JAKARTA- Saatnyalah memantapkan berlakunya UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi yang sah dan legitimate, serta menghimpun berbagai gagasan menyangkut UUD NRI Tahun 1945 setelah 20 tahun perubahan. Pernyataan ini kemudian ditanggapi oleh dr. Zulkifli S Ekomei dalam Diskusi Konstitusi di Jakarta, Kamis (2/9).
“Sebagaimana tuntutan yang saya ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saya mengatakan tidak ada produk hukum yang mengesahkan UUD 10 Agustus 2002, karena TAP MPR yang digunakan untuk mengesahkan perubahan ke-empat UUD 1945 menjadi UUD 10 Agustus 2002 adalah TAP MPR tanpa nomor, padahal semua produk hukum harus ada nomornya, artinya UUD 10 Agustus 2002 menurut formalnya cacat hukum, maka saya menyebutnya palsu,” tegasnya.
Menurutnya, selain cacat hukum, penyebutan kata perubahan pada penetapan perubahan keempat ini tidak sesuai dengan penyebutannya sebagai perubahan, tetapi penggantian.
“Padahal ada kesepakatan dasar yang mengikat dan menjadi kesepakatan kelima, yaitu perubahan dilakukan dengan cara adendum. Faktanya bukan perubahan melalui adendum tetapi penggantian UUD 1945 dengan nama baru UUD NRI 1945,” katanya.
Kedua, sebagaimana tertulis di dalam TAP MPR yang tidak bernomor tersebut, pada butir (a) tertulis: Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada Tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada kalimat pertama, yang mengatakan Undang-Undang Dasar yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah pembohongan publik, sebab perubahan keempat dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2002.
“Saya menengarai bahwa hal itu sebagai upaya untuk mengelabui rakyat Indonesia pada umumnya,” tegasnya.
Ketiga, kesepakatan dasar pertama sebagaimana disebut grand strategy, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak diubah. Mencermati hubungan organik yang seharusnya terjadi antara Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, ternyata yang terjadi adalah hubungan paradoks dimana batang tubuhnya mengingkari Pancasila sebagai dasar negara, sebab pasal-pasal di dalam batang tubuh telah dijiwai oleh faham liberal kapitalis.
“Dari cermatan ini, saya ingin mengatakan secara tekstual Pembukaan UUD 1945 tidak diubah, tetapi kenyataannya ditinggalkan dan tidak memiliki makna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” paparnya.
Dari ketiga point itu kesimpulannya adalah, bahwa UUD 10 Agustus 2002 yang sekarang dipaksakan berlaku adalah UUD yang seharusnya ditinjau kembali dan dikaji ulang dengan cara-cara yang benar, dan bukannya dengan kemajuan kepandaian yang dicapai, terus menerus untuk mengelabui rakyat yang seharusnya dikembalikan sebagai pemilik kedaulatan di Indonesia.
“Terkait dengan masalah hukum UUD NRI 10 Agustus 2002, penyelesaian legalitas hukum atas Ketetapan MPR yang saya gugat perlu segera dituntaskan agar kejelasan atas kepalsuan yang dijalankan selama ini menjadi terang benderang,” tegasnya. (Web Warouw)