Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto
Indonesia terdiri dari lebih kurang 333 suku bangsa, tersebar disekitar 17 .500 pulau, dan hidup dengan kultur budayanya masing-masing. Dapat dibayangkan betapa rentannya kesatuan bangsa ini bila mereka hanya mementingkan dirinya sendiri masing-masing. Namun sejak tahun 1928, para pemuda yang mendiami pulau-pulau itu merasa pentingnya sebuah solidaritas, yang kemudian mereka wujudkan dalam Sumpah yang terkenal dengan Sumpah Pemuda. Dengan semangat itu kemudian lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Itulah sebabnya untuk menjaga keutuhan bangsa, maka rasa solidaritas para penghuni negara ini harus terus dipelihara. Rasa solidaritas atau rasa senasib sepenanggungan hanya bisa tercapai apabila secara rutin anak bangsa yang berada di pulau-pulau itu dapat berinteraksi satu sama lainnya melalui berbagai kegiatan apakah itu di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dll. Pertemuan ini hanya bisa terlaksana apabila pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dapat “dihubungkan” satu dan lainnya agar para penghuni pulau itu dapat secara bebas berinteraksi satu dengan lainnya.
Makna Maritim
Pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut hanya bisa dihubungkan dengan membangun “jembatan berjalan” yaitu Kapal yang berlayar secara rutin membawa orang dan barang menyinggahi pulau-pulau. Kegiatan inilah yang dimaksud dengan maritim. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata maritim berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut; jadi, secara umum kata Maritim mengindikasikan tentang penggunaan dari laut berupa pelayaran dan perdagangan untuk kepentingan ekonomi, dan diatur oleh Hukum Maritim (Maritime Law) yang menurut kamus hukum “Black’s Law Dictionary”, adalah hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana/moda transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum perdata/dagang maupun yang diatur dalam hukum publik .
Dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Sedangkan Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan atau memindahkan penumpang dan atau barang dengan menggunakan kapal. Dengan demikian, kata Maritim baik secara nasional maupun secara internasional digunakan untuk menyatakan hal-hal yang menyangkut pelayaran atau angkutan barang dan orang melalui laut untuk kepentingan ekonomi.
Poros Maritim Dunia
Kata Poros, menurut KBBI, kata po·rosn1 sumbu (gandar) roda dan sebagainya. Jadi kata poros mengindikasikan berada ditengah-tengah dan merupakan pusat dari pergerakan. Jadi, Poros Maritim Dunia berarti berada di tengah-tengah kegiatan pengangkutan barang dan orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana/moda transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan dunia melalui laut.
Dahulu kala, Indonesia sudah menjadi Poros Maritim Dunia, dimana saat itu Indonesia merupakan bagian dari jalur pelayaran perdagangan sutera, jalur pelayaran perdagangan para saudagar Arab, jalur pelayaran perdagangan Sriwijaya serta jalur pelayaran perdagangan rempah-rempah.
Pelaut yang berlayar mengarungi samudera adalah Jati diri bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya 10 relief kapal yang ada di candi Borobudur. Disamping itu, dalam syair lagu anak-anakpun tersirat jelas bahwa bangsa Indonesia sejak dulu merupakan bangsa pelaut. Syairnya berbunyi demikian : “..Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarungi luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.”. . Sangat jelas bahwa lagu ini bercerita tentang seorang pelaut diatas kapal yang mengarungi samudra, menuju pelabuhan tujuan.
Pelabuhan demi pelabuhan disinggahi untuk menurunkan barang dagangan, sehingga terjadi hubungan satu sama lainnya antar pelabuhan. Tidak ada diskriminasi diantara pelabuhan itu, apakah pelabuhan di negeri sendiri atau pelabuhan di negara asing. Semuanya disinggahi dengan teratur, sehingga terjadilah hubungan antar pelabuhan, hubungan antar pulau, baik itu pulau-pulau di negara sendiri maupun pulau-pulau di negara asing.
Jadi sangat terlihat bahwa pembangunan block Masela apakah itu didarat atau dilaut tidak ada hubungan sama sekali dengan pembangunan Poros Maritim Dunia. Dengan demikian Pengolahan Masela didarat tidak khianati Visi Poros Maritim Dunia
* Penulis adalah Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) 2011-2013