PALANGKARAYA- Perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan harus dilakukan dengan kajian yang utuh sehingga dapat menjawab berbagai persoalan yang ingin diselesaikan. Solidaritas Perempuan Mamut Menteng menyayangkan singkatnya proses pembahasan Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Kota Palangka Raya. Hal ini disampaikan Winda Febiana, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Mamut Menteng Kalimantan Tengah di Palangka Raya, Rabu (18/11).
Pasalnya, SP Mamut Menteng menerima undangan dari DPRD Kota Palangka Raya pada Sabtu (14/11) untuk konsultasi publik yang diselenggarakan pada Selasa (17/11). Singkatnya waktu pembahasan membuat publik ragu terhadap keseriusan pemerintah dalam mengentaskan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Proses konsultasi publik ini ternyata hanya sebatas formalitas semata dan tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk memberi masukan substantif yang penting karena dilakukan satu hari sebelum paripurna dilaksanakan,” ujarnya.
Menurutnya Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang dirancang DPRD Kota Palangka Raya sama sekali tidak memuat aspek pemulihan psikis korban. Lebih banyak menekankan pada aspek kelembagaan dan koordinasi.
“Di samping itu, pemaknaan terhadap kekerasan, khususnya terhadap perempuan, masih terlalu sempit dan tidak tercermin ke dalam pasal,” ujarnya.
Jika memang DPRD Kota Palangka Raya serius dalam upaya melindungi perempuan dan anak korban kekerasan menurutnya perlu untuk memberikan kelonggaran waktu untuk masyarakat sipil memberikan masukan secara holistik agar produk legislasinya juga menjadi berkualitas.
“Perempuan dan anak merupakan entitas masyarakat yang rentan mengalami tindak kekerasan di berbagai ranah, baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan ekonomi,” katanya.
Data Kekerasan Meningkat
Kepada Bergelora.com dilaporkan, di Kota Palangka Raya menurutnya, data kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya. Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalimantan Tengah meyakini data kekerasan terhadap perempuan dan anak di lapangan jauh lebih besar dari data yang dicatat pemerintah.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan data korban kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak tercatat. Pertama adalah keengganan korban untuk melapor karena ketidakpastian perlindungan terhadap korban.
“Reviktimisasi korban kekerasan dalam proses penanganan kasus ditambah stigma masyarakat yang membuat perempuan semakin termajinalkan,” jelasnya.
Kedua, kekerasan yang dimaknai sempit sehingga tidak menyentuh bentuk kekerasan berbasis gender lainnya yang juga mengorbankan perempuan. Seperti kekerasan ekonomi yang mengeksploitasi perempuan dan anak, termasuk di dalamnya adalah eksploitasi ruang hidup perempuan yaitu hutan dan sumber daya lahan pertanian yang membuat perempuan kehilangan sumber-sumber ekonomi.
“Ini menyebabkan kemiskinan yang membuat perempuan dan anak tidak terpenuhi hak-haknya untuk memiliki hidup yang bermartabat dan berkualitas,” jelasnya.
Berbagai persoalan perempuan dan anak di Kota Palangka Raya meniscayakan perlindungan komprehensif melalui Peraturan Daerah (Perda).
“Solidaritas Perempuan Mamut Menteng menyambut baik inisiatif DPRD terkait Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban kekerasan” ujar Winda Febiana, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Mamut Menteng Kalimantan Tengah. (Linda Balweq)