JAKARTA- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memprediksi defisit atau mismatch aktivitas operasi penyelenggaraan Dana Jaminan Sosial pada 2017 dapat mencapai Rp6,23 triliun. Untuk itu, Deputi Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Kerawanan Sosial Kemenko PMK, Tb. A. Choesni, memimpin rapat pembahasan Perpres pengendalian defisit Dana Jaminan Sosial di Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Jakarta, Jumat (24/02).
“Rapat ini merupakan rapat lanjutan dari rakor pada tanggal 8 Februari lalu. Dalam rapat ini kita akan mereview lagi hasil rapat yang sudah dilaksanakan kemarin menindaklanjuti dari ratas Presiden yang menginstruksikan agar penghitungan dilakukan dengan cermat,” kata Choesni.
Diakhir rapat BPJS diminta untuk kembali membuat skenario-skenario yang lebih detail melalui perhitungan yang cermat agar dapat memberikan asumsi-asumsi terkait. Hadir dalam kesempatan ini Direktur Jendral Pelayanan Kesehatan, Kemenkes, Bambang Wibowo; Perwakilan dari BPJS, Kemenkes, Kemenkeu, Kemendagri, Staf Ahli Kemenko PMK, Staf Khusus Kemenko PMK, Deputi Bidang Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK, dan para perwakilan dari K/L lainnya.
Sebelumnya kepada Bergelora.com dilaporkan bahwa, BPJS Kesehatan memprediksi defisit atau mismatch aktivitas operasi penyelenggaraan Dana Jaminan Sosial mencapai Rp 12,70 triliun pada 2019 apa bila saat itu tidak terjadi penaikan besaran iuran dan tarif pelayanan kesehatan.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan pihaknya memperkirakan besaran mismatch pada 2017 dapat mencapai Rp6,23 triliun. Realisasi itu dapat meningkat lagi pada tahun berikutnya menjadi Rp10,05 triliun.
“Pada 2019, mismatch kami prediksi bisa mencapai Rp 12,70 triliun,” ungkapnya di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (9/2) lalu.
Dia menjelaskan peningkatan mismatch itu berpotensi terjadi jika sejumlah ketetapan dalam implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKN–KIS) tidak mengalami perubahan. Salah satunya adalah besaran iuran, sebagaimana terakhir ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 28/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Siasat Menko Puan
Kini, pemerintah tengah merancang siasat buat mengatasinya. Caranya, kata Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, lewat wacana Peraturan Presiden (Perpres) soal pengendalian defisit BPJS.
“Kami sudah perintahkan Dirut BPJS menghitung. Apa saja yang sekiranya tanpa membebankan rakyat dan mengurangi defisit BPJS,” ucap Puan usai Rapat Arahan Strategis Nasional BPJS Kesehatan di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (25/1) beberapa waktu lalu.
Selain itu, pola pengoperasiannya juga dinilai belum sempurna. Alhasil, BPJS menjadi momok bagi fasilitas kesehatan di negeri ini. Keluhan terbanyak adalah soal klaim.
Krisis Keuangan RS
Perkara ini disebut-sebut menjadi penyebab utama krisis keuangan pada sejumlah Rumah Sakit, khususnya yang berplat merah. Salah satunya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya. Dikabarkan, pihak RS belum bisa mencairkan klaim pasien.
Akibatnya, RSUD Soekardjo mengalami krisis keuangan, dan berdampak pada krisis obat. Sebagian perusahaan pemasok obat menghentikan sementara penyaluran obat. Alasannya, rumah sakit tak mampu membayar tagihan pembelian obat senilai Rp 25,6 miliar.
“Jadi, dimungkinkan, inilah penyebab munculnya kasus diskriminasi pasien. Ya. Pasien BPJS seolah menjadi beban bagi RS,” ujar Puan.
Hal ini diakui pakar pelayanan kesehatan Hasbullah Thabrany, yang juga konsultan ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK).
“Jangankan daerah, di Jakarta saja banyak tindakan diskriminatif pasien,” kata Hasbullah pada media beberapa waktu lalu.
Contohnya, kata Hasbullah, soal antrian. Waktu tunggu untuk terapi radiologi saja, untuk pasien BPJS bisa 6 sampai 12 bulan.
“Ini terjadi karena mereka (Rumah Sakit) memberikan kuota. Kontrak dengan BPJS tapi kok pasiennya dikasih kuota. Karena RS dibayar rendah di JKN. Sementara banyak kewajiban yang harus dibayarkan. Kontrak dengan pemasok obat, dan lain-lain,” ujarnya. (Web Warouw)