Jumat, 12 Desember 2025

SEJAK ZAMAN KOLONIAL..! Bagaimana Awal Mula Sumatera Jadi Pusat Produksi Sawit Dunia?

JAKARTA – Indonesia mengukuhkan posisinya sebagai penguasa pasar minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) global. Di balik dominasi tersebut, Pulau Sumatera memegang peran kunci sebagai “mesin” produksi utama yang menggerakkan industri ini selama lebih dari satu abad.

Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA) dalam laporan Oilseeds: World Markets and Trade, produksi minyak sawit Indonesia pada periode 2024/2025 diproyeksikan mencapai 46 juta metrik ton.

Angka ini mencakup sekitar 59 persen dari total pasokan minyak sawit dunia, jauh mengungguli Malaysia di peringkat kedua.

Namun, status sebagai produsen nomor satu dunia ini tidak diraih dalam semalam. Apalagi, sawit bukanlah tanaman asli Indonesia.

Jejak Kolonial Bawa Sawit Masuk ke Indonesia

Sejarah ini di Indonesia bermula pada 1848, ketika empat bibit sawit dari Afrika dibawa ke Kebun Raya Bogor oleh seorang warga Belanda, Dr. D. T. Pryce. Dari sana, bibit dikembangbiakkan dan kemudian dibawa ke berbagai daerah, termasuk ke Sumatera pada akhir abad ke-19.

Dikutip dari laman Fakultas Pertanian Universitas Andalas, bibit sawit yang ditanam di Sumatera, terutama di Deli, Sumatera Utara ternyata tumbuh subur.

Varietas yang kemudian dikenal dengan nama “Deli Dura” ini menjadi cikal bakal industri sawit di kawasan Sumatera.

Pada awalnya, sawit hanya dianggap sebagai tanaman koleksi atau hortikultura. Namun seiring waktu, permintaan minyak nabati di Eropa meningkat. Hal ini kemudian mendorong pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan investor asing untuk menanam sawit secara komersial.

Kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (9/12) dilaporkan  dari catatan sejarah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), budidaya komersial pertama dilakukan pada 1911 oleh Adrien Hallet, seorang warga Belgia, di kawasan Sungai Liput (Aceh) dan Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara).

Dalam beberapa dekade berikutnya, kebun-kebun sawit berkembang pesat di Sumatera, terutama di daerah-daerah dengan iklim tropis basah dan tanah subur.

Infrastruktur perkebunan yang sudah mapan berkat industri tembakau Deli di Sumatera Utara kala itu turut memudahkan ekspansi sawit.

Sejak saat itu, pantai timur Sumatera bertransformasi menjadi sabuk perkebunan yang masif.

Terintegrasi Dengan Program transmigrasi

Setelah kemerdekaan dan terutama sejak era 1970-an ke atas, sawit di Indonesia berkembang pesat. Perkembangan ini tidak hanya karena perusahaan besar, tetapi juga lewat skema perkebunan berskala kecil bersama perusahaan besar (inti-plasma / smallholder).

Sistem ini memungkinkan partisipasi petani lokal dalam industri sawit.

Dikutip dari laman Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, transformasi besar-besaran terjadi di era Orde Baru (1970-1980an) melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terintegrasi dengan transmigrasi.

Program ini memindahkan penduduk dari Jawa ke Sumatera (terutama Riau dan Jambi) untuk membuka lahan, yang didukung pendanaan lembaga internasional seperti Bank Dunia.

Kebijakan inilah yang menjadi titik balik pergeseran komoditas utama Sumatera dari karet menjadi kelapa sawit hingga hari ini.

Kombinasi kondisi alam yang sesuai dan ekspansi sistematis dari otoritas berkuasa menjadikan Sumatera produsen sawit nomor satu dunia.

Meski ekspansi perkebunan mulai merambah Kalimantan dan Papua, Sumatera tetap menjadi tulang punggung industri sawit nasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit mencatat, lebih dari 52 persen perusahaan perkebunan sawit di Indonesia beroperasi di wilayah Sumatera.

Provinsi Riau tercatat sebagai kontributor terbesar. Mengacu pada Statistik Kelapa Sawit Provinsi Riau 2023 yang diterbitkan BPS, wilayah ini memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, mencapai 3,49 juta hektare.

Estimasi produksi CPO dari provinsi ini saja mencapai kisaran 9 juta ton per tahun, menjadikannya sentra produksi terbesar di tanah air.

Selain Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan turut menjadi penyangga utama. Sumatera Utara, sebagai wilayah historis perkebunan sawit, memproduksi sekitar 8 juta ton CPO per tahun.

Isu Deforestasi Dan Konflik Agraria Membayangi

Status Indonesia sebagai “raja” sawit dunia berjalan beriringan dengan kontroversi global. Pasar internasional, khususnya Uni Eropa, semakin ketat menerapkan standar keberlanjutan melalui regulasi seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Isu utama yang disorot adalah deforestasi. Organisasi pemantau rantai pasok global, Trase Earth, dalam datanya menyoroti korelasi antara ekspansi lahan sawit dengan hilangnya tutupan hutan primer, khususnya di Sumatera dan Kalimantan pada dua dekade terakhir.

!Konversi hutan ini berdampak langsung pada hilangnya habitat satwa kunci seperti Harimau Sumatera dan Orangutan.

Selain isu lingkungan, persoalan konflik agrarian juga menjadi catatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun secara konsisten menempatkan sektor perkebunan sebagai penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia.

Konflik ini sering kali melibatkan sengketa lahan antara korporasi dengan masyarakat adat atau warga lokal. Laporan Human Right Watch berjudul When We Lost the Forest, We Lost Everything mendokumentasikan bagaimana perluasan sawit di Indonesia mengganggu hak masyarakat adat atas hutan, mata pencaharian, pangan, air, dan budaya di berbagai daerah, tak terkecuali Sumatera.

Di sisi ketenagakerjaan, laporan investigasi dari lembaga seperti Amnesty International pernah menyoroti kondisi kerja di perkebunan sawit. Isu-isu seperti target kerja yang tidak realistis, minimnya peralatan keselamatan bagi penyemprot pestisida, hingga pelibatan pekerja anak di bawah umur dalam pola upah borongan masih menjadi pekerjaan rumah bagi industri ini. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru