Minggu, 14 Desember 2025

PELARANGAN BIKIN ANAK MAKIN CERDAS..! Australia Kecolongan, Remaja Berhasil Akali Larangan Penggunaan Medsos

JAKARTA- Hanya sehari setelah Australia menerapkan larangan media sosial bagi pengguna di bawah 16 tahun, remaja justru ramai memamerkan cara mereka mengakali sistem verifikasi usia agar tetap online.

Kebijakan yang mulai berlaku pada 10 Desember 2025 itu mewajibkan platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, YouTube, dan Snapchat memblokir akses bagi anak di bawah usia 16 tahun.

Namun pada 11 Desember, lini masa media sosial di Australia tetap dipenuhi unggahan dari pengguna yang mengaku masih berusia di bawah batas tersebut.

Bahkan, beberapa remaja terang-terangan membagikan trik untuk melewati pemeriksaan usia yang seharusnya mencegah mereka mengakses media sosial.

Remaja Bagikan Trik Mengakali Verifikasi Usia

Kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (11/12) dilaporkan, salah satu pengguna TikTok menunjukkan bagaimana ia mengubah bentuk wajahnya—dengan “mengisap pipi”—saat melakukan pemindaian wajah agar terlihat lebih dewasa.

Kolom komentarnya penuh dengan tips lain untuk melewati larangan.

Ada juga remaja yang menggunakan wajah orang tuanya untuk lolos verifikasi.

Dalam sebuah video TikTok, seorang gadis Australia terekam memindai wajah ibunya agar bisa tetap masuk ke platform.

Cara lain yang populer adalah menggunakan Virtual Private Network (VPN) untuk mengganti lokasi internet ke negara lain, seperti Singapura.

Lonjakan Penggunaan VPN

Ilustrasi anak-anak bermain gadget. (Ist)

Google Trends menunjukkan pencarian VPN di Australia melonjak ke level tertinggi dalam 10 tahun terakhir pada minggu sebelum aturan berlaku.

Windscribe bahkan melaporkan peningkatan pemasangan hingga 400 persen dalam 24 jam setelah larangan diaktifkan. Platform VPN gratis lainnya, hide.me, mencatat lonjakan kunjungan 65 persen dari Australia.

Selain itu, beberapa aplikasi yang tidak termasuk dalam daftar larangan tiba-tiba naik daun. Aplikasi Yope mengaku mengalami “pertumbuhan sangat cepat” hingga sekitar 100.000 pengguna di Australia, sementara Lemon8 menetapkan batas usia minimum 16 tahun untuk menyesuaikan diri.

Respons Pemerintah 

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengecam remaja yang memamerkan keberhasilan mereka bertahan di media sosial meski sudah dilarang. Ia menegaskan, proses penerapan kebijakan memang tidak akan mulus, namun tetap diyakini bermanfaat.

“Ini adalah hukum, ini bukan sesuatu yang bisa dilanggar,” kata Albanese dalam wawancara dengan Sky News.

Ia menambahkan, “Beberapa anak muda yang belum diblokir dari media sosial mengirimkan pemberitahuan untuk membanggakannya (melewati tahap verifikasi usia). Namun, kami bisa memberi tahu platform siapa mereka, dan mereka akan diblokir.”

Sebelumnya, unggahan di akun TikTok milik Perdana Menteri dipenuhi komentar dari pengguna yang mengaku masih di bawah 16 tahun, termasuk seseorang yang menulis, “Aku masih di sini, tunggu sampai aku bisa memilih.”

Pemerintah mengatakan, perlu waktu bagi platform media sosial untuk menyempurnakan proses pemblokiran akun di bawah umur.

Meski demikian, peraturan ini tidak menghukum anak-anak atau orang tua yang mengakali aturan. Yang menjadi sasaran adalah perusahaan media sosial yang wajib mencegah akses pengguna di bawah umur.

Sepuluh platform besar—termasuk TikTok, Instagram, YouTube, Snapchat, X, Twitch, Reddit, dan Kick—bisa dikenai denda hingga 50 juta dollar Australia (sekitar Rp 553 miliar) jika melanggar.

Reaksi Global

Kebijakan ini menarik perhatian internasional. Sejumlah negara seperti Perancis, Denmark, dan Malaysia dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah serupa, sementara senator Amerika Serilkat dari Partai Republik, Josh Hawley, secara terbuka mendukung kebijakan tersebut.

Namun, sejumlah pihak mengkritik pendekatan ini. UNICEF memperingatkan bahwa larangan usia dapat mendorong anak-anak berpindah ke area internet yang lebih tidak teratur.

“Undang-undang yang memperkenalkan batasan usia bukan pengganti perusahaan dalam memperbaiki desain platform dan moderasi konten,” kata UNICEF dalam pernyataannya.

Meta juga mengulang penolakannya terhadap kebijakan tersebut, dengan menyebut sejumlah pakar dan kelompok orang tua justru khawatir larangan itu “mendorong remaja ke bagian internet yang kurang teratur” dan bahwa terdapat “minat yang sangat kecil untuk mematuhi.” (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru