Judul: BIAK Puing-puing Perperangan (Debris of War)
Penerbit: Earbay Signature Publishing
Penulis: Evi Aryati Arbay, Iwan Santosa, Taufan Wijaya
ISBN: 978-178926-961-1
Genre: Memoar/Sejarah
Details Buku: 236 Pages; 23,5 x 22 x 2.45cm; Full Color on Fedrigoni Coated Paper
Cover: Hardback, Clothbound, Foil Stamped on Cover and Spine, plus mini booklets on Kraft Paper. Emboss, Perfect Binding

LANTUNAN senandung lirih dalam bahasa Jepang terdengar jelas dalam Gua Bensari. Sekumpulan peziarah asal Jepang tengah menyanyikan kidung penghormatan atas arwah para pahlawan mereka. Demikian salah satu peristiwa yang terjadi di Biak, September 2017 lalu.
Tidak sedikit Penziarah Jepang yang datang ke pulau ini hadir di pulau nun timur Indonesia ini untuk mengirimkan doa pada ayah, kakak, adik, atau saudara mereka yang gugur di medan perang. Biak, menjadi saksi betapa perang antara Jepang dan Sekutu menelan korban yang tidak sedikit itu memilukan banyak hati. Tidak sedikit negara yang terlibat, Jepang, Amerika Serikat, dan bahkan Indonesia harus menanggung sisa peperangan itu.
Biak Puing-puing Peperangan (Debris oF War) merupakan buku sejarah perang yang memikat, menghadirkan peristiwa perang yang terjadi 75 tahun lalu dalam sebuah penelitian singkat tapi berhasil menghadirkan gambaran peristiwa Perang Pasifik di Biak secara menyeluruh dari penyebab dan protagonisnya, strategi, persenjataan hingga masa sesudah perang. Dilengkapi pula dengan dokumentasi sejarah melalui foto lawas, media propaganda, serta foto-foto puing-puing perang yang berkualitas.

Pertempuran Biak mengingatkan kita akan pengalaman perang tentara Jepang dan Amerika dalam perang yang terlupakan itu—meskipun hampir 500 orang Amerika terbunuh di Biak dan lebih dari 2.400 orang terluka, sementara 1.000 lainnya tidak mampu karena penyakit. Korban dari pihak Jepang sendiri memakan nyawa hingga 6.100 tewas, 450 ditangkap, dan terluka dengan jumlah yang tidak diketahui.
Dengan total kekuatan pasukan yang hampir seimbang, lebih dari 11.000 orang pasukan gabungan dari Divisi 41 dan Resimen 162 bertempur dengan gagah berani, bertarung nyawa sampai titik darah terakhirnya demi membela bangsanya. Begitu dasyat dan merupakan medan perang yang paling menyeramkan. Di tempat ini, pasukan Jepang yang tampil gagah berani dan maksimal hampir mendorong pasukan Amerika kembali ke laut.
“Perang yang sangat dahsyat! Di Biak inilah, pasukan Jepang yang bertahan dan melakukan perlawanan yang luar biasa itu cukup membuat pasukan Amerika Serikat kewalahan dan hampir kembali ke laut,” mendiang wartawan senior Sinar Harapan, Aristides Katoppo beberapa waktu lalu.

