Saat ini jumlah kasus Corona telah menurun drastis di Tiongkok, pada saat bersamaan wabah menyeruak ke 78 negara dan meningkat tajam di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Saatnya pengalaman Tiongkok memerangi Corona menjadi pelajaran bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Chan CT, seorang pengamat politik ekonomi yang tinggal di Singapura menuliskannya bagi pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Chan CT
SETELAH- Deng Xiaoping melaksanakan kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan” di Tiongkok, 1980, banyak pakar menyatakan Tiongkok sudah menjadi kapitalis. PKT telah berubah bukan lagi Partai Komunis Tiongkok, tapi lebih pantas disebut Partai Kapitalis Tiongkok.
Sedang penegasan Deng tetap pegang TEGUH 4 prinsip,– 1. Mempertahankan Jalan Sosialisme; 2. Mempertahankan Kediktakrotan Proletariat atau disebut juga Kediktaktoran Rakyat; 3. Mempertahankan Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok; 4. Mempertahankan Marxisme-Leninisme dan Fikiran Mao Tsetung. Dan ingat, 4 prinsip tersebut tidak hanya menjadi keputusan Kongres ke-13 PKT, Oktober 1987, tapi juga dipaku dalam Konstitusi Negara!
Namun tanpa dasar menunjang, mereka tetap saja mengatakan penetapan 4 prinsip itu hanyalah kamuflase, akal-akalan Deng yang telah menyerobot kepemimpinan PKT untuk menempuh jalan REMO,– Revisionisme Modern, bahkan dikatakan lebih keji ketimbang Kruschov!
Lalu, … bagaimanakah perkembangan Tiongkok setelah lewat 40 tahun koreksi Deng PRAKTEK menempuh jalan “Sosialisme berkarakter Tiongkok”? Bukankah kebenaran teori hanya bisa dibuktikan dalam praktek! Dan bukankah kenyataan RRT tumbuh lebih JAYA disegala bidang, lebih kuat dan terakhir ini menyatakan sedikit makmur, bukan hanya menciptakan lebih 400 juta rakyatnya masuk klas-menengah, tapi yang penting berhasil membebaskan lebih 800 juta rakyat dari kemiskinan. Masih juga diragukan? Mari kita simak bersama apa beda Tiongkok dan imperialisme Amerika.

Prinsip Imperialisme Menindas-menghisap Negara dan Bangsa lain
Ingat, negara imperialis adalah perkembangan lebih lanjut kapitalis yang tumbuh besar jadi kuat dari penghisapan dan penindasan negara dan bangsa lain! Sedang Tiongkok dalam 70 tahun terakhir ini tumbuh menjadi besar dan sedikit makmur sekarang ini, SEPENUHNYA hasil keringat dan kerja keras rakyat Tiongkok sendiri!
Mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter saat ditelpon Presiden Trump menyampaikan Selamat Ulang Tahun di usia 94 tahun, pada 2018 yang lalu, dengan jitu menjawab pertanyaan “Mengapa kemajuan Tiongkok dalam 40 tahun terakhir ini bisa mengejar Amerika”. Karena pemerintah Tiongkok memusatkan perhatian dan kerja-kerasnya dalam PEMBANGUNAN ekonomi nasional, tidak sekali pun perang dilancarkan untuk mengintervensi dan agresi ke negara lain!
Sebaliknya Amerika menjadi satu negara yang paling suka perang. Dalam 30 tahun terakhir saja telah menghabiskan 3 Triliun Dollar! Kalau saja 3 Triliun Dollar itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Amerika, barangkali dengan 2 Triliun Dollar saja sudah cukup membangun KA-Cepat yang selama ini dimimpikan, dan selebihnya boleh untuk pembangunan jalan, jembatan bahkan perbaiki pendidikan menjadi lebih baik!
Itulah sikap imperialisme Amerika untuk mengangkangi dunia, menggunakan kekerasan mengintervensi negara lain. Memaksa negara lain “TUNDUK” dan “NURUT” pada AS. Perang dilancarkan dimana-mana, tanpa pedulikan kesengsaraan kehidupan rakyat setempat. Dan kalau kita ingat kembali, mantan Presiden Jimmy Carter pula yang berhasil mendesak dan memaksa Presiden Soeharto melepaskan semua TAPOL, ratusan ribu tahanan politik yang dituduh PKI, termasuk yang dibuang di Pulau Buru!
Sedang Tiongkok dalam usaha mewujudkan “OBOR” (Satu Sabuk Satu Jalan) atau Jalan Sutera di dunia, yang menjalankan prinsip Kerja-bersama, Maju Bersama dan Untung bersama. Menunjukkan banyak berhasil menggalang front persatuan rakyat sedunia yang biasa digunakan sebutan “Kebersamaan umat manusia senasib.”
Sebuah tulisan berjudul ‘Kebijakan Tiongkok Di Afrika’ yang diterbitkan di Johannesburg, Afrika Selatan antara lain menulis,– “Tiongkok dan Afrika telah menjalin Kebersamaan Umat manusia Senasib selama lebih dari setengah abad, tidak peduli bagaimana perubahan situasi internasional, Tiongkok dan Afrika selalu menjadi kawan baik dan mitra berbagi kesulitan yang sama. Menjadi saudara baik yang memiliki perasaan yang sama. Persahabatan tradisional Tiongkok-Afrika demikian telah memenangkan hati rakyat dan telah menjadi aset berharga bagi kedua belah pihak. Dalam waktu yang lama, Tiongkok dan Afrika telah menggalang persahabatan yang tulus dan memperlakukan satu sama lain sederajat. Inilah inti spiritual hubungan Tiongkok-Afrika yang terjadi dalam jangka panjang. Dan atas dasar ini, Tiongkok dan Afrika akan berkomitmen untuk bekerja sama dan dalam pembangunan bersama dengan memberi makna baru bagi hubungan Tiongkok-Afrika! Jadi, merupakan penyuntikkan momentum berlanjut yang tiada habisnya.”
Di tahun 1970-an ada sebuah buku ‘Bagaimana Eropa Membuat Afrika Terbelakang’ ditulis oleh Walter Rodney, seorang penulis Amerika Selatan sayap kiri dan aktivis Pan-Afrika. Dalam buku itu ditulis: “Tidak hanya perlu membandingkan diantara negara maju dan negara terbelakang, tapi juga hubungan dialektis antara keduanya: Hubungan antara Eropa Barat dan Afrika terutama untuk menyalurkan kekayaan dari Afrika ke Eropa. Selama empat setengah abad, kemakmuran negara-negara Eropa Barat bersandar pada kekayaan alam Afrika, hanya mengembangkan kemajuan dan memakmurkan negara Eropa Barat sendiri, sebaliknya membiarkan negara-negara Afrika tetap menderita kemiskinan.”

Namun, berbeda dengan hubungan Tiongkok dan Afrika! Sejak masa Mao Zedong, telah terjalin saling membantu, begitu juga berlanjut dimasa Deng Xiaoping sampai sekarang ini. Kerjasama dan saling bantu berlanjut lebih erat dan mendalam. Di Forum KTT Tiongkok-Afrika, tahun 2015, Presiden Afrika Selatan, Jacob Gedleyihlekisa Zuma mengatakan, “Ketika Tiongkok datang ke Afrika untuk bekerja bersama dengan kami, pertama kali mimpi saya: ‘Hari depan Afrika’, bisa menjadi kenyataan. Sesuatu yang tak mungkin bisa dibayangkan dimasa negara Barat menjajah Afrika. Negara-negara Barat hanya menjarah sumber daya alam di benua Afrika. Mereka harus mengakui apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Beberapa negara Barat itu mengandalkan sumber daya alam Afrika untuk menjadi kaya.”
Bagaimana di ASEAN? Berdasarkan laporan Situasi ASEAN tahun 2020, ASEAN Study Center, Yusof Ishak Institute,– secara keseluruhan, kepercayaan negara-negara ASEAN pada Tiongkok sedikit meningkat, dibanding kepercayaan pada Amerika Serikat, dari tahun lalu 27,3% naik menjadi 30,3%. Namun, mayoritas dari mereka yang disurvei, yang tidak mempercayai Amerika Serikat masih menyumbang 49,7%, jadi tidak beda jauh dari 50,6% ditahun lalu.
Seperti situasi Tiongkok saat ini di Asia Tenggara, laporan itu menjelaskan, Amerika Serikat dan negara-negara ASEAN juga terjadi defisit kepercayaan. Tetapi tidak seperti terhadap Tiongkok, ketidakpercayaan terhadap Amerika Serikat bukan karena takut akan kekuatannya yang tidak terkendali atau postur yang kuat, tetapi karena Amerika Serikat dianggap telah mengabaikan Asia Tenggara.
Bahkan pada tingkat politik dan strategis Amerika Serikat yang dominan secara tradisional, survei tersebut juga menunjukkan 52,2%, lebih tinggi dari 45,2% tahun lalu, responden percaya bahwa Tiongkok berpengaruh paling besar di kawasan ini. Sedang yang masih lebih percaya pada Amerika Serikat dari 30,5% tahun lalu, berkurang 4 menjadi 26,7%.
Jadi, negara-negara ASEAN umumnya masih waspada terhadap dampak kebangkitan Tiongkok. Sekalipun 85,4% dari peserta survei yang percaya bahwa pengaruh politik dan strategis Tiongkok di wilayah tersebut telah melampaui Amerika Serikat, tapi tetap masih khawatir dengan keadaan demikian ini.

Prinsip Mengabdi Pada Rakyat
Sekarang kita perhatikan bagaimana Amerika menghadapi epidemi H1N1 (Flu Babi) 2009. Pada akhir Maret 2009, flu H1N1 merebak di California dan Meksiko. Selama setahun, dari 12 April 2009 hingga 10 April 2010, dilaporkan sekitar 60,8 juta kasus terinfeksi flu H1N1 di Amerika Serikat, artinya seperlima dari jumlah penduduk AS. Dari jumlah tersebut, 274.000 orang dirawat di rumah sakit dan 12.469 orang meninggal.
Kemudian yang terjadi setahun terakhir ini, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat, pada 25 Januari 2020 ini, diperkirakan sejak 1 Oktober tahun lalu, yaitu, dalam waktu kurang dari 3 bulan, flu di Amerika Serikat telah menyebabkan setidaknya 19 juta orang terpapar, dengan lebih 10.000 orang mati, bahkan diantara yang mati setidaknya ada 68 orang anak-anak.
Pertanyaannya, Amerika satu negara begitu maju dengan teknik pengobatan tinggi, kenapa menghadapi wabah flu saja dalam waktu 3 bulan saja begitu banyak warga terpapar dengan lebih 10 ribu korban jiwa? Dan, dunia tidak menjadi heboh?
Sementara orang menyatakan itu kekurangan sistem asuransi kesehatan yang dijalankan, menggunakan obat apa dan bagaimana pengobatan dijalankan lebih ditentukan asuransi, bukan lagi berdasarkan kebutuhan sakit pasien. Alasan lain asuransi-kesehatan sudah defisit, kehabisan dana dengan pengeluaran pengobatan yang terus meningkat tak terbendung lagi.

Terakhir ini, pemerintah Trump mengajukan akan mengucurkan dana tunjangan untuk mengatasi wabah Corona sebesar US$ 2 miliar, tapi, Partai Demokrat menuntut US$ 8,5 miliar! Alasannya, untuk mengetes terpapar Covid-19 dibutuhkan biaya US$ 4.000. Sedang diperkirakan jumlah orang yang diduga terpapar sudah lebih dari 8.000 orang! Sedang biaya test yang dibutuhkan diluar tanggungjawab Asuransi, karena terlalu mahal! Lalu diminta pasien membayar sebagian, US$1.500! Juga ditentang, karena tentu terlalu mahal. Anggap saja sakit flu biasa!
Bertengkar masalah dana saja sudah menghabiskan belasan hari! Sedang wabah epidemi terus tumbuh merambah kemana-mana. Dan entah bagaimana cara Amerika Serikat mengatasi virus Corona yang terus merebak dan berapa banyak warga terancam keselamatan jiwanya!
Kenyataannya, Amerika Serikat sedang memasuki periode sejarah yang sangat menantang. Pertengkaran kedua partai, Partai Demokrat dan Partai Republik dalam jangka panjang telah membuat kebuntuan fatal sistem politik Amerika. Perbedaan besar dalam politik praktis, mengakibatkan Amerika mengalami kesulitan membuat keputusan dibanyak bidang, termasuk asuransi kesehatan. Bisa saja terjadi apa yang sudah disahkan saat Obama dimentahkan bahkan dinegasi Trump. Inilah tantangan terbesar sistem politik yang dihadapi Amerika.

Sementara pakar lebih jitu melihat virus Corona yang terjadi kali ini, akibat sistem Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang setiap 4 tahun sekali itu! Masalahnya Trump yang hendak maju terpilih kembali di Pilpres 2020 nanti, tentu tidak menghendaki wabah flu yang merebak sejak tahun lalu. Ternyata Covid-19, nama virus Corona yang baru,– lebih mematikan,– bisa akibatkan ekonomi Amerika Serikat terperosok dan sangat mempengaruhi suara pemilihan presiden Amerika Serikat yang akan datang. Itulah sebab utama Trump selalu menutupi masalah! Jadi, yang diperhitungkan bukan kepentingan dan keselamatan jiwa rakyat! Tapi lebih utamakan kepentingan pribadinya sendiri,– bagaimana bisa pertahankan singgasana kekuasaan Presiden!
Apapun alasan sesungguhnya, kenyataan Pemerintah Amerika Serikat TIDAK bertanggung jawab terhadap rakyat-nya sendiri! BUKAN Pemerintah MENGABDI RAKYAT! Pemerintah Amerika Serikat TIDAK mengutamakan keselamatan dan jiwa rakyat!
Sekarang bandingkan dengan Tiongkok yang bisa begitu sigap dan cepat berusaha keras mengatasi epidemi Covid-19 ini. Republik Rakyat Tiongkok dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok yang menjalankan sistem sentralisme-demokrasi, sistem kepemimpinan KOLEKTIF, dengan berpegang teguh prinsip “MENGABDI PADA RAKYAT”, lebih mengutamakan keselamatan dan jiwa rakyat,–sehingga bisa dengan CEPAT mengambil keputusan yang diperlukan dengan segala resiko yang harus dihadapi.

Mengabdi Pada Rakyat seiring dengan genderang Perang Rakyat Melawan Covid-19 didengungkan. Dewan Negara Tiongkok membentuk Badan Khusus Melawan Covid-19 dibawah pimpinan PM Li Keqiang dan dibimbing langsung oleh Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, pergi dan bertugas di Wuhan. Berperan sebagai Markas Komando memimpin langsung Perang Melawan Covid-19, sebagai organisator setiap kegiatan dilapangan, … di front depan Medan Perang Wuhan!
Langkah pertama tanggal 23 Januari 2020 Pemerintah Tiongkok, segera mengambil keputusan TEGAS dan DRASTIS,– MENUTUP Kota Wuhan. Tidak hanya melarang warga Wuhan keluar maupun warga luar masuk kota Wuhan, tapi juga mendisiplin setiap warga BERDIAM DIRUMAH sendiri! Mengkarantina diri di rumah, di asrama tempat mereka menetap. Untuk keluar berbelanja keperluan hidup pun diatur hanya seorang saja yang boleh keluar. Semua warga dilarang melakukan kegiatan berkumpul! Demikian langkah tegas Pemerintah dalam usaha menghentikan penularan dan mencekik mati virus Corona.
Kedua, mengatasi kekurangan