Sabtu, 19 Juli 2025

BAHAYA BANGET NIH..! Siti Fadilah & Dharma Pongrekun Menolak WHO Merampas Kedaulatan RI Melalui Amandemen IHR 

JAKARTA- Siti Fadilah dan Dharma Pongrekun atas nama Masyarakat Peduli kedaulatan bangsa dan negara meminta agar Presiden Prabowo Subianto secara tegas menolak dominasi WHO dan Amandemen IHR (International Health Regulations)

“Hari ini kami atas nama masyarakat peduli kedaulatan bangsa dan negara menyerukan penolakan terhadap dominasi WHO terhadap kebijakan kesehatan nasional, yang berpotensi berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan negara,” tegas oleh Menkes RI 2004-2009 lalu dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (19/7).

Siti Fadilah menjelaskan pada hari ini,19 Juli 2025 WHO akan menetapkan amandemen IHR. IHR adalah International Health Regulation yang berisi SOP dalam menyelesaikan masalah pandemi.

“Amandemen IHR ini isinya banyak merugikan negara-negara anggota, dimana sudah banyak di tolak oleh negara-negara maju antara lain Amerika dan Rusia serta negara-negara lain. Bahkan negara seperti USA sampai memutuskan keluar dari WHO,” jelas Siti Fadilah.

Amandemen IHR itu harus ditolak secara resmi oleh negara hari ini, Sabtu 19 Juli 2025 karena berpotensi hilangnya kedaulatan bangsa dan negara.

Hari ini, Sabtu, 19 Juli 2025, ini adalah hari di mana akan disetujuinya IHR (International Health Regulations) Amandement. Dengan darurat Pandemi ditentukan oleh Dirjen WHO, [Pasal 1, 12, 49], bukan lagi oleh presiden suatu negara, apalagi ditambah aturan lainnya, IHR Amendment itu berpotensi sama artinya dengan pelanggaran atas kedaulatan kesehatan suatu negara.

“Jika disetujui artinya Presiden sekalipun tidak dapat lagi melindungi rakyarnya sendiri. Karena tunduk pada WHO Treaty dan Pandemic Agreement,” jelas Siti Fadilah.

Ia menjelaskan, Amandemen IHR yang telah diadopsi melalui konsensus pada 1 Juni 2024 dalam sidang World Health Assembly ke-77 masih dapat ditolak oleh negara-negara anggota hingga 19 Juli 2025. Jika tidak ada penolakan resmi dari pemerintah Indonesia sebelum tanggal tersebut, amandemen akan secara otomatis berlaku efektif di Indonesia.

“Sejak tahun lalu kami telah berkali-kali menyampaikan kekuatiran rakyat ini, tapi belum ada tanggapan serius sampai hari terakhir ini, karena itu kami minta tolong pada semua rakyat yang masih cinta negara ini agar segera menginfokan pada siapapun yang dikenal agar bisa langsung beritahu presiden sebelum terlambat, karena hari ini, 19 Juli 2025, kita masih bisa menolak,” jelas.

Kalau sadar sesudah lewat waktu menurutnya, pihak asing yang jahat bersama WHO jadi bisa punya kesempatan menekan bahkan ramai-ramai menyerang negara kita. Kalau sudah begitu, pasti rakyat yang menderita.

Redefinisi Pandemi yang Berbahaya

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Siti Fadilah menjelaskan, WHO mengubah definisi pandemi menjadi setara dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan epidemi. Perubahan ini memberikan celah bagi WHO untuk mengklaim pandemi sebagai bentuk bioterrorisme, menciptakan keadaan darurat artifisial yang dapat disalahgunakan.

Definisi  “PANDEMI” disamakan dengan PHEIC (Public Health Emergency International Concern), dan pengobatan gen dan sel dimasukkan dalam produk kesehatan relevan [Pasal 1].

Beban finansial tanpa batas, dibebankan kepada pemerintah negara masing-masing. [Pasal 44]. Bila sekjen WHO sudah menetapkan status pandemi, negara-negara yang sedang kesulitan ekonomipun akibat pandemi lalu, akan tetap diwajibkan mendanai kegiatan mengatasi pandemi tanpa kejelasan besaran biaya dan tanpa batas. Ini bahaya, karena bila sudah tidak mampu, mereka berpotensi akan terus jadi budak hutang global yang berpotensi menyebabkan kemiskinan bahkan kebangkrutan.

Tidak ada kejelasan siapa yang akan mengelola dana, mengaudit dan tanpa perlindungan konflik kepentingan , [pasal 44bis]. Tidak ada kewajiban WHO mempertanggungjawabkan hasilnya, jadi bila negara bangkrutpun gara gara pandemi, WHO tidak bisa disalahkan.

IHR WHO ini cacat hukum. Versi final dari amandemen ini tidak diserahkan oleh WHO minimal 4 bulan sebelum pemungutan suara. [Pasal 55(2)].

IHR WHO ini bertentangan dengan prinsip medis. Mengharuskan bahkan orang sehatpun asal di anggap terpapar penyakit (OTG) di karantina secara paksa, yang merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pribadi yang dijamin konstitusi. [Pasal 27].

Amandemen mewajibkan vaksinasi bagi setiap warga yang bepergian ke luar negeri, tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatan individual atau hak menolak intervensi medis.

Operator transportasi dipaksa melaksanakan “tindakan kesehatan”. (menyemprot penumpang dengan zat kimia). [pasal 24.1 (a), 24.1 (b) , dan lampiran 4.1(c)].

Negara di wajibkan membuat undang-undang nasional sesuai dengan kemauan WHO, bukan lagi berdasarkan kemauan atas kepentingan rakyat negara kita [pasal 4]. Itu sebabnya undang-undang ini sangat otoriter dan mengganggu kebebasan sipil. (Di Indonesia Omnibuslaw Kesehatan Pasal 446)

Dirjen WHO mewajibkan prekuanlifikasi dan EUA pada semua produk kesehatan  [pasal 15, 16, 17, 18]. (Monopoli). Dampaknya setiap warga Indonesia yang ingin bepergian ke luar negeri berpotensi akan diwajibkan menggunakan vaksin tertentu sesuai ketentuan WHO. Penolakan terhadap vaksin tertentu itu dapat mengakibatkan pembatasan perjalanan internasional.

Amandemen ini berlawanan dengan Hak Asasi Manusia [Pasal 31.2]. Pasal ini secara eksplisit memaksa warga atau pelancong menjalani vaksinasi atau tindakan pencegahan lainnya seperti karantina atau isolasi diri tanpa prosedur pengecualian bahkan tanpa persetujuan individu.

Dalam kesempatan yanf sama, Komjen Dharma Pongrekun tegas menolak keras intervensi supranasional WHO yang berpotensi mengurangi kedaulatan negara dan bertentangan dengan prinsip medis dan melanggar hak asasi manusia.

Sistem pengambilan keputusan tertutup yang mengesampingkan prinsip demokrasi dan akuntabilitas.

Penerapan kebijakan kesehatan yang meminggirkan hak masyarakat untuk memilih, bertanya, dan mendapatkan informasi yang utuh dan independen.

“Kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk secara resmi tidak menyetujui Amandemen IHR 2025.

Pongrekun menuntut agar dilakukan kajian menyeluruh bersama masyarakat sipil, akademisi, dan ahli hukum.

Ia juga mmenolak seluruh bentuk pengalihan kedaulatan kesehatan kepada lembaga internasional. Indonesia perlu memastikan bahwa implementasi perjanjian ini tidak mengurangi kemampuan negara dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia. (Web Warouw)

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru