasan seperti itulah yang mengakibatkan selama puluhan tahun sebagian wilayah udara kedaulatan Indonesia berada dibawah pengaturan FIR (Flight Information Region) Singapura.   Suatu kebodohan yang keterlaluan.    

*Penulis adalah Vice President IAAW (Indonesia Aviation and Aerospace Watch)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru