Rabu, 19 November 2025

Bahaya Laten ‘Agama’ Jauh Lebih Berbahaya dari ‘PKI’

Upacara adat Dayak di Kalimantan. (Ist)

Ketakutan dan kebencian antar agama kembali ditiupkan di dunia maya. Seperti lalu-lalu dibumbui anti komunis dan anti PKI. Muaranya adalah ‘membokong’ pemerintahan Jokowi yang saat ini sedang berjuang mengatasi wabah Corona dan dampaknya. Aju, wartawan senior Sinar Harapan, dan bagian dari divisi Pelayanan Publik, Data dan Informasi Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) dan Dayak International Organization (DIO),–memblejetinya. (Redaksi)

 

Oleh: Aju

JAKARTA – Hanya orang bodoh dan atau orang yang kerjanya tukang membodoh-bodohi orang lain yang percaya akan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hal ini untuk menanggapi mantan Pejabat Tinggi Negara, dimana secara tegas, mengatakan, para tukang fitnah PKI akan tergilas ulang oleh sejarah.

Di Jakarta, Senin, 1 Juni 2020, salah satu mantan Pejabat Tinggi Negara, mengatakan, kondisi sekarang sama seperti era tahun 1960-an, dimana PKI melalui berbagai cara memutarbalikkan fakta, sehingga kemudian muncul Gerakan 30 September (G30S) 1965. G30S 1965, diklaim mantan Pejabat Tinggi Negara, itu, sebagai pemberontakan PKI.

Saya justru melihat orang yang gembar-gembor akan kebangkitan PKI, justru nantinya akan tergilas oleh sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang penuh dengan manipulasi. Persepsi politik dipaksakan menjadi fakta sejarah. Karena fakta sesungguhnya sudah terbuka secara terang-benderang.

Orang yang suka gembar-gemborkan kebangkitan PKI, patut diduga selalu dari kelompok yang sama. Narasi yang dibuat sangat mudah ditebak, menyerang partai yang tengah berkuasa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Presiden Indonesia, Joko Widodo yang sebagai kader PDIP.

Radikalisme kelompok minoritas mengatasnamakan agama tertentu sebagaimana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, bukti bahayanya radikalisme mengatasnamakan agama tertentu di Indonesia.

Jelas sekali, HTI ingin menggantikan ideologi Pancasila yang menghormati keberagamaan, kesetaraan, berkebudayaan asli dari berbagai suku Bangsa di Indonesia, dengan ideologi di Indonesia berdasarkan agama tertentu.

Kalangan elit berhentilah berilusi, jangan memaksakan sumber keyakinan iman menjadi ideologi negara. Bahaya terbesar Bangsa Indonesia, sekarang, ini, apabila masih terjadinya sekelompok orang memaksakan sumber keyakinan imannya menjadi ideologi negara, pengganti ideologi Pancasila.

Sebagaimana dikemukakan berkali-kali Presiden Soekarno, 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967, ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.

Ideologi Pancasila, bukan dilahirkan dari kebudayaan luar yang melahirkan agama samawi atau agama impor lainnya, melainkan ideologi Pancasila dilahirkan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.

Dengan demikian, apabila masih ada pihak yang ingin memaksakan kehendak mengganti ideologi Indonesia menjadi ideologi berdasarkan sumber keyakinan imannya, maka di situlah terjadi pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila.

Era sekarang, abad 21, era kebangkitan Asia dari aspek ekonomi dan tekonologi inovasi, masih bicara masalah isu kebangkitan PKI, hanya akan menjadi bahan tertawaan orang. Memalukan. Itu mustahil karena sudah ada ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara tahun 1966 melarang keberadaan PKI. Kalaupun ada bukti kebangkitan PKI, urusan aparat penegak hukum. Berhentilah menipu masyarakat.

GS30 1965, bukan pemberontakan PKI, tetapi kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Soeharto terhadap Presiden Soekarno, dibiayai Central Inteligency Agency Amerika Serikat (CIA AS).

G30S 1965 dikaitkan sebagai pemberontakan PKI, itu sebuah persepsi politik dibuat Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) di era Presiden Soeharto, 1 Juli 1967 – 21 Mei 1998, sebagai upaya cari muka kepada Amerika Serikat, supaya bisa berkuasa selama 31 tahun dengan dibekingi struktur Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dimana didominasi TNI-AD.

Sudah ada bukti manipulasi sejarah di sekitar G30S 1965. Yaitu, buku tentang kejahatan kemanusiaan Presiden Soeharto, 1 Juli 1967 – 21 Mei 1998 dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), terbit lagi.

Judulnya: “Buried Histories The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia”, diterbitkan University of Wisconsin Press, Chicago (Amerika Serikat), Mei 2020.

Ini lanjutan penerbitan buku sebelumnya: “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia”, yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto”.

Edisi Bahasa Indonesia diterbitkan di Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007, tentang kudeta Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkistrad) Letnan Jenderal Soeharto terhadap Presiden Soekarno di Jakarta, pada Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Penulisnya, Prof Dr John Roosa dari University of British Columbia (UBC), Canada. Kedua buku ini mengisahkan dampak buruk di Indonesia sebagai upaya kelompok ideologi global, yaitu ideologi liberalis pimpinan Amerika Serikat memenangkan pertarungan ideologi di Indonesia melalui G30S 1965.

G30S 1965, ini, menyebabkan pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) pada 22 Juni 1966 dan mengakibatkan Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannnya di Istana Negara, Jakarta, 12 Maret 1967.

MPRS kemudian menunjuk Pangkostrad Letjen Soeharto menjadi Penjabat Presiden Indonesia, 1 Juli 1967, kemudian dikondisikan tetap jadi Presiden Indonesia setiap 5 tahun sekali selama 31 tahun hingga 21 Mei 1998.

Era Pemerintahan Presiden Soeharto, Pemerintah Indonesia terus cari muka kepada Amerika Serikat, dengan melakukan pembunuhan massal terhadap manusia tidak berdosa dengan tuduhan sepihak, terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), 1965 – 1974.

Praktek pembunuhan massal di Indonesia, mencakup dua fase. Fase pertama, 1965 – 1966 sebagaimana disebut John Roosa di dalam dua bukunya, menyebabkan jutaan manusia tidak berdosa dibunuh.

Fase kedua, aksi pengusiran dan pembunuhan 8 ribu etnis Tionghoa di pedalaman dan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat, September – Desember 1967, diprovokasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan peralat Suku Dayak selama operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS), 1966 – 1974 (Aju: 2017).

Menurut John Roosa, kebrutalan Soeharto dan TNI AD, 1965 – 1966, saja, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua di dunia, menelan korban nyawa manusia (1 – 2 juta orang) setelah Holocaus, Nazi/Hitler terhadap Suku Bangsa Yahudi, sekitar 11 – 17 juta orang di Jerman, 1943 – 1944 .

Dalam Indoprogress.com, Senin, 17 September 2012, John Roosa, mengatakan,  G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar)  di tingkat propinsi, tidak pernah membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan.

Bahaya Laten Agama

Aksi radikalisme agama yang terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, memunculkan bahaya latens agama yang sangat mendiskreditkan salah satu agama samawi.

Ini sebagai akibat dari kita yang akhirnya secara tidak sadar terjebak menciptakan bahaya latens agama itu sendiri, karena terlalu melihat dan berpatokan bahwa agama sebagai sebuah lembaga. Kita selama ini belajar agama terlalu kontekstual, hitam-putih, dangkal.

Pendidikan agama yang dangkal membuat kita menjadi sangat mudah mabuk agama. Kita mudah mengedepankan kesalehan individu, dengan hanya melihat diri dan kelompoknya saja yang paling benar, dan kelompok lain dijadikan musuh yang harus dibasmi.

Padahal tujuan utama belajar agama, adalah supaya setiap pribadi manusia memiliki kesalehan sosial, dengan menghargai keberagaman, perbedaan, dan kelompok lain sebagai saudara yang harus dihormati dan dilindungi.

Filsuf berkebangsaan Indonesia, Dr Reza Alexander Antonius Wattimena atau Reza A.A. Wattimena (2019), mengatakan, belajar agama pada dasarnya, soal nilai-nilai kehidupan, sekaligus jalan untuk mencapai kedamaian di dalam hati, dan di dalam hidup bersama. Kita tampak lupa akan hal ini.

Mendengar kata agama, orang Indonesia langsung ternganga. Agama dikira suci. Segala sesuatu yang berbau agama langsung dianggap baik. Padahal, kenyataan bicara berbeda.

Agama adalah organisasi. Agama adalah institusi. Manusia yang membuatnya. Begitu banyak politik kekuasaan, korupsi, diskriminasi dan nepotisme muncul di dalamnya.

Di Indonesia, ada partai politik yang secara jelas-jelas berlabelkan agama. Tapi doktrin agama yang diaplikasikannya, semata-mata demi tujuan politis pragmatis. Sama sekali kurang mengedepankan nilai-niali kemanusian di dalam mencapai visi dan misinya.

Kesalahan berpikir dan bertindak kita, dengan memperalat agama demi mencapai tujuan politik, justru seringkali disebarkan lewat pendidikan. Agama terjebak di dalam formalisme. Ia hanya mengajarkan kulit. Inti terdalam agama hampir tidak tersentuh.

Ini adalah kesalahan yang amat berbahaya. Agama lalu tidak lagi menjadi pencipta perdamaian, tetapi perpecahan dan konflik. Agama menjadi sumber kebodohan dan keterbelakangan. Ia justru menjadi musuh utama kemanusiaan.

Reza A.A. Wattimena (2019), mengatakan, ada tujuh hal yang kiranya penting untuk diperhatikan dalam pendidikan agama. Pertama, pendidikan agama menjadi berbahaya, ketika ia hanya mengajarkan hafalan mutlak. Tidak ada pengertian dan pengembangan akal sehat.

Tak ada sikap kritis. Dua, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan tanpa akal sehat. Logika berpikir menjadi cacat. Orang mudah dibodohi dan diprovokasi untuk menyebarkan kebencian. Inilah akar dari segala bentuk radikalisme agama di abad 21 ini.

Tiga, agama juga menjadi ancaman, ketika ia mengembangkan kesombongan religius. Orang lalu percaya buta, tanpa dasar, bahwa agamanyalah yang paling benar. Tidak ada argumen. Tidak ada penjelasan. Hanya kepercayaan buta yang dibungkus kesombongan kosong.

Empat, pendidikan agama itu berbahaya, ketika ia tidak mengenal kemanusiaan. Kemanusiaan, cinta dan perdamaian haruslah menjadi nilai tertinggi kehidupan. Agama harus mencerminkan ketiga nilai utama itu. Jika tidak, agama justru menjadi sumber kebencian, kemarahan dan perang.

Lima, kesombongan religius, dan minimnya rasa kemanusiaan, juga akan membuat pendidikan agama menjadi berbahaya. Diskriminasi atas nama agama akan tercipta. Manusia dipisahkan atas dasar agama. Tinggal selangkah lagi, konflik berdarah akan menjadi nyata.

Enam, pendidikan agama akan menjadi berbahaya, ketika ia digunakan untuk membenarkan kemalasan berpikir. Sikap kritis dianggap murtad. Daya analisis dianggap melawan kesucian. Agama pun justru menjadi alat untuk memperbodoh manusia.

Tujuh, agama juga menjadi berbahaya, ketika ia diajarkan sebagai pembenaran untuk memecah belah. Agama digunakan sebagai dasar untuk menindas orang lain.

Sikap diskriminatif lalu dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika ini yang terjadi, agama justru menjadi penghambat kemanjuan peradaban, dan penyebar penderitaan di dunia.

Spiritualitas Agama

Reza A.A. Wattimena (2019), menuturkan, agama kiranya perlu memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, agama adalah soal nilai kehidupan, sekaligus soal perubahan dari dalam diri ke arah kedamaian dan keterbukaan.

Agama sama sekali tidak terkait dengan hafalan buta. Agama juga bukan soal ketaatan ataupun kepercayaan buta pada ajaran yang sudah tak sesuai dengan perubahan jaman.

Dua, pendidikan agama harus mengembangkan akal sehat dan sikap kritis. Beriman harus menggunakan logika dan akal sehat. Pertanyaan dan daya analisis harus berkembang sejalan dengan perkembangan hidup beragama seseorang. Rasa ingin tahu dipupuk dengan dorongan untuk mencari lebih dalam. Pendidikan agama harus terlibat di dalam pendidikan manusia yang seutuhnya.

Tiga, pendidikan agama juga harus mendorong orang menjadi spiritual. Artinya, ia menjadi manusia yang melampaui batas-batas tradisi, agama, suku dan ras. Manusia spiritual adalah manusia semesta.

Dengan pola pendidikan ini, semua konflik yang berpijak pada identitas sempit juga akan lenyap. Pendidikan agama semacam ini adalah pendidikan agama yang membebaskan manusia dari kebodohan, sikap diskriminatif dan penderitaan.

Peserta didik akan berbinar-binar, ketika waktunya belajar agama. Ia akan merasa bahagia, dan utuh sebagai manusia. Ia akan mencintai agamanya sama seperti ia mencintai kehidupan itu sendiri.

Pendidikan agama, mestinya menekankan pada spiritualitas berupa pemahaman orang akan jati dirinya sejatinya, sebelum semua identitas sosial muncul.

Menjadi manusia spiritual berarti menjadi manusia universal. Ajaran berbagai agama dipelajari, namun orang tidak terjebak di dalam salah satunya. Manusia spiritual adalah manusia semesta.

Manusia melihat dirinya sebagai warga semesta yang melintasi semua batas-batas buatan manusia (seperti negara, etnis, ras, dan agama). Moralitasnya bukan sekumpulan hukum yang tidak lagi cocok dengan jaman, melainkan nurani. Baik dan buruk selalu menyesuaikan dengan keadaan di sini dan saat ini.

Manusia spiritual juga melihat alam sebagai bagian dari dirinya. Ia tak akan melakukan hal-hal yang merusak alam. Moralitas hijau (yang berpihak pada kelestarian biodiversitas kehidupan) selalu menjadi bagian dari nurani alamiahnya.

Hidup seseorang amat tergantung pada cara pandangnya. Cara pandang seseorang amat tergantung pada identitasnya. Jika identitasnya sempit, maka cara pandangnya juga sempit. Hidupnya pun juga sempit.

Sebaliknya, manusia spiritual adalah manusia semesta. Identitasnya seluas semesta. Cara pandangnya seluas semesta. Hidupnya pun, dengan demikian, seluas semesta.

Kemunafikan terjadi, ketika orang hanya menjadi orang beragama. Ia tak paham dan tidak menghayati ajaran agamanya. Hidupnya sempit dan korup. Ia hanya mengabdi kekuasaan buta, dan menggunakan agama untuk mencapai itu.

Menurut Reza A.A. Wattimena (2019), di Indonesia, menjadi manusia religius sebenarnya cukup. Orang sungguh menghayati ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari. Namun, orang semacam ini belum menyentuh dimensi terdalam kehidupan.

Spiritualitas sudah mengetuk, namun pintu belum dibuka olehnya. Indonesia, butuh manusia-manusia spiritual. Mereka harus menjadi pemimpin politik sekaligus ekonomi. Mereka harus menjadi tokoh masyarakat. Hanya dengan begitu, perdamaian di dunia yang semakin majemuk dan kompleks ini mungkin terwujud.

Dayak Jangan Kearab-araban

Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, orang Dayak di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, harus kembali ke karakter dan jatidiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di Benua Asia.

Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes, Minggu, 31 Mei 2020, menanggapi pemberitaan media massa berbasis di London, Inggris, The Guardian.com, Senin, 25 Mei 2020,  berjudul: “European Union, Dawn of Asian century puts pressure on EU to choose sides”, says top diplomat”.

Saat bersamaan, Senin, 25 Mei 2020, Kantor Berita Nasional Federasi Rusia, berbasis di Moscow, Telegrafnoie Agentsvo Sovietskavo Soyusa (TASS) Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020, menurunkan berita berjudul: “World witnessing US century ceding to Asian one, says EU foreign policy chief”.

“Orang Dayak harus berhenti berkarakter dan berjatidiri kebarat-baratan, kearab-araban, keyahudi-yahudian, setelah memilih agama samawi atau agama impor lain sebagai sumber keyakinan imannya. Jadilah orang Dayak berkebudayaan Dayak, sebagai bagian tidak terpisahkan dari Benua Asia,” kata Yulius Yohanes.

Yulius Yohanes, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan, kebudayaan Barat yang mengedepankan rasionalitas, seringkali bertolak belakang dengan kebudayaan masyarakat dari berbagai suku dan bangsa di Benua Asia yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya leluhur.

“Kalau pernyataan resmi Pejabat Uni Eropa melalui dua media terkemuka di Eropa, The Guardian.com dan TASS Russian News Agency, abad ke-21 menjadi era kebangkitan Asia, maka orang Dayak sebagaian bagian tidak terpisah dari masyarakat di Benua Asia, harus segera koreksi diri, untuk kembali kepada karakter dan jatidirinya,” ujar Yulius Yohanes.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sebagaimana sudah dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dayak Internasional Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), sebagai salah satu dari suku Bangsa di Benua Asia, seperti tiga negara manusi di dunia, yaitu China, Jepang dan Korea Selatan, maka orang Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, menurut Yulius Yohanes, membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dari jatidiri manusia Dayak beradat, lahir dari sistem religi bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.

“Dalam pemahaman universal, di negara manapun di seluruh dunia, kunci kemajuan sebuah suku bangsa, apabila sistem religi dari suku bangsa yang bersangkutan, dijadikan filosofi di dalam etika berperilaku masyarakatnya, sementara agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, sehingga keduanya harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama,” ujar Yulius Yohanes.

Yulius Yohanes, mengutip pernyataan Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatican, sebagaimana dilansir Vaticannews.va, Senin, 17 Februari 2020. Paus Fransiskus mengutip kembali pernyataannya saat pidato pada Akademi Kepausan Kepausan pada Juni 2015, “Misi yang akan Anda laksanakan suatu hari nanti akan membawa Anda ke semua bagian dunia.”

“Eropa membutuhkan kebangkitan; Afrika haus akan rekonsiliasi; Amerika Latin haus akan makanan dan interioritas; Amerika Utara bertekad menemukan kembali akar identitas yang tidak didefinisikan dengan pengecualian; Asia dan Oseania ditantang oleh kapasitas untuk berfermentasi dalam diaspora dan untuk berdialog dengan luasnya budaya leluhur,” ujar Yulius Yohanes, mengutip pernyataan Paus Fransiskus, sebagaiman dilansir Vaticannews.va, Senin, 17 Februari 2020.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sebagai bagian dari masyarakat di Benua Asia, kehidupan masyarakat Suku Dayak penuh dengan ritualiasi. Karena itulah, upacara syukuran selepas panen padi yang disebut Gawai di Provinsi Kalimantan Barat dan Sarawak, Pesta Kaamatan di Sabah, dan Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, setara dengan Perayaan Natal di lingkungan Agama Katolik, Perayaan Idul Fitri di lingkungan Agama Islam.

Peradaban kebudayaan agraris masyarakat di Benua Asia, ternyata bisa menjadi negara maju di bidang ekonomi dan teknologi seperti China, Jepang dan Korea Selatan, setelah secara konsisten dilakukan akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan ke dalam pembangunan nasionalnya.

The Guardian.Com dan TASS Russian News Agency, Senin, 25 Mei 2020, mengutip mengutip Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrel, dimana sekarang dunia tengah menyaksikan kemunduran Amerika Serikat (AS) dan kebangkitan satu Asia.

“Kita hidup di dunia tanpa pemimpin di mana Asia akan semakin penting – dalam hal ekonomi, keamanan dan teknologi. “Para analis telah lama berbicara tentang akhir dari sistem yang dipimpin Amerika Serikat dan kedatangan abad Asia. Ini sekarang terjadi di di depan mata kita,” kata Josep Borrel  dalam konferensi video dengan kepala misi diplomatik di Jerman.

Meluasnya penyebaran Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, dapat dilihat sebagai semacam akselerator dari proses ini. Jika abad ke-21 berubah menjadi abad Asia, karena abad ke-20 adalah abad Amerika Serikat, Covid-19 dapat dikenang sebagai titik balik dari proses ini. “Permintaan untuk kerja sama multilateral tidak pernah lebih besar,” kata Josep Borrell.

Josep Borrel, mengatakan, “Tetapi pasokan masih tertinggal. Ini adalah krisis besar pertama dalam beberapa dekade dimana Amerika Serikat tidak memimpin respons internasional. Mungkin mereka tidak peduli, tetapi di mana-mana kita melihat meningkatnya persaingan, terutama antara Amerika Serikat dan China.” (Aju)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru