JAKARTA – Banyak produsen barang mulai memindahkan basis produksinya dari China. Menurut Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza, kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi daerah tujuan investasi baru dari rencana relokasi pabrik di China.
Faisol mengatakan salah satu contoh kongkrit yang dapat ditangkap oleh Indonesia adalah relokasi dari pembuatan panel surya di China ke Indonesia. Hal ini terjadi sejak Amerika Serikat menerapkan tarif importasi tinggi dari China.
“Banyak produk Tiongkok kehilangan daya saing di pasar ekspor. Ini mendorong panel surya China memindahkan lokasi produksinya ke Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Malaysia,” kata Faisol dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Menurut Faisol, Indonesia sangat berpotensi menjadi daerah tujuan investasi pabrik solar panel, meski nilai ekspor produk ini ke AS baru US$ 470 juta pada tahun 2024. Namun indikasinya pun sudah terlihat, banyak mitra kemitraan strategis yang sudah dilakukan dengan pihak Indonesia seperti PT Lesso New Energi, Pertamina NRE, PT Tinra Mas Agro, dan PT Thornova Solar Indonesia.
Lebih lanjut, Faisol juga melihat banyak produk lain yang berpotensi memindahkan basis produksinya ke Indonesia.
“Lebih jauh dari solar panel, produk unggulan Tiongkok laptop, komputer, handphone, litium baterai, komponen kenderaan listrik kini menjadi bagian dari strategi relokasi global,” ucap Politisi PKB ini.
Namun menurutnya, iklim investasi Indonesia harus dijaga agar tetap atraktif. Sehingga pemerintah menghadirkan berbagai paket insentif seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk untuk produk mesin, bahan, hingga super deduction tax.
Selain itu ada kemudahan insentif untuk pembangunan pabrik di Kawasan Ekonomi Khusus, fasilitas pembiayaan ekspor, penetapan Proyek Strategis Nasional, Objek Vital Nasional (OVN), hingga pelatihan SDM dan sertifikasi kompetensi.
Banjir Impor dari China
Disamping itu Faisol Riza mengingatkan adanya ancaman serius dari memburuknya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang dinilai bisa memicu lonjakan produk impor ke Indonesia akibat fenomena trade diversion atau pengalihan perdagangan.
Ia mengatakan setidaknya ada lima sektor industri yang paling rentan terdampak, yaitu industri baja dan aluminium, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, industri agro, serta industri aneka.
“Dampak ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China akan berpotensi mendorong trade diversion sebagai respons atas hambatan dagang yang terus meningkat,” kata Faisol.
Ia mencontohkan sektor TPT dan alas kaki yang selama ini menjadi andalan ekspor manufaktur nasional. Di tahun 2024, pasar AS menyerap sekitar 40,6 persen ekspor TPT Indonesia dan 34,2 persen ekspor alas kaki. Namun, saat pangsa pasar China di AS menurun, Indonesia justru mengalami lonjakan impor dari Negeri Tirai Bambu.
“Ini menunjukkan adanya peningkatan nilai impor TPT dari China ke Indonesia yang mencapai 8,84 persen, sedangkan impor produk alas kaki melonjak hingga 30,89 persen pada Januari hingga April 2025,” ujarnya.
Kondisi serupa juga terjadi di sektor industri agro. Saat ekspor produk agro China ke AS menurun sebesar USD1,17 miliar atau 7 persen, Indonesia justru mencatat lonjakan impor dari China mencapai 30 persen dalam periode yang sama.
“Sekurang-kurangnya, terdapat tujuh pos HS yang menunjukkan kenaikan impor yang signifikan. Mulai dari HS 23, yaitu limbah industri makanan dan pakan ternak naik sekitar 11 persen, HS 03 ikan dan krustasea, dan HS 18 kakao dan olahan melonjak impornya lebih dari 100 persen. Lonjakan tertinggi terjadi pada produk perikanan, yaitu sekitar 105,4 persen,” ungkap Faisol.
Ia menilai fenomena ini harus menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan, karena bisa berdampak langsung terhadap struktur impor nasional dan daya saing industri lokal.
“Ini tentu kita harus mitigasi dengan monitoring secara intensif,” tegasnya. (Web Warouw)