Pertempuran Biak berperan di dalam upaya pembebasan Filipina dan menjadi pertempuran yang paling menakutkan untuk setiap jiwa manusia yang berperang kala itu. Dasyatnya pertempuran itu masih bisa dirasakan dari keberadaan puing-puing perang dan tulang belulang yang masih bertebaran di sepanjang pulau, meninggalkan pekerjaan rumah yang berat bukan hanya kepada kedua negara yang berperang, melainkan pula Indonesia sebagai pemilik wilayah. Tercatat sampai tahun 2015, lebih dari 19.570 tulang belulang tentara telah di pulangkan ke Jepang menjadi aksi kemanusiaan terbesar yang pernah dilakukan Indonesia dari Bumi Cendrawasih Papua.
Buku ini, mengungkap jejak peperangan yang terjadi di Biak—lokasi pertemuran antara tentara Jepang dan Sekutu tujuh dekade silam. Di dalamnya terungkap pula kesaksian dari salah satu keluarga korban perang, Nobuteru Iwabuchi. Saksi kunci asalIwate, Jepang ini mengungkap dengan detail bagaimana perjuangannya menemukan kebenaran nasib sang ayah yang pergi berperang hingga mendorongnya membantu keluarga pejuang lainnya untuk dapat mengembalikan jasad-jasad korban perang tersebut kembali ke Jepang dan mendapatkan penghormatan yang layak dari Negara.
Serangkaian foto yang hadir dalam buku ini, tidak saja mengajak Anda bersimpati dan empati dengan kondisi Biak, sebagai lokasi bekas perang, tetapi juga mengajak kita untuk melakukan hal lebih,demi kemajuan Biak, baik dari segi pariwisata maupun sosial-ekonomi. Mengingat tempat yang begitu indah—pantai biru, pasir putih, dan pecahan ombak yang luar biasa—ini sayang untuk disia-siakan. BIAK, bila ingat akan kembali.
“BIAK adalah situs warisan sejarah Perang Dunia II yang meninggalkan rasa duka yang mendalam, terutama bagi keluarga veteran, baik Amerika maupun Jepang. Ini adalah pelajaran bagi generasi berikutnya bahwa perang hanya akan meninggalkan bekas luka. untuk pihak-pihak yang bertikai. Itulah sebabnya UNESCO membuat Konvensi 1972 tentang Perlindungan Warisan Alam dan Budaya Dunia, dengan misi menciptakan perdamaian bagi semua orang di dunia “Harry Waluyo – ICH-UNESCO Fasilitator
Penulis, Evi Aryati Arbay mengatakan, Indonesia Perlu banyak membuat Buku-buku seperti ini, Karena sejarah panjang Bangsa Indonesia tidak Hanya terjadi di Pulau Jawa saja.
“Kita masih perlu banyak menggalinya kembali karena tidak hanya untuk memperlajari sejarah masa lalu tapi juga untuk pijakan masa depan agar tak salah langkah, jangan sampai terjadi lagi Perang apapun bentuknya,” katanya.
Menurutnya, buku ini bisa menjadi MasterPiece yang dapat menjadi pemersatu Indonesia – Amerika – Jepang. Yang berperang di Biak bukan hanya Amerika melawan Jepang saja. Indonesia adalah korban. Tapi dari tangan generasi muda Indonesialah malah persoalan kemanusiaan ini diangkat. Indonesia mungkin terkenal sebagai bangsa pemaaf tapi, we will not FORGET,” tegasnya.
Buku ini juga membuktikan bahwa generasi muda Indonesia bisa membuat Buku Sejarah Bangsa yang berkelas, Premium Coffetable Book yang berkualitas yang dibiayai oleh Pemda Biak-Numfor.
“Kami ini orang luar Biak, Kami tidak memiliki tujuan apa-apa selain ingin sekali melihat Biak dan wilayah Papua lainnya maju dan berkembang bersama. Kami mencoba merangkul partisipasi dan kolaborasi dari smua pihak dan kami buktikan kita bisa,” tegasnya.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, buku ini dicetak dengan jumlah yang terbatas, untuk details pemesanan lebih lanjut bisa menghubungi penulis di: e.aryati.arbay@gmail.com.
“Karena Buku ini masih sangat terbatas di cetaknya, kami sangat berharap buku ini bisa dicetak lebih banyak lagi agar bisa banyak dibaca orang khususnya generasi muda di berbagai penjuru Indonesia dan juga Generasi Muda Jepang dan Amerika Serikat,” ujarnya. (Web Warouw)