Rabu, 10 September 2025

Biak, Debris Of War: Melawat Keganasan Perang Dunia II

Evi Aryati Arbay, penyusun buku ‘Biak, Debris Of War’ di depan sebuah goa di Biak. (Ist)

JAKARTA- Jatuhnya pangkalan militer Jepang di Biak, Papua Barat ke tangan Sekutu 1944 dibawah komando Jenderal Douglas McArthur dalam Perang Dunia Kedua menjadi awal runtuhnya kekuasaan Jepang di Pasifik Selatan. Hal ini diungkap kepada Bergelora.com oleh Evi Aryati Arbay, Rabu (20/2) tentang bukunya yang berjudul ‘Biak, Debris Of War’ (Biak, Puing-puing Perang Dunia Kedua-red).

Buku setelah 230 halaman yang sarat dengan foto dokumentasi temuan kerangka pasukan Amerika Serikat dan Jepang ini menurutnya khusus untuk memperingati dan menghormati siapapun yang gugur di Biak dalam Perang Dunia Kedua.

“Ratusan kerangka manusia di goa-goa di Pulau Biak itu patut mendapatkan penghormatan dan tempat yang lebih layak. Mereka juga punya sanak keluarga yang sampai sekarang masih mencarinya,” ungkap Evi Aryati.

Dalam pengantar buku tersebut disebutkan, sebuah gua besar menjadi bisu sejarah di Desa Sumberker, Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Biak adalah salah satu pangkalan tantara Jepang terpenting di Pasifik Selatan. Untuk membangun pertahanan, tantara Dai Nippon memanfaatkan puluhan goa yang tersebar dan saling berhubungan di Biak.

Buku ‘Biak, Debris Of War. (Ist)

Goa Binsari

Di goa yang kemudian dinamakan Goa Binsari itu, komandan serdadu Jepang, Letnan Kolonel Naoyuki Kuzume bersama ribuan prajuritnya bertahan dari gempuran tantara Sekutu dari udara. Dahsyatnya serangan udara itu terlihat dari dua lubang besar berdiameter sekitar 10 meter dengan kedalaman kurang lebih 20 meter.

Goa Binsari sendiri sangat panjang, diyakini tembus ke goa lainnya yang dikenal sebagai Goa Lima Kamar yang langsung menghadap ke laut Pasifik. Diperkirakan Goa Binsari memiliki kedalaman hingga 45 meter dan panjang 180 meter.

Menurut cerita warga setempat, pintu masuk gua tidak selebar sekarang. Ketika itu tentara Sekutu kesulitan menemukan “markas” tantara Jepang ini. Untuk menemukan pintu gua, tantara Sekutu membujuk warga setempat untuk menemukan goa. Begitu ketemu, goa langsung dibombardir habis-habisan. Ratusan drum bahan bakar dijatuhkan untuk membongkar dan membunuh seisi goa. Sejarah mencatat, Goa Binsari baru bisa ditembus pada 7 Juni 1944. Beberapa artefak seperti drum-drum bekas yang hangus terbakar ditemukan di dalam goa.

Penggalian Goa Binsari mulai dilakukan pada akhir 1980-an. Saat penggalian, selain tulang belulang, ditemukan juga amunisi, senjata laras panjang, granat, topi, baju tentara, hingga botol-botol minuman. Kini sebagian sisa perang dan tulang belulang dipajang di dua pondok kecil yang terletak halaman depan situs goa. Sebagian kecil lainnya disimpan di kotak besi berukuran 1,5 meter yang diletakkan di Monumen Peringatan Perang Dunia II. Sebagian lainnya telah dipulangkan ke Jepang.

Digempur Sekutu

Menurut kisah orang tua zaman dahulu, seperti diceritakan kembali oleh Alberth Wakum, 54 tahun, Sekutu menyerang pasukan Dai Nippon dengan menumpahkan bahan bakar ke daratan lalu membakarnya dengan tembakan mortir.

Alberth menambahkan, ketika itu Sekutu menggempur Jepang melalui pantai di Bosnik (dulu Bosnek) dan bergerak menuju ke Utara. Apa yang diceritakan Alberth tentang pendaratan di Bosnik sesuai dengan tulisan David Alan Johnson, profesor di UCLA dan University of Missouri. Dari data Johnson, 12.000 pasukan Jenderal Douglas MacArthur yang terdiri dari Divisi ke-41, Resimen 162—termasuk artileri dan 12 tank Sherman—berhasil mendarat di Bosnik pada 27 Mei 1944.

William F. McCartney dalam buku “The Jungleers: A History of the 41st Infantry Division” menceritakan, pertempuran di Biak adalah pertama kalinya dalam invasi Jepang di kawasan Papua menggunakan tank. Namun enam tank Jepang itu berhasil dihancurkan Infantri 163 Sekutu beberapa hari setelah pendaratan mereka.

Selanjutnya, secara bertahap, operasi “Hurricane Task Force” di bawah komando Jenderal Fuller dengan Divisi ke 41 pasukan utama Sekutu merangsek menuju Mokmer. Namun tantara Sekutu juga mengakui, lebatnya hutan dan penguasaan Jepang atas topografi Biak membuat penaklukan pulau ini lebih sulit dari prediksi Sekutu sebelumnya.

Situasi tantara Sekutu semakin sulit, ketika pada 4 Juni 1944 pesawat mata-mata Amerika melaporkan melihat pergerakan pasukan Jepang dalam jumlah besar mendekati ke Biak. Tambahan pasukan untuk membendung serangan Sekutu itu adalah dua kapal perang induk, delapan kapal angkut, dan beberapa kapal perusak.

Besarnya jumlah pasukan yang bertempur di pulau itu menunjukkan betapa strategisnya Biak dalam PD II. Jenderal MacArthur yang memimpin pasukan Sekutu berambisi merebut pulau ini sebagai pijakan untuk menjangkau Filipina.

Di sisi lain, Jepang tak menyerah begitu saja. Menurut kesaksian veteran Divisi ke-41 Joel Kovitz untuk memoar Brigadir Jenderal A. Doe—yang menggantikan Jenderal Fuller di Biak, pertempuran di Biak adalah misi membunuh bila tak ingin terbunuh. Prinsip banzai dan harakiri (seppuku) tentara Jepang membuat serdadu Sekutu tak perlu mengurus tawanan. Brigjen A. Doe sendiri menyebut pasukannya adalah “Jagal Biak”, mengutip istilah yang digunakan Tokyo.

Dari kesaksian veteran yang ditulis David Alan Johnson, pembersihan goa-goa di Biak memang dramatis. Biasanya serdadu Sekutu menggunakan granat tangan, penyembur api (flamethrower), dan bom tas (satchel charges), tapi suatu kali di sebuah goa yang sulit ditaklukan digunakan lah TNT sebanyak 850 pounds (setara 385.6 kilogram, bayangkan bila sekilo TNT mampu memecah seluruh kaca jendela bila diledakkan di dalam gedung.)

Setelah TNT dijulurkan ke dalam goa dan kabel pemicu siap ditekan, seluruh pasukan diperintah mundur sejauh sekira 100 meter dari goa. Mereka berlindung di belakang tank Sherman, tiarap dengan perut rekat ke tanah. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru