“Seorang dokter harus selalu ingat mengapa awalnya ingin menjadi dokter”
JAKARTA- Seorang dokter puskesmas dipukul oleh sejumlah orang di Lampung viral di media sosial. Sudah separah itu dokter kehilangan penghormatan masyarakat. Padahal dokter Indonesia pernah sangat dihormati. Kedudukannya setingkat dibawah Tuhan karena bisa menentukan hidup dan mati pasien.

Ini terjadi di tengah-tengah berlangsung perdebatan Transformasi Sistim Kesehatan dan Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law. Berbarengan dengan keruntuhan organisasi profesi elit Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sarat berbagai kepentingan.
Seorang tokoh pengobatan alternatif disebuah film Drama Korea mengingatkan,
“Seorang dokter harus selalu ingat mengapa awalnya ingin menjadi dokter” (Film Net Flix Drama Korea “Live Up To Your Name”)

Sebelumnya Menkes Budi Gunadi Sadikin menegaskan RUU Kesehatan Omnibus Law adalah untuk transformasi sistim kesehatan nasional yang semata-mata untuk meningkatkan akses rakyat terhadap pelayanan kesehatan.
“Bukan untuk kepentinganku, bukan untuk kepentingan kementerian kesehatan. Dan maaf, bukan untuk kepentingan para dokter. Transformasi ini termasuk RUU Kesehatan semata-mata untuk masyarakat,” demikian Menkes Budi Gunadi Sadikin menegaskan dihadapan para dokter, apoteker, bidan, perawat dan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) yang datang mendukung Menkes dan RUU Kesehatan beberapa waktu lalu.
“Pemerintah adalah otoritas tertinggi untuk mengurus kesehatan di negara ini. Jadi bukan organisasi profesi. Saya yang akan tanda-tangan Undang-undang itu,” ujarnya.
Paparan Penyakit Tertinggi
Menkes Budi Gunadi Sadikin memaparkan, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) mencatat angka kematian ibu pada tahun 2022 berkisar 183 per 100 ribu kelahiran. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan Malaysia dengan AKI 20 per 100 ribu kelahiran
Budi Gunadi Sadikin menyebutkan sekitar 12.500 hingga 15.000 bayi baru lahir mengidap penyakit jantung bawaan.
“Sementara, kapasitas operasi baru 1.600 maksimal setahun,” kata Budi mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan.
Penyakit jantung masih menjadi penyebab utama kematian di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukan tren peningkatan penyakit jantung yakni 0,5% pada 2013 menjadi 1,5% pada 2018.
Bahkan penyakit jantung ini menjadi beban biaya terbesar. Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2021 pembiayaan kesehatan terbesar ada pada penyakit jantung sebesar Rp.7,7 triliun.
Mengutip laporan International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes tipe 1 di Indonesia mencapai 41,8 ribu orang pada 2022.
Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penderita diabetes tipe 1 terbanyak di ASEAN, serta peringkat ke-34 dari 204 negara di skala global.
Mayoritas penderita diabetes tipe 1 di Indonesia berusia antara 20-59 tahun. Namun, penderita yang usianya muda juga cukup banyak, seperti terlihat pada grafik
Ia juga memaparkan, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa kanker payudara menempati urutan pertama dengan jumlah penderita kanker terbanyak dan menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak di Indonesia.
Kanker paru-paru adalah jenis kanker nomor satu dari 35 yang menyebabkan kematian di Indonesia. Angka kematian karena kanker paru-paru adalah 30.843 dari total 234.511 kasus kematian karena kanker.
Kanker payudara adalah jenis kanker dua terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. Angka kematian karena kanker payudara adalah 22.430 dan jumlah kasusnya sebanyak 65.858 sebagai nomor satu terbanyak di Indonesia.
Sementara itu, data Globocan 2020 mencatat, jumlah kejadian kanker payudara di Indonesia mencapai 68.858 kasus atau 16,6 persen dari total 396.914 kasus baru kanker. Adapun jumlah kematian akibat kanker payudara mencapai lebih dari 22.000 kasus.
Mengutip data Globocan edisi Maret 2021, jenis kanker di Indonesia yang menyebabkan banyak kematian adalah kanker paru-paru, kanker payudara, dan kanker serviks
Kanker serviks adalah jenis kanker ketiga terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia. Angka kematian karena kanker serviks adalah 21.003 dan jumlah kasusnya sebanyak 36.633 sebagai nomor dua terbanyak di Indonesia.
“Jadi dalam waktu yang sangat singkat ini kita tidak punya waktu untuk bertengkar. Beda pendapat silahkan tapi tujuannya adalah meningkatkan akses layanan kesehatan untuk rakyat. Kita harus bersatu,” tegasnya.
Bebaskan Iuran BPJS Kesehatan
Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) meminta agar akses layanan kesehatan agar jangan dijual ke rakyat.
“Kalau rakyat tak bisa berobat karena tidak bisa bayar iuran BPJS, gimana bisa mendapatkan akses layanan kesehatan dan menunggu kematian,” jelasnya.
Menurutnya, Transformasi Kesehatan akan berhasil jika pemerintah mengambil alih BPJS Kesehatan dan membebaskan rakyat dari beban iuran bulanan BPJS Kesehatan.
“Cek apakah hal ini sudah ada dalam RUU Kesehatan? Kalau gak ada ya udah percuma,” ujarnya.
Menteri Kesehatan 2004-2009 Siti Fadilah Supari, meminta agar PBI (Penenerima Bantuan Iuran) BPJS Kesehatan harus ditambah minimal 150 juta orang dari sebelumnya 96,7 juta. Sebelumnya Jamkesmas 2007 pemerintah menanggung 86 juta orang.
“Sudah 16 tahun cuma naik 10 juta kan aneh. Seharusnya sekarang minimal 150 juta orang Indonesia sudah ditanggung negara,” ujar Siti Fadilah.
Akhiri Penderitaan Rakyat
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dalam kepemimpinnanya 2004-2009 pernah menanggung biaya kesehatan 86 juta rakyat Indonesia sehingga dapat berobat di semua fasilitas kesehatan pemerintah seluruh Indonesia tanpa pungutan iuran. Karena pemerintah lewat APBN telah membayar kapitasi seluruh puskesmas dan rumah sakit untuk semua penyakit.
Sebelumnya, Dr. Ribka Tjiptaning anggota DPR-RI kepada pers di Jakarta, Rabu (19/4) menanggapi pro kontra RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut
Saatnya Undang-Undang Kesehatan (Omnibus Law) mengakhiri penderitaan masyarakat di bawah UU SJSN No 40/2004 dan UU BPJS No 24/2011 yang mewajibkan seluruh rakyat membayar iuran BPJS setiap bulannya.
“Kalau rancangannya menghapus iuran BPJS Kesehatan maka kita harus dukung dan mengawal kelahiran undang-undang yang telah bertahun-tahun membebani hidup rakyat,” tegasnya.
Tjiptaning menjelaskan, transformasi kesehatan hanya bisa berhasil jika pasal iuran BPJS itu tidak lagi menjadi beban rakyat dan menjadi tanggung jawab negara lewat pembiayaan APBN dan APBD.
“Jangan ngimpi ada perubahan, transformasi segala, kalau rakyat tetap diwajibkan bayar iuran. Karena kewajiban inilah yang menjadi biangkerok rakyat jadi sakit. Kalau nunggak gak dilayani dan menunggu ajal di rumah,” tegas mantan Ketua Komisi IX DPR-RI ini.
Tjiptaning menjelaskan bahwa untuk pembiayaan dari APBN dan APBD itu tidak sulit karena hanya dengan cara membebaskan pembiayaan di puskesmas dan kelas III seluruh rumah sakit terutama milik pemerintah.
“Stop menarik iuran dari masyarakat. Tapi semua pembiayaan pelayanan kesehatan rakyat di puskesmas dan kelas III untuk 270 rakyat Indonesia. dibayar pakai APBN/APBD. Jadi rakyat berobat gratis sampai sembuh dengan pelayanan kelas III di semua rumah sakit pemerintah,” jelasnya.
Bagi mereka yang ingin naik ke kelas II, Kelas I atau VIP menurut Tjiptaning bisa bayar iuran BPJS atau asuransi lainnya. Dengan demikian menurut Tjiptaning telah berlaku adil pada seluruh masyarakat menyediakan fasilitas kesehatan di kelas III di semua rumah sakit tanpa diskriminasi.
“Orang kaya beneran pasti malu kalau mau pakai kelas III, tapi itu haknya kalau bersedia. Kalau dia mau pakai kelas II, kelas I dan VIP dia tinggal bayar sendiri atau bayar BPJS Kesehatan atau asuransi yang ada,” ujarnya.
Jangan Diskriminatif Mencontoh Jamkesmas
Namun demikian Tjiptaning mengingatkan bahwa tidak boleh ada perbedaan diskriminatif pelayanan kesehatan, obat, konsul dokter, tindakan medis dari Kelas III sampai VIP.
“Sudah bukan waktunya lagi pemerintah menjual pelayanan kesehatan pada rakyat. Sudah saatnya negara mengambilalih kembali pembiayaan kesehatan rakyat seperti Jamkesmas.dimasa lalu,” ujar Tjiptaning.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Penanggulangan Bencana ini mengingatkan bahwa pemerintah pernah menunjukkan kemampuannya menanggung pembiayaan kesehatan dalam Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) sehingga rakyat tidak perlu menanggung beban iuran setiap bulan.
“Cukup pakai KTP rakyat bisa berobat di setiap puskesmas dan rumah sakit pemerintah seluruh Indonesia. Pemerintah menanggung semua biaya dengan membayar semua puskesmas dan rumah sakitnya. Pasien bisa konsultasi dokter, berobat, semua tindakan medis, semua perawatan, kontrol dokter untuk semua penyakit dengan tenang gak mikir biaya dan tunggakan iuran sampai sembuh,” paparnya.
Ia mengatakan program Jamkesmas ini bisa dilaksanakan oleh Menkes Dr. Siti Fadilah Supari dari tahun 2004-2009, dan sangat membantu rakyat mendapat pelayanan kesehatan dimanapun.
Saat itu menurutnya semua pihak mendapatkan keuntungan dalam program Jamkesmas yaitu, rakyat sakit apapun tidak kuatir karena bisa berobat dimana saja sampai sembuh secara cuma-cuma. Rumah sakit dan puskesmas mendapat kepastian dana dari pemerintah. Petugas kesehatan mendapat insentif secara layak. Sehingga kualitas kesehatan rakyat meningkat tajam.
“Jangan kayak sekarang gak kauruan. Rakyat susah berobat karena gak bisa bayar iuran BPJS Kesehatan. rumah sakit dan puskesmas tidak dibayar penuh oleh BPJS Kesehatan. Insentif petugas kesehatan tidak layak. Makanya dokter memilih bekerja di luar negeri. Pasien yang berduit memilih berobat di luar negeri, karena kualias pelayanan kesehatan merosot drastis. Yang miskin gak bisa berobat ke luar negeri tinggal nunggu mati saja,” jelasnya.
Padahal menurutnya BPJS Kesehatan bertahun-tahun selain memungut iuran langsung dari rajyat, juga memakai dana APBN dan APBD seluruh provinsi dan kabupaten kota dan menarik dana setiap perusahaan.
“Kemana selama ini dana yang terkumpul tidak pernah diaudit. Gedung BPJS makin mewah, direksi dan manajemen gajinya puluhan sampai ratusan juta. Pasien miskin antri mati tak dilayani,” ujarnya.
Belum lagi, menurut Tjiptaning banyak juga peserta BPJS kesehatan yang memiliki KIS PBI, yang dinonaktifkan oleh pemerintah karena tidak lagi mampu bayar iuran.
“Nah ini aneh, peserta BPJS Kesehatan yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah atau istilahnya KIS PBI, tiba-tiba iurannya tidak lagi dibayarkan pemerintah, otomatis dinonaktifkan oleh BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Tjiptaning mengapresiasi kebijakan penggunaan KTP menggantikan kartu BPJS Kesehatan bagi pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
“Kita dukung kebijakan ini! Kalau setiap 1 kartu Rp 10,000 dikali 277 juta penduduk Indonesia sama dengan 2 triliun lebih hampir 3 triliun pemborosan untuk bikin kartu BPJS kesehatan dari tahun 2011. Padahal jumlah ini sangat dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan rakyat,” tegasnya.
Menurutnya ini momentum, pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi Widodo dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin memberikan Hak Rakyat dibidang kesehatan secara penuh.
“Kalau transformasi kesehatan ini untuk kepentingan rakyat kita semua harus dukung. Tapi kalau tidak untuk rakyat, untuk apa didukung,” tegasnya.
Mendukung UU Omnibus Law Kesehatan
Untuk itu Tjiptaning menegaskan agar lewat Undang-Undang Omnibuslaw Kesehatan pemerintah segera mengambil alih dan membebaskan biaya iuran kesehatan dari rakyat agar bisa meningkatkan kembali kualitas kesehatan rakyat.
“Jangan seperti sekarang Katanya di bawah presiden tapi Menteri Kesehatan tidak bisa mengatur BPJS Kesehatan yang pelayanannya makin buruk. Sekarang tetap dibawah presiden tapi Menkes harus ikut tanggung jawab,” tegasnya.
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat bertemu dengan tenaga kesehatan saat itu menyerukam agar semua tenaga kesehatan bersatu membantu, memastikan seluruh rakyat mendapatkan akses layanan kesehatan lebih mudah.
“Aku biasa berberbeda pendapat. Tapi kita perlu duduk bareng bersatu memastikan cara terbaik agar pelayanan kesehatan masyarakat menjadi lebih mudah. Percuma kalau semua fasilitas kesehatan sudah dilengkapi peralatan canggih tapi tidak ada tenaga kesehatannya. Aku akan selalu terbuka menerima masukan,” ujarnya. (Web Warouw)