Selasa, 7 Oktober 2025

Beyond Moderasi: Tasawuf Melawan Pertumbuhan Radikalisme

Menteri Agama, Fachrul Razi dan Rektor Universitas Islam Negeri, Sumatera Utara, TGS. Prof. Dr. KH. Saidurrahman, M.Ag. (Ist)

Universitas Islam Negeri, Sumatera Utara sudah berdiri didepan untuk memperkuat Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negera Kesatuan Republik Indonesia. Dalam renungan Akhir Tahun 2019 Rektor Universitas Islam Negeri, Sumatera Utara, TGS. Prof. Dr. KH. Saidurrahman, M.Ag menawarkan Tasawuf sebagai solusi menghentikan pertumbuhan radikalisme di Indonesia. Bergelora.com memuat buah pikiran tersebut untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: TGS. Prof. Dr. KH. Saidurrahman, M. Ag

PATUT diduga bahwa pluralitas akan berpeluang untuk bersanding dengan persinggungan, pergesekan dan bahkan konflik, terlebih ketika ‘yang plural’ itu menyangkut sesuatu yang fundamental, prinsip dan substantif bagi kehidupan setiap orang atau suatu kelompok. Padahal pluralitas sendiri telah merupakan sebuah keniscayaan eksistensial di dalam ruang dan waktu, bahkan dalam tingkat tertentu dapat dilihat sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima, dipahami dan dikelola secara baik.

Dalam konteks beragama, maka pluralitas atau keberagaman agama bagai pisau bermata dua, pada satu sisi rentan akan perbedaan, kompetisi hingga konflik, tetapi di sisi lainnya dapat menjadi modal sosial (social capital) yang penting dalam merekayasa kehidupan sosial yang dinamis dan penuh warna. Penting mendudukkan istilah ‘pluralitas’ dalam hirarki eksistensial (tingkatan wujud) untuk dapat melihat secara jelas, bagaimana posisinya secara ontologis seterusnya agar dapat dirumuskan paradigma epistemoligis dan aksiologisnya. Rumusan ini dibutuhkan supaya kita tidak terjebak pada kesesatan dalam menyikapi dan dalam pengelolaannya.

Pluralitas mesti dilihat sebagai potensi yang dapat dikelola dan diberdayakan dalam rangka mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis tetapi juga dinamis, dan ini akan terwujud ketka pluralitas tidak lagi dipandang sebagai ruang yang berisi perbedaan dan titik pisah, tetapi justeru berisi kesamaan, keterhubungan dan titik temu.

Dari Singularitas Ke Pluralitas

Dalam konteks teologis, sebagai seorang penganut agama, tentu saja setiap kita telah menyaksikan (bersyahadat) dengan akal dan qalbu kita akan keesaan Allah Swt, sehingga secara eksistensial Allah Swt sebagai Pencipta telah mengambil sifat yang bertentangan dengan alam semesta sebagai ciptaan-Nya, dimana Allah bersifat ‘Singular’ sedangkan alam semesta bersifat ‘Plural’. Jika Penciptaan berkonotasi asal muasal atau sumber, maka alam semesta yang plural telah bersumber dari Pencipta yang Singular. Bagaimana kemudian pluralitas lahir dari singularitas tentu melalui sebuah proses degradasi eksistensial (penyederhanaan wujud). Eksistensi Allah Swt, yang berada melampui ruang dan waktu telah meniscayakan wujud-Nya tanpa batas dan niscaya Singular atau Esa. Sedangkan alam semesta tercipta di antara ruang dan waktu sehingga sehingga meniscayakan pluralitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, jika bukan karena tuntutan ruang dan waktu maka alam semesta akan tetap konsisten menyifati karakter Allah Swt yang Singular atau Esa itu sebab dari yang Esa hanya mungkin lahir yang serba satu.

Meminjam pendirian Syeikh Rasyid Ridha–dalam ‘al-Mannār’ yang menegaskan bahwa,  al-Rahmān dan al-Rahīm adalah dua nama Allah Swt yang paling mendominasi pada saat penciptaan alam semesta. Sehingga dapat disebut bahwa energi utama penciptaan alam semesta adalah kasih sayang dan kemurahan Allah Swt. Jika pendirian ini dapat terterima, maka realitas pluralitas alam semesta termasuk keragaman agama harus dilihat sebagai anugerah atau aktualisasi dari kasih sayang dan kemurahan Allah Swt tersebut dalam ranah bumi.

Dalam studi tentang titik temu agama-agama, sebagaimana yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, dapat dilihat bahwa setiap agama harus dipandang lewat dua horison atau dua dimensi yakni: Pertama, Esoteris — agama sebelum memasuki ruang dan waktu dan Kedua, Eksoteris– agama setelah memasuki ruang dan waktu atau telah menyejarah. Jika teori ini dapat diterima, maka terdapat suatu fase atau horison dimana agama-agama masih menyifati karakter Allah Swt yang Esa– sehingga agama pada horison ini masih bersifat universal, tanpa batas bahkan tanpa nama. Jika tidak berlebihan, saya ingin mengatakan bahwa agama dalam horison ini masih tersimpul dalam dua nama Allah Swt yang Agung yakni al-Rahmān dan al-Rahīm.

Sehingga ketika Allah Swt telah menciptakan manusia di alam ini atau di bumi ini dalam karakter yang diikat dengan ruang dan waktu dengan segala hukum-hukumnya, maka agama universal yang berisi al-Rahmān dan al-Rahīm ini mengambil nama-nama tertentu, ajaran-ajaran tertentu dan diperuntukkan untuk orang atau golongan-golongan tertentu pada waktu dan tempat tertentu hingga jadilah amat beragam atau serba plural.

Al-Qur’an yang mulia menjelaskan bagaimana pluralitas dalam konteks kehidupan manusia di bumi lewat Surat al-Hujarāt: 13– Allah Swt mengaskan bahwa ada keniscayaan yang mesti berlaku pada penciptaan di antaranya  mesti  ada pemisahan kelamin (gender) laki-laki dan perempuan dalam rangka reproduksi, keseimbangan, keberlanjutan dan harmoni. Ada pula keniscayaan perbedaan ras dan suku bangsa dalam rangka mengadaptasi perbedaan ruang, waktu dan geografis yang seterusnya melahirkan perbedaan budaya, tradisi, pola pikir hingga sistem kepercayaan dan agama.

Aktualisasi Al-Ma’rifah

Meskipun pluralitas telah menjadi keniscayaan, tetapi tetap saja kehadirannnya menyisakan ruang perdebatan, diskursus bahkan bisa berujubg konflik. Terhadap hakl itu, menarik sekali apa yang tiawarkan Allah Swt lewat Surat al-Hujarāt: 13, dimana ketika fakta-fakta realitas yang dapat berkonotasi adanya keragaman, perbedaan, persinggungan, kompetisi bahkan konflik dan permusuhan, lalu dijawab dengan kata ‘lita’ārafū’ — yang secara sederhana dapat dimaknai, bahwa kita perlu saling mengkaji, saling memahami dan saling mengadaptasi.

Meskipun ayat yang mulia ini menjadikan audience-nya seluruh alam, tapi dalam tulisan ini, saya ingin menyederhanakan, agar seolah-olah ayat ini sedang menjelaskan kondisi kita di Indonesia. Sebuah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa dan dianugerahi keragaman (pluralitas) yang amat kompleks mulai dari tanah atau geografis, suku, budaya, bahasa, pola pikir atau filsafat hidup hingga soal keyakinan dan agama.

Pluralitas yang multidimensi ini, tentu merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dapat dijadikan sebagai modal penting dalam membangun dinamika, harmoni, keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita mesti optimis menjadikan pluralitas sebagai modal untuk lebih maju dan lebih baik, sebab bangsa kita memiliki komitmen untuk “berketuhanan Yang Maha Esa”—merupakan kata lain dari “bertahid”— sehingga kita patutu menggunakan fasilitas “al-Ma`rifah” sebagai salah satu metode menyikapi dan mengelola pluralitas yang ada.

Menyahuti hal tersebut, saya ingin mendudukkan kata “lita’ārafū”— sebagai tawaran metode dan strategi mengelola dan memberdayakan pluralitas termasuk pluralitas agama dan keyakinan di Indonesia. Secara bahasa, kata ini diambil dari ” ‘arifa-ya’rifu-‘irfānan seterusnya mengambil bentuk kata benda “ma’rifatan” atau “al-ma’rifah”. Dalam tradisi Sufisme—istilah ‘al-Ma`rifah” ini biasanya disandarkan kepada pemikiran dan pencapaian sederetan penggiat sufi seperti Hasan al-Basri, Abu Hamid al-Ghazali, Dzun Nun al-Misri dan lainnya. Merupakan puncang pengenalan dan interaksi dengan Zat, sifat dan nama Allah Swt.

Dalam tradisi di Indonesia, kata “al-ma’rifah”— selalu disandarkan kepada tradisi sufisme atau spiritualisme yang boleh jadi terilhami dari tradisi sufisme di atas, tetapi telah mengalami akulturasi. Secara teoritis, istilah ini dapat dilihat sebagai padanan atas istilah lain seperti Hikmah, Ladunni, Kasyfi dan Hudhūri. Suatu capaian pengetahuan hingga ke alam hakikat atau alam esoterisme lewat jalan spiritual atau jalan sufistik. Di berbagai tradisi pada beberapa wlayah di Sumatera Utara misalnya, kata “al-Ma`rifah”—sering disebut dengan kata ‘makrifat’ —- yang dilebelkan kepada seseorang dengan pengetahuan yang luas serta mendalam. Di beberapa desa misalnya, terhadap persoalan-persoalan pelik yang dihadapi, kerap dikatakan ‘kita harus pakaia makrifat dalam mengatasi ini’ – yang hal itu berkonotasi ilmu hakikat yang mendalam bisa mengurai setiap persoalan hingga ke akar-akarnya.

Seseorang dalam martabat ini diyakini mampu menelusuri mata air pluralitas alam ini hingga ke alam esoterisme, sehingga setiap keragaman yang ada di bumi dapat direlasikan dengan. Jika realitas pluralitas ini merupakan pengejawantahan secara gradual dari Allah Swt yang Esa, seterusnya lewat sifat al-Rahmān dan al-Rahīm lalu menjelma menjadi serba beragam. Mesti dapat dipastikan bahwa realitas yang beragam tersebut akan secara konsisten terbangun dalam rangka aktualisasi al-Rahmān dan al-Rahīm dalam setiap tingkatan degrdasi hingga ke bumi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam konteks Indonesia, maka tidak mungkin ada satu ajaran agama yang tidak dalam rangka aktualisasi kasih sayang dan kemurahan Allah Swt di bumi Indonesia. Konsisten terhadap hal ini, tidak mungkin ada pertentangan antar ajaran agama yang di Indonesia, karenanya harus dapat didudukkan bahwa semua ajaran agama yang ada mestilah saling menguatkan dan saling melengkapi dalam rangka aktualisasi al-Rahmān dan al-Rahīm di bumi Indonesia ini.

Untuk membangun kesadaran dan keyakinan ini, maka semua pemeluk agama dituntut mampu menyelami hingga kepada dimensi esoterisme agama yang padanya semua agama masih tersimpul dalam al-Rahmān dan al-Rahīm. Pemeluk agama juga penting untuk memahami dan meyakini bagaimana al-Rahmān dan al-Rahīm kemudian mengejawantah dalam nilai, simbol, ajaran, ritual yang didapatinya dalam agamanya. Tidak hanya itu, setiap pemeluk agama harus meyakini bahwa nilai, simbol, ajaran dan ritual agamanya akan secara konsisten dalam rangka aktualisasi dan keberlanjutan kasih sayang dan kemurahan Allah di dalam kehidupan.

Dalam tingkat yang paling sederhana, setiap pemeluk agama harus meyakini bahwa penegakan ajaran setiap agama adalah dalam rangka menegakkan kasih sayang dan kemurahan Allah Swt sehingga siapa pun yang berkomitmen untuk itu harus dihormati, dihargai, didukung, dijunjung tinggi bahkan dicintai. Terbangunnya konsistensi setiap pemeluk agama untuk menegakkan ajaran agamanya, dapat berarti terbangunnya komitmen bersama dalam mengaktualisasi al-Rahmān dan al-Rahīm– sebagai energi dalam membangun dan memajukan Bangsa Indonesia. Karena itu, pluralitas agama harus disikapi dengan komitmen saling mendukung, saling menjunjung tinggi dan saling mencintai, bukan sekadar moderasi yang berkonotasi sebatas saling menghormati dan saling menghargai.

Penutup

Tahun 2020 hendaknya membawa harapan baru termasuk dalam konteks keberagamaan kita di Indonesia. Sudah saatnya moderasi mengalami peningkatan makna dan substansi dari sekadar saling menghormati dan saling menghargai antara pemeluk agama menuju saling mendukung, menjungjung tinggi dan saling mencintai agar pluralitas agama benar-benar dapat menjadi aktualisasi dari kasih sayang dan kemurahan Allah Swt untuk kemajuan dan kejayaan Indonesia tercinta.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru