JAKARTA- Ketua PDI Perjuangan Dr. Ribka Tjiptaning sedang mempersiapkan diri untuk diperiksa Bareskrim Polri sehubungan dengan laporan atas dirinya yang menyatakan Soeharto tak layak menjadi pahlawan karena membunuh jutaan rakyat Indonesia.
“Selain pengalaman saya sendiri sebagai korban, saya juga akan meminta kesaksian Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965. Kita bisa dengar kesaksian bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu. Apa benar atau cuma fiksi?” jelasnya kepada pers di Jakarta, Sabtu (15/11).
Ia menjelaskan temuan utama Tim Komnas HAM waktu itu jelas-jelas menemukan adanya berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang meluas dan sistematis, seperti pembunuhan massal, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang (sekitar 41 ribu orang), penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, dan kekerasan seksual.
Diperkirakan sekitar 32.774 orang hilang, dan beberapa lokasi diidentifikasi sebagai tempat pembantaian.
Masih mengutip hasil penyeldikan Komnas HAM, pihak yang bertanggung jawab adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang langsung dibawah kendali Soeharto.
“Itu bisa digoogling dan didownload hasil laporannya. Dan itu penyelidikan Pro Yustisia lho. Itu sesuai perintah Undang-undang, tetapi sampai sekarang belum ditindak lanjuti oleh negara. Silakan cari ada itu “ringkasan eksekutif tim ad hoc peristiwa 65”,” katanya.
“Tim yang membuat laporan itu juga masih ada dan bisa ikut bersaksi. Ketua timnya adalah Nur Kholis, Wakilnya Kabul Supriadi, dan ada juga Johny Nelson Simanjuntak serta Yosep Adi Prasetyo,” paparnya.
Menurutnya, satu per satu mereka bisa diminta bersaksi. Termasuk juga korban-korban penculikan era Soeharto yang masih hidup dan kebetulan sekarang ada di kabinet Prabowo bisa ikut kasih kesaksian.
“Ini kesempatan bangsa ini kembali membuka sejarah kelam yang sedang berusaha ditutup oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon,” ujarnya.
Peristiwa G30S: Apakah Soeharto Terlibat?
Dikutip dari media Australia, SBS, Bedjo Untung meyakini Soeharto bertanggung jawab atas genosida 65 dan karena itu tidak layak jadi Pahlawan Nasional.

Bedjo Untung adalah salah satu korban peristiwa 65, dan sekarang menjadi Ketua Yayasan Penelitian Korban Kekerasan (YPKK) 65. Dia sudah berkeliling Indonesia untuk mengumpulkan bukti-bukti genosida itu.
Bedjo Untung sekarang berumur hampir 78 tahun. Pada tahun 1965, ketika peristiwa persaudaraan itu terjadi, dia berusia 17 tahun.
Lima tahun setelah itu, dia masih bebas, dan karena itu bisa memahami apa yang terjadi.
Pada tahun 1970, di umur 22 tahun, dia ditangkap oleh pemerintah Orde Baru.
Bedjo Untung harus melewatkan sembilan tahun di dalam tahanan, mengikuti program kerja paksa di Tangerang, Banten, dan kemudian masuk ke penjara di Salemba hingga 1979.
Membantah Fadli Zon:
Bedjo Untung berpendapat bahwa Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional karena keterlibatannya dalam peristiwa 65. Kredit: Bejo Untung
Sejak keluar penjara, Bedjo Untung tidak pernah menyerah meski hidupnya sangat berat karena harus menanggung status sebagai bekas tahanan politik Soeharto. Keberaniannya melawan Orde Baru mendorong keyakinannya bahwa keadilan dan kebenaran harus ditegakkan.
Dia ingin, tragedi 65 terselesaikan, dan karena itulah semenjak itu tanpa henti dia menyuarakan hak-hak korban peristiwa 65.
Selain itu, dia juga aktif dalam gerakan mengungkap dosa Orde Baru dalam peristiwa Trisakti, Semanggi, hingga pembunuhan Munir pasca-Orde Baru.
Bedjo Untung menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto benar-benar melukai hati korban 65, kelompok pelajar dan rakyat Indonesia secara umum. Soeharto, kata dia, adalah penjahat Hak Asasi Manusia, khususnya pada tragedi 65.
YPKP 65, kata Bedjo, menemukan bukti bahwa ada kuburan massal. Dokumen lembaga intelejen Amerika Serikat, CIA, yang dipublikasikan untuk umum, juga menyebut Soeharto terlibat dalam genosida 65.
YPKP 65 telah melakukan penelitian di Sumatera, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara. Banyak kuburan massal para korban yang ditemukan yang menunjukkan adanya pembunuhan itu. Bedjo mengatakan, kesaksian korban yang dipersekusi, dipenjara di Pulau Buru, di Nusakambangan dan bahkan dirinya sendiri sebagai korban langsung, sangat kecewa jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa Soeharto dinyatakan tidak terlibat genosida 65.
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia sendiri sudah merekomendasikan hasil penyelidikan pro justicia tentang tragedi 65, yang menyebut peristiwa itu bagian dari kejahatan kemanusiaan. Hal itu diperkuat oleh keputusan Mahmakah HAM di Den Haag, Belanda, yang menyebut bahwa kejahatan 65 adalah genodisa.
Semua ini, kata Bedjo, adalah bukti bahwa Soeharto terlibat dalam pembunuhan massal tahun itu.
Pada tahun 2012 Komnas HAM telah mengirimkan rekomendasi ke kejaksaan agung, dan pemerintah diminta membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk masalah ini.
Namun rekomendasi itu tidak pernah diikuti oleh pemerintah yang berkuasa.
Hingga meninggal pada tahun 2008, tidak pernah ada proses hukum terhadap Soeharto terkait peristiwa 65.
Meski Indonesia masuk ke era reformasi pasca tahun 1998, namun menurut Bedjo yang berkuasa tetaplah mereka yang ada dalam lingkaran Orde Baru.
Bedjo Untung meyakini, sisa-sisa kekuatan Orde Baru terus melakukan perlawanan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia semenjak 1998 hingga saat ini, tidak memiliki kemauan dan kemampuan politik untuk mengusut kasus genosida 1965. (Web Warouw)

