JAKARTA- Sebanyak 150 kerangka prajurit Amerika Serikat yang gugur di Biak, Papua Barat terungkap. Meraka gugur dalam pertempuran sengit dalam Perang Dunia Kedua sekitar bulan Mei 1944, dibawah komando Jenderal Douglas Mc Arthur dalam merebut Biak yang dikuasai oleh tentara Jepang. Hal ini diungkap oleh Defences Prisoner of War (POW)/ Missing In Action MIA Accounting Agency (DPAA), sebuah lembaga pemerintah Amerika Serikat yang memang bertugas mencari tulang belulang prajurit Amerika korban perang.
Kerangka ratusan prajurit Amerika Serikat yang gugur dalam Perang Dunia II 1945 di gua-gua di Biak, Papua Barat diungkap oleh Evi Aryati Arbay, penyusun buku ‘Biak, Debris Of War’ (Biak, Puing-puing Perang Dunia Kedua-red).
“Penyebaran 150 prajurit yang hilang (Missing In Action-red) dijadi diantara Pulau Owi dan Pulau Wundi dan Pulau Biak sendiri. Karena itukan perang. Gak mungkin di satu titik saja,” jelasnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (21/2).
Selain kerangka prajurit Amerika, Evie juga mengungkap temuan kerangka ratusan prajurit Jepang yang juga menjadi gugur dalam Perang Dunia II ditahun 1945.
“Sementara disisi Jepang kerangka prajurit kebanyakan tersebar di Pulau Biak. Di dalam goa-goa di Pulau Biak,” jelasnya.

Pihak Amerika Serikat sendiri menurut Evi sedang mempersiapkan berbagai agenda kegiatan untuk peringatan 70 tahun Hubungan Indonesia-Amerika. Ia berharap ada peringatan khusus untuk Biak, karena pertempurandi Biak merupakan pertempuran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan Amerika Serikat dan sekutunya menaklukan Jepang di Perang Pasific.
“Kalau tidak menang di Biak, bisa jadi Mac Arthur tidak menang perang!” katanya
Di Indonesia sendiri kerjasama repratriasi sudah terjadi beberapa kali namun dihentikan tahun 2008. Dirinya berharap dalam peringatan 75 tahun pertempuran Di Biak dalam Perang Dunia II itu, repatriasi dapat dibuka kembali.
“Mereka kan punya keluarga yang kehilangan sampai hari ini. Kita justru harus membantu memulangkan kerangka prajurit yang gugur itu,” tegasnya.
Monumen Perang
Dalam Pengantar buku ini disebutkan,– Perang di masa lalu memang patut untuk dikenang tapi tak perlu terulang. Para penziarah mulai banyak berdatangan ke Biak pada awal 1980-an. Karena itu pula, di sekitar Goa Binsari juga disediakan tempat persembahyangan untuk penziarah dan juga tempat peristirahatan untuk penziarah.
Tidak hanya itu, penziarah juga membangun monument untuk mengenang pertempuran tantara Jepang di Biak. Monumen yang berlokasi di goa pinggir pantai di Desa Paray dekat Mokmer sejatinya adalah tempat pendaratan perdana tantara Sekutu di Biak pada 20 Agustus, 71 tahun silam.
Monumen beton bertulis “Monumen Perang Dunia ke-II” diikuti dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang, berlantai balok-balok granit yang tersusun seperti papan catur, satu cungkup menyerupai keong yang menaungi meja berbentuk telapak kaki.
Di lokasi yang sama juga ada ruangan berpintu untuk penyimpanan perangkat sembahyang, benda peninggalan, foto-foto memorabilia, dan kotak-kotak seng untuk menyimpan temuan tulang belulang.
Monumen Perang Dunia II itu dibangun atas prakarsa kesepakatan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang pada 24 Maret 1996. Pada tiga prasasti yang ada di monumen itu bertuliskan dalam tiga bahasa: Jepang, Inggris, dan Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia, tertera jelas di prasasti : ‘MONUMEN PERANG DUNIA KE II. MONUMEN UNTUK MENGINGATKAN UMAT MANUSIA TENTANG KEKEJAMAN PERANG DENGAN SEGALA AKIBATNYA AGAR TIDAK TERULANG LAGI’.
Di dalam ruang di sekitar area monumen, tersimpan sebagian kecil tulang belulang yang diduga tulang belulang bala tantara Jepang. Keberadaan tulang belulang inilah yang konon menjadi magnit utama datangnya turis pejiarah ke tanah Biak.
Sebenarnya, Pemerintah Jepang hingga saat ini masih mengupayakan memulangkan tulang-tulang tersebut dan terakhir repatriasi dilakukan pada sejak tiga dekade silam namun terhenti.
Monumen yang diresmikan pada 1994 sebagai bentuk kerja sama Indonesia-Jepang ini adalah tempat wajib, selain Goa Binsari, bagi orang Negeri Sakura yang berkunjung ke Biak.
Kostan Koibur, anak keluarga Koibur yang menempati tanah itu sebelum monumen berdiri adalah penjaga yang sigap melayani pengunjung dengan cerita seputar perang dan peninggalannya.
Namun, birunya lautan dan megahnya monumen tak bakal mampu membendung imaji kengerian perang kala itu. Perang di Biak tak hanya melenyapkan ribuan nyawa serdadu. Namun juga membawa korban jiwa bagi penduduk setempat yang tak sedikit jumlahnya.
Pulau Cantik
Biak sejatinya tak sekadar kenangan perang. Biak adalah pulau yang cantik. Di tepiannya, terhampar pantai landai yang bersahabat bagi pecinta wisata. Namun untuk mengembangkan Biak, perlu tekad yang kuat. Apalagi untuk mengembangkan Biak bukanlah hal sulit. Infrastrutur jalan di sini relatif memadai. Dari titik wisata satu ke titik wisata lainnya mudah dijangkau dan tak butuh waktu lama.
Eli Baransano berkisah, dia adalah keluarga pertama yang tinggal di sekitar Nippon Byarek sejak 1977. Pria paruh baya ini berkisah tentang hotel berbintang yang sempat berdiri di pantai itu pada 1994 dan mulai sepi sejak 1998 seiring berhentinya penerbangan internasional melalui Bandara Frans Kaisiepo.
Maskapai Belanda KLM sempat menerbangi Biak dengan rute Biak-Tokyo-Amsterdam. Diikuti Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles. Pada masa awal hotel dibuka, banyak turis asing datang. Kebanyakan wisatawan Jepang.
Evi Aryati berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo akan mempermudah aksi kemanusiaan yang sedang dirintisnya lewat buku ‘Biak, Debris Of War’ ini.
“Saya teringat pesan pak Freddy Numberi, Biak is the island of Reconciliation. Saya bangga ada anak muda yang perduli dan mau mengangkat Papua,” ujarnya mengutip Freddy Numberi. (Web Warouw)