Minggu, 14 September 2025

BUMDES Jangan Jadi Toko Ritel Pabrikan

Salah satu BUMDES di Klaten yang dipenuhi barang dagangan pabrikan, tidak ada hasil Prudesnya (Ist)

JAKARTA- Banyak media massa saat ini mulai gandrung menyoroti pengawasan dana desa. Tidak salah. Tapi jangan lupa juga menyoroti penggunaan yang belum maksimal dari dana desa, agar dapat secara berkala dan terus menerus mengevaluasi hambatan dari upaya memajukan masyarakat desa yang menjadi tugas-tugas mendesak di desa,–oleh pemerintahan.

Media massa tentu lebih tertarik pada pengawasan dana desa yang akan dipenuhi berita korupsi, penyelewengan atau  salah penggunaan dana desa. Karena tidak mau terlihat seakan menjadi corong pemerintah yang hanya mengekspos upaya dan keberhasilan pemerintah menggerakkan desa-desa tertinggal, terpencil dan perbatasan. Padahal saat ini pembaca banyak menunggu kabar baik dari desa untuk membuktikan ada kemajuan dalam 3 tahun terakhir pada kehidupan masyarakat desa. Kalau juga enggan menyoroti kemajuan, tidak kalah penting untuk menyoroti hambatan terhadap program-program prioritas pemajuan desa.

Salah satu program prioritas dari Kementerian Desa saat yang strategis adalah pengembangan Produk Unggulan Desa (PRUDES) dan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk memasarkan PRUDES dari setiap desa. Hingga saat ini belum juga ada pemetaan produk unggulan disetiap desa. Tidak ada juga media yang memantau sudah berapa banyak BUMDES terbentuk dengan basis PRUDES-nya.

Sebenarnya disadari atau tidak, masing-masing desa pasti memiliki potensi atau memilik PRUDES. Bahkan dibanyak desa sudah mengembangkan produk-produk unggulannya seperti hasil pertanian, perkebunan, perikanan atau pertambangan. Namun selama ini rakyat tidak pernah memiliki alat untuk menjualnya dengan harga yang menguntungkan, sehingga sangat ditentukan oleh tengkulak, pedang dan pasar.

Dana Desa yang dikucurkan oleh pemerintah pusat dapat menjadi modal awal BUMDES untuk membeli PRUDES dengan harga yang menguntungkan petani. Dengan kekuatan negara dan pemerintah, BUMDES dapat menjual langsung dengan harga yang lebih murah ke pasar-pasar induk di kota dan kemudian kelak di ekspor.

Tugas pendamping desa bukan sekedar mengawasi dan memastikan administrasi penggunaan keuangan dana desa, tetapi juga bertugas memastikan pasar bagi komoditi yang dikumpulkan oleh BUMDES. Untuk itu perlu ada desa-desa percontohan di setiap kecamatan agar bisa menjadi contoh penggerak seluruh desa di kecamatan. Desa-desa contoh ini juga menjadi tempat pembelajaran bagi desa-desa lainnya.

Potret Desa Indonesia

Walaupun bertanah subur, saat ini banyak produk-produk unggulan pertanian dan perkebunan yang tidak berkembang bahkan mati. Kebanyakan disebabkan biaya produksi yang tinggi, tapi hasilnya hanya dibeli murah. Belum lagi pasar yang dibanjiri oleh hasil pertanian dan perkebunan impor yang lebih murah dan menarik dibandingkan hasil dalam negeri. Sehingga petani menghentikan pertanian atau perkebunan yang sudah menjadi topangan hidup selama ini.

Di desa-desa banyak lahan kosong yang sudah tidak digarap oleh petani. Anak-anak muda memilih jadi buruh di kota besar atau menjadi TKI keluar negeri, sehingga desa menjadi benar-benar kosong tanpa produksi dan bergelimang kemiskinan. Sehingga petani menjual murah lahannya dan pertanian beralih fungsi menjadi pabrik, perumahan, industri perkebunan atau pertambangan.

Rakyat pada desa-desa yang mengalami hal diatas, harus mencari kembali apa yang bisa menjadi Produk Unggulan Desa (PRUDES) nya. Para Pendamping Desa harus bisa membantu rakyat desa untuk merumuskan PRUDES setempat yang dapat menggerakkan dan menguntungkan rakyat. Kalau lahan masih ada  untuk berproduksi, maka bisalah mobilisasi kerja rakyat  untuk menggarap kembali lahan yang terbengkalai.

Namun jika sudah tidak adalagi maka harus dicarikan jalan keluar produksi kreatif apa yang bisa menjadi PRUDES setempat. Beberapa desa mengerjakan produksi kerajinan sesuai sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian, hasilnya tetap tidak mencukupi dan kehidupan rakyat tidak ada peningkatan kesejahteraan. Tugas pendamping desa untuk mencarikan pasar yang lebih menguntungkan bagi produksi kerajinan rakyat desa. Tugas pemerintah untuk mencarikan pasar nasional atau bahkan internasional.

Intinya, setelah ada PRUDES, maka BUMDES harus didirikan untuk memasarkan PRUDES setempat. Sehingga petani dapat menjual hasil produksi dengan harga yang semakin menguntungkan ke BUMDES. BUMDES bertugas langsung menjual PRUDES ke pasar akhir di nasional atau inrernasional. Bahkan pada tahap selanjutnya, BUMDES bisa mendanai (mengijon) sesuai dengan permintaan pasar, sehingga memberikan keuntungan pada petani dan kekuatan pada BUMDES dihadapan tengkulak dan lintah darat.

Namun demikian, pelaksanaan tidak semudah tulisan di atas. Beberapa penyimpangan dari tujuan BUMDES itu sendiri bisa terjadi. Misalnya Di sebuah desa di Klaten, BUMDES justru mempercantik kantor desa dengan membangun lapak kuliner jualan makanan dan minuman kemasan. Bahkan ada mini market yang tidak menjual produk desa tapi menjual barang pabrikan. Sehingga, produk desa yang seharusnya bisa menjadi unggulan justru tidak tumbuh dan berkembang. Masyarakat desa jadi pasar bagi barang pabrikan.

Opurtunisme & Konsistensi

Akibat ketidak mengertian, maka opurtunisme seperti BUMDES di Klaten bisa berkembang dengan berbagai alasan. Yang jelas jika BUMDES sudah menjadi toko ritel, agen barang-barang pabrikan, maka sangat kecil kemungkinan nantinya akan kembali akan menyerap PRUDES setempat. Berbagai opurtunisme akan muncul menyusul dengan keberadaan BUMDES diatas. Justru rakyat desa akan menjadi sasaran pasar ritel yang dipelopori oleh BUMDES.

Di beberapa desa di Pati telah produksi tepung tapioka, namun hanya dijual di lokal karena tidak ada koneksi dengan daerah lain. Pendirian BUMDES di desa-desa tersebut sangat diperlukan untuk menampung tepung tapioka rakyat kemudian disalurkan ke Pasar yang lebih besar. Tepung tapioka termasuk bahan yang dibutuhkan oleh  industri makanan dalam maupun luar negeri. Sehingga jika BUMDES dapat mengelola penyalurannya, maka masyarakat desa tersebut akan memperoleh keuntungan yang berlipat secara berkelanjutan.

Banyak desa-desa seperti di Pati di atas yang belum pernah mengerti BUMDES sebagai jalan keluarnya. Desa-desa seperti ini lah yang harus segera menjadi prioritas untuk dimasuki pendamping desa. Agar dapat segera dipersiapkan pembangunan BUMDES yang akan segera menyerap PRUDES setempat.

Sawah-sawah di pinggir danau Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara kini telah menjadi lahan-lahan terlantar.  Tadinya petani menanam padi tapi 10 tahun terakhir ini, petani berhenti menanam karena biaya produksi sudah tidak bisa dipikul oleh petani lagi. Belum lagi bencana banjir yang belakangan sering terjadi akibat meluapnya Danau Tondano.

Belakangan developer mulai membeli tanah petani dengan harga murah, dan dipersiapmenjadi daerah properti dan pariwisata. Beberapa minimarket AlfaMart sudah merangsek sampai di tingkatan desa-desa seputar danau memasarkan produksi pabrikan ke masyarakat.

Padahal masyarakat punya beberapa produk unggulan seperti padi, ikan air tawar, dan sayur mayur yang bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun sepertinya belum tersentuh oleh pendamping desa, sehingga istilah BUMDES dan PRUDES asing ditelinga rakyat.

Di sebuah desa di Cirebon masyarakat desa memproduksi mainan anak-anak yang dikumpulkan oleh pengumpul mainan di kecamatan, kemudian di jual ke pedagang besar di Kabupaten Cirebon, setelah itu dijual ke pedangan di Pasar Gembrong Jakarta. Rantai yang cukup panjang tersebut yang menyebabkan, mainan dari desa itu kalah oleh mainan produk China yang membanjiri pasar Gembrong di Jakarta karena harga yang lebih murah. Akibatnya produksi desa itupun tersingkir hanya sampai ditingkatan lokal desa antar desa atau kecamatan saja.

Kalau saja BUMDES berdiri di desa tersebut, dan langsung menyalurkan produk mainan kreatif masyarakat langsung ke pasar Gembrong maka harga akan jauh lebih murah dan bisa bersaing dengan mainan impor.

Di beberapa desa di Jawa Barat dan Jawa Tengah terdapat mata air yang bersih dan berlimpah, namun justru dikuasai oleh bisnis perusahaan air minum kemasan yang saat ini sudah meraup untuk berlimpah.

Sebenarnya masyarakat desa bisa juga mengambil keuntungan dari mata air yang berlimpah di desa dengan mendirikan BUMDES. Dengan jaringan dan dukungan yang kuat dari pemerintah, maka setiap BUMDES di setiap desa bisa memasarkan air kemasan yang diproduksi oleh masyarakat secara  modern.

Selain memproduksi air minum, sumber air dapat juga dipakai untuk menghasilkan energi listrik yang memenuhi kebutuhan desa. BUMDES bisa mengadakan kincir air yang menghasilkan listrik untuk kebutuhan rumah tangga atau untuk kebutuhan usaha produksi prioritas di desa. Dari usaha pengadaan listrik tersebut, BUMDES bisa menarik iuran dari masyarakat setempat.

BUMDES juga bisa beroparasi untuk menampung hasil pertanian desa seperti padi, bawang, cabe, jagung, garam dan disalurkan langsung ke pasar-pasar induk di kota besar, tanpa melewati mediator. BUMDES bisa membeli dengan harga yang menguntungkan petani kemudian menjual dengan harga yang lebih murah dari semua barang impor di pasar, tapi tetap menguntungkan. Sehingga dengan BUMDES, harga jual hasil pertanian dapat terkendalikan dan kembali menguasai pasar dalam negeri. BUMDES sebagai perwakilan negara perlahan-lahan akan bisa membersihkan desa dari tengkulak dan lintah darat yang sering merongrong petani.

Beberapa produksi perkebunan rakyat yang dapat dijadikan andalan, kopi, kelapa, cengkeh, pala, lada dan lainnya dapat menjadi modal usaha BUMDES untuk dijual ke pasar dengan harga yang lebih murah tapi tetap menguntungkan BUMDES. Sementara BUMDES membeli hasil kebun tersebut dengan harga yang menguntungkan petani. Apalagi beberapa komoditi  perkebunan Indonesia menjadi andalan dunia. Pada tahap tertentu, tugas BUMDES dan pemerintah untuk mengembangkan kualitas, standar dan ekspor.

Semua permasalahan diatas lebih substansial dari soal pengawasan dana desa. Kalau garis visi, misi, target dan agenda program tidak konsisten dan tidak diawasi, maka opurtunisme mudah terjadi di tingkatan program. Sepertinya penyerapannya  dana desa tepat, dan BUMDES bisa mengejar target keuntung. Namun keuntungan hanya ditingkatan BUMDES, sementara masyarakat tetap miskin dan terseret dalam konsumerisme. Untuk memenuhi hasrat konsumeris, rakyat memilih bekerja jadi buruh apa saja, sampai menjadi alat dari pemilik modal besar menjajakan produknya. Seperti yang terjadi pada BUMDES di Klaten yang bisa jadi tidak ada penyimpangan keuangan bahkan menguntungkan. Tetapi secara prinsipil sudah menyimpang dari tujuan.

Selain tim pengawas dana desa, juga dibutuhkan sebuah tim yang memastikan berkembangnya PRUDES dan berdirinya BUMDES disetiap desa. Sehingga semua kebijakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo dapat terlaksana dan terukur oleh tim tersebut. Tim tersebutlah yang menggerakkan pendamping desa, relawan dan semua kekuatan yang bisa digerakkan untuk memastikan berkembangnya PRUDES dan berdirinya BUMDES di setiap desa. (Web Warouw dan Andreas Nur)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru