JAKARTA – Dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menyoroti surat edaran Badan Gizi Nasional (BGN) terkait penggunaan produk seperti biskuit, nugget, dan burger lokal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam unggahannya di Instagram, Tan menampilkan surat edaran tertanggal 26 September 2025 yang ditandatangani Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, Tigor Pangaribuan.
Surat tersebut merespons berbagai masukan publik soal penggunaan ultra-processed food (UPF) dalam menu MBG.

Dalam surat, BGN menegaskan, jika produk seperti biskuit, roti, sereal, sosis, nugget, dan burger digunakan, maka yang diprioritaskan adalah produk lokal atau buatan UMKM. Namun, menurut Tan, keputusan itu justru menjadi langkah mundur bagi program MBG.
“Suatu kemunduran ya buat saya, ini adalah suatu kemunduran MBG kalau makan bergizi gratis kok bentukannya seperti itu,” kata Tan, dikutip Bergelora.com Rabu (1/10/2025).
Berdayakan Koperasi Merah Putih
Tan menekankan, program MBG seharusnya tidak diarahkan untuk menyenangkan pemilik modal atau pabrik besar dengan menggunakan makanan ultraproses.
Menurutnya, menu MBG mestinya berbasis pangan segar dari petani, peternak, nelayan, ataupun penanam buah lokal, sehingga benar-benar memberdayakan masyarakat kecil.
Ia juga menyinggung potensi kerja sama dengan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) setempat.
“Kalau mau sebetulnya semua proyek nasional Presiden bisa nyambung. Untuk mengaktifkan ekonomi sirkular, kita bisa berdayakan Koperasi Merah Putih di dalam pelaksanaan MBG,” ujar Tan.
MBG Seharusnya Jadi Sarana Edukasi
Tan menilai, UPF sah-sah saja diproduksi untuk kebutuhan rekreasional, tetapi bukan sebagai menu MBG.
Menurut dia, MBG semestinya menjadi standar edukasi gizi bagi anak-anak, memperkenalkan makanan sehat Nusantara yang bergizi seimbang.
“MBG itu seharusnya menjadi suatu standar yang bisa kita banggakan,” katanya.
Ia menambahkan, melalui MBG, siswa dapat belajar mengenali makanan sehat dan bercerita kembali kepada orangtuanya. Namun, kondisi di lapangan berbeda jauh dari panduan resmi MBG.
“Di panduan MBG jelas tertulis program ini sarana edukasi. Tapi kok pelaksanaannya beda banget,” imbuh Tan.
Tan menyadari pengenalan beragam makanan bergizi melalui program MBG memang membutuhkan proses. Namun, program MBG tetap semestinya tidak serta-merta menerima keinginan atau kesukaan setiap anak begitu saja.
Bahaya Makanan Ultraproses
Tan mengingatkan, makanan ultraproses umumnya rendah nutrisi tetapi tinggi gula, garam, lemak, serta penguat rasa. Jika dikonsumsi berlebihan, UPF bisa menjadi faktor pemicu obesitas dan penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes, hipertensi, dan sindrom metabolik.
“Negara maju harus punya pikiran maju. Tanah air kita kaya pangan utuh, olah jadi menu Nusantara,” tegasnya.
Menurut Tan, ada banyak menu pangan lokal yang bisa dimasukkan ke MBG, tinggal dikreasikan agar anak-anak tidak cepat bosan.
Peran Ahli Gizi Di Sekolah
Tan juga merekomendasikan agar ahli gizi tidak hanya mengawasi dapur, tetapi ikut masuk ke sekolah untuk memberikan edukasi langsung.
Namun, ia mengakui kondisi saat ini membuat hal itu sulit dilakukan. Seorang ahli gizi harus mengawasi hingga 3.000 porsi MBG per hari di Sentra Penyedia Pangan dan Gizi (SPPG).
“Kalau harus ngawasin 3.000 porsi per hari, ya sudah ‘tewas’ duluan di dapur,” ucapnya.
Idealnya, kata Tan, satu ahli gizi cukup mengawasi 300–500 porsi. Jika jumlah menu lebih dari 1.000 porsi per hari, maka perlu tambahan tenaga ahli.
Berdayakan Kantin Sekolah
Lebih jauh, Tan menilai pemerintah seharusnya memberdayakan kantin sekolah sebagai SPPG.
“Dari hati kecil saya, saya enggak setuju dengan SPPG di luar sekolah. Saya lebih setuju kalau kantin sekolah dijadikan SPPG,” katanya.
Jika sekolah belum memiliki kantin, maka bisa didorong untuk membangunnya. Selain lebih dekat dengan siswa, kantin sekolah yang dijadikan SPPG juga bisa menyerap tenaga kerja setempat.
Penjelasan BGN
Terpisah, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana tidak menjawab tegas soal boleh atau tidaknya makanan ultraproses untuk MBG.
Menurutnya, ultra-processed food sebagai produk intelektualitas dalam pengolahan pangan agar steril dan aman dikonsumsi.
Karena itu, makanan ultraproses pasti sudah melewati proses panjang.
“Yang banyak dikhawatirkan kan kandungan gula berlebihan,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
“Susu UHT adalah salah satu contohnya. Bila yang digunakan yang plain (tanpa pemanis), kan diterima banyak pihak,” tambahnya.
Ia menjelaskan, UMKM kemungkinan besar belum memiliki teknologi yang setara dengan industri besar. Meski demikian, ada olahan lokal yang dapat bertahan beberapa hari dan bila diperkaya komposisi gizinya, tetap bernilai baik, contohnya, pempek, kue-kue lokal, dan abon.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali misi Presiden Prabowo Subianto sejak awal meluncurkan MBG, yaitu menghidupkan UMKM lokal sekaligus merespons masukan dari DPR, pengamat, dan masyarakat luas terkait penggunaan makanan ultraproses dalam menu program tersebut. (Web Warouw)