JAKARTA – Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menyayangkan sikap pemerintah atas lambatnya penyelesaian kasus gagal ginjal pada anak akibat obat sirup beracun yang telah berjalan satu tahun. Padahal, para korban yang rata-rata masih anak-anak harus kehilangan masa kecilnya karena sibuk menjalani pengobatan.
“Ada ratusan anak Indonesia yang menjadi korban obat beracun yang belum kunjung selesai hingga hari ini,” kata Tony di Jakarta, Senin (27/11).
Di sisi lain, Tony menyoroti sikap pemerintah yang saat ini sangat proaktif membantu negara lain yang masyarakatnya menjadi korban perang. Tapi sebaliknya, sikap pemerintah yang kurang memberikan perhatian yang sama kepada warga negaranya yang menjadi korban obat sirup beracun.
Pun, kasus obat sirup beracun sendiri merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap obat dan makanan yang beradar di masyarakat. Tidak tanggung, seorang korban anak bernama Raina (1 tahun) kini harus kehilangan penglihatannya karena efek mengkonsumsi obat sirup beracun.
“Hancur masa depan anak-anak ini, bahkan ada anak yang kehilangan pengeliatan dan tidak bisa mengenali wajah orang tuanya lagi kedepan. Bagaimana dengan masa depan anak ini? siapa yang bertanggungjawab atas semua bentuk kelalaian ini?” Kata Tony.
Menurut Tony, Kementerian Kesehatan dan BPOM menjadi pihak yang harus bertanggung jawab. Sebagai lembaga pengawasan distribusi dan keamanan atas peredaran obat, keduanya gagal melindungi warga negaranya yang mengkonsumsi obat paracetamol dan mengakibatkan ratusan anak terkena gagal ginjal.
“Semua tindakan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian karena kesalahannya harus mengantikan kerugian tersebut. Dan negara harus menjamin masa depan anak-anak yang cacat yang menjadi korban obat beracun sampai mereka dewasa nanti,” ujarnya.
Sri Rubiyanti, orang tua Raina—korban anak akibat sirup beracun—mengatakan dokter mendiagnosis mengalami kebutaan pada mata Raina. Bahkan, dari hasil pemeriksaan, dinyatakan bahwa mata raina tidak bisa dipastikan apakah bisa kembali ke sedia kala.
Di sisi lain, pertumbuhan Raina juga terkendala. Hingga saat ini, pertumbuhan badan Raina tidak normal, belum bisa berbicara, duduk, dan harus menjalani fisioterapi sebanyak dua kali dalam satu minggu.
Atas kejadian ini, Sri menyatakan bahwa biaya pengobatan Raina sangatlah mahal bagi ia yang saat ini sudah tidak lagi bekerja. Ayah Raina yang hanya mendapatkan gaji UMR dirasa tidak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga dan pengobatan.
Mahalnya biaya pengobatan tersebut tidak lain karena banyak jenis dan obat-obatan yang tidak tercover BPJS Kesehatan. Seperti untuk biaya membeli vitamin mata, vitamin tulang, vitamin otak, dan susu ginjal. Harganya sangatlah mahal tentu saja.
Saat ini untuk membantu perkembangan Raina, Dokter menyarankan Sri membelikan Sepatu Koreksi Ortopedi untuk merangsang syaraf-syaraf Raina. Namun harganya yang sangat mahal tentunya membuat Sri sampai saat ini tidak mampu membelinya.
Kuasa Hukum KPCDI dan Raina, Rusdianto Matulatuwa berujar saat ini pihaknya masih terus melakukan upaya hukum kepada pemerintah untuk memberikan bantuan secara ekonomi kepada para korban. Pada pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan bahwa kasus ini merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun, Rusdianto merasa tidak sependapat atas putusan ini karena kasus ini murni perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah melalui Kemenkes dan BPOM. Di sisi lain, majelis hakim PN Kediri, Jawa Timur sudah menjatuhkan vonis penjara selama dua tahun dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada empat terdakwa kasus obat batuk sirup beracun.
Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma, Manajer Pengawasan PT Afi Farma, Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, dan Manajer Produksi PT Afi Farma. Hal ini mengindikasikan telah adanya tindak pidana di mana terdapat pelaku yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Rusdianto beraharap pemerintah menyadari perbuatannya dan tergerak untuk membantu para korban karena kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah. Bantuan sebesar Rp5 juta per bulan sesuai dengan tuntutan dirasa bijak untuk membantu kondisi penyembuhan korban. (Enrico N. Abdielli)