Senin, 10 Februari 2025

Budi Pekerti, Pilpres Dan Majelis Rembang

Oleh: Victor Rembeth*

MENIKMATI Peran bu guru Prani Siswoyo, yang dimainkan oleh Ine Febriyanti dalam film berjudul BUDI PEKERTI menyatukan kita dalam situasi kebatinan kebanyakan anak anak bangsa saat ini. Apalagi tontonan film yang renyah itu direlasikan dengan pertemuan Majelis Permusyawaratan Rembang. Kisah anak anak manusia dalam film BUDI PEKERTI itu seakan hadir dalam diri para tokoh yang sedang curhat kepada guru bangsa Gus Mus di Rembang, apalagi kalau bukan perkembangan tidak sehat proses Pilpres kali ini.

Kisah BUDI PEKERTI bisa terjadi kepada siapa saja ketika keadilan diterabas, kekuasaan dirayakan dengan joroknya dan kebenaran dikonstruksikan oleh mereka yang memiliki sumber daya besar. Konflik yang menjadi skenario dalam film ini diramu dengan baik sejak awal sampai akhir dengan berbagai ketegangan yang membuat penonton up and down dalam permainan perasaan marah, simpati, tersenyum, sedih dan penuh pertanyaan. Bagaikan cerita kehidupan nyata dalam arena publik dan kekuasaan, film ini menunjukkan relasi hampir sempurna dengan konteks kekinian.

Bermula dari perasaan keadilan yang terusik ketika antri membeli kue putu yang laris, dimana ada seorang yang melakukan penyerobotan atau nyelak membuat nurani ibu Prani tersentak. Sang pria penyerobot yang kelihatannya terhormat dan dengan baju biker mahalnya bukannya meminta maaf malah berbohong bahwa ia telah menitipkan kepada saudaranya. Kebohongan itu ditambah dengan ancaman untuk mempertahankan harga dirinya dan tega menghardik bu Prani, Perempuan yang seharusnya dihargai.

Nurani yang terkoyak karena kelakuan tidak adil ketika seorang ibu menyuarakan makna kesantunan sosial di ruang publik itu bukannya menghasilkan ending yang baik. Sebaliknya ketegangan di Pasar untuk mengantri kue putu itu malah diviralkan dengan kemasan jahat pembelaan terhadap yang berkuasa yaitu laki laki yang melakukan penyerobotan itu dan menyalahkan ibu Prani sang “pejuang” keadilan untuk memperbaiki perilaku sewenang wenang seorang yang merasa berkuasa. Sudah tentu dalam dunia kekinian Post Truth, ramuan dan bumbu bisa dikemas untuk “meracuni” netizen untuk bisa berpihak kepada sang “pembuat kebenaran”

Sontak unggahan online perselisihan ini menjadi viral, netizen dengan cepat memberikan komentar negatif, mengecam perilaku Bu Prani dan menghakimi bahwa yang ia lakukan tidak sesuai dengan standar seorang guru yang baik. Dampak berkelanjutan adalah sekolah tempat Bu Prani mengajar mengancam akan mengeluarkannya, mengancam karirnya sebagai seorang pendidik. Bukan hanya kehilangan pekerjaan namun keluarganya juga terpapar ketidakadilan dan tekanan dari publik. Kedua anak bu Prani selalu menjadi incaran kesalahan dan kecaman, yang sangat mengguncang kehidupan mereka.

Sebagaimana layaknya kehidupan, maka _plot_ cerita film ini memberikan harapan ketika ada dukungan untuk perundungan terhadap bu Prani dan keluarga. Kendati sang laki laki penyerobot mengancam memakai proses hukum, yang ironisnya kerap tak berkeadilan, bu Prani dan keluarga didukung sepenuhnya oleh alumni, mantan siswa-siswi yang tahu kebaikan dan karya guru mereka yang hebat. Namun itupun tak berlangsung lama, karena serangan video video baru dan ancaman langsung terus diarahkan. Serangan yang lazim disebut udara dan darat ini gencar menghantam keluarga bu Prani yang benar benar hampir sampai kepada titik putus asa dan menyerah kalah.

Ya, pada titik bu Prani hampir menyerah, dan mengaku salah terpaksa dan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dibuatnya secara online, ada sebuah kekuatan besar yang pada waktunya dapat membuat ia tidak harus menggadaikan rasa keadilan dan kebenarannya kepada ancaman dan serangan. Ia bertahan, putrinya Tita berkata, “Kalau kamu dituduh yang salah, masa kamu diam saja?” , dan bu Prani serta anak laki lakinya Muklas pada adegan lain mengatakan, “Di dalam dunia yang berisik, kita hanya perlu mendengarkan suara hati sendiri.” Wuiiihhh ada kekuatan luar biasa ketika seluruh dunia sedang merayakan kemenangan kekuasaan tak berkeadilan melalui kekuatan sumberdaya tanpa batas dan hoax jahat kanan kiri, maka ada spiritualitas yang tidak menyerah pada ketidak adilan dan ancaman.

Film ini bisa terjadi kepada siapa saja, namun tentunya sudah dan sedang terjadi kepada para pencari keadilan sejati. Kalau penonton mengharapkan akan ada happy ending dari kisah bu Prani, maka harapan itu akan pupus. Ia dan keluarga tetap menjadi korban, kalaupun kisah bu guru pengajar dan pelaksana nyata “budi pekerti” yang sesungguhnya ini menjadi legenda dan diteruskan oleh para murid yang mengantarkan kepergiannya mengundurkan diri dari organisai sekolah yang hanya mencari keuntungan dan menjaga nama baik, walaupun harus mengorbankan hilangnya nilai nilai kebaikan. Siswa siswi itu mengalami kebaikan yang nyata, sekolah mengharapkan keuntungan belaka dari nama baik.

Bu Prani menjadi pekalah, namun bukan pecundang apalagi pesakitan. Ia dan keluarganya menunjukkan apa makna bertahan dalam nilai keadilan Pro Justitia yang sudah semakin dilecehkan oleh negeri ini dalam semua lini trias politika, legislatif, eksekutif bahkan benteng keadilan Yudikatif. Etika Keadilan hanya bergaung dalam kelas kelas perkuliahan fakultas hukum namun diteladankan oleh para pemuja kekuasaan dengan secara odious atau Najis yang menghasilkan penerus praktisi hukum yang bobrok dan melupakan makna keadilan yang hakiki. Ibu Guru satu ini berusaha mengajar secara kognitif, memberi rasa makna keadilan dan melakukan praktik keadilan, tapi ironisnya menjadi korban ketidak adilan.

Suasana kebatinan bangsa ini tengah dalam gemuruh kegaduhan akan makna keadilan. Kuasa dan kekuasaan sudah menjadi tujuan bukan lagi Amanah, karena kerap ketidak adilan menjadi kasat mata dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, hukum dan kebenaran. Untuk itulah dengan menangis bersama dengan ribuan bu Prani dan keluarga yang lain, kita masuk dalam suasana prihatin, sambil berharap masih ada yang mau berkata “ya diatas yang ya dan tidak diatas yang tidak, karena selebihnnya dari itu berasal dari si jahat”..Hukum dan keadilan seharusnya tidak lagi mengorbankan nilai nilai budi pekerti anak anak bangsa,apakah itu dalam Pendidikan, kehidupan sosial dan demokrasi yang sedang kita harapkan terjadi dengan benar.

Kisah akhir film BUDI PEKERTI adalah ibu Prani dan keluarga harus meninggalkan ruang publik tempat dimana ia bertahan berjuang selama ini. Namun ia pergi dengan kepala tegak, karena keadilan tetap ia miliki, dan kebenaran tetap ia jaga, dan keluarganya memeluk dia untuk nilai nilai budi pekerti luhur tersebut. Harapan kita adalah agar para pemain politik dalam Pilpres kali ini bisa meneladani dan mempraktikkan ketulusan bu Prani Siswoyo dan keluarga, dalam menjaga nilai. Bertandinglah untuk kompetisi yang fair berkeadilan, dan sebaliknya tercelalah bagi siapapun yang menghalalkan segala cara untuk menang.

Jangan biarkan para pahlawan menangis dalam kekekalan mereka melihat kebobrokan dan kerakusan para penerus, dan biarlah para guru guru bangsa di Rembang bisa terus menjadi penghibur bagi bangsa yang sedang gundah gulana. Terima kasih Bu Prani, salam takzim Gus Mus dan semua tokoh bangsa di Rembang dan para pejuang keadilan yang bersedia kalah namun tetap tegar menegakkan keadilan dan kebenaran. Pro Veritas et Justitia

*Penulis Victor Rembet, pendeta Gereja Baptis Indonesia

Artikel Terkait

1 KOMENTAR

  1. Keputusan peradilan oleh lembaga pengadilan betapa pahitnya dirasakan atau dirasa telah jauh dari hati nurani tafsiran kita, harus kita terima dengan segala kepahitannya.
    Ingat, tugas kita cukup mengapuni tanpa bersungut-sungut karena kepercayaan kita pada Sang Pengadil Sejati menjadi kekuatan bahwa keadilan masih ada dan akan tetap ada.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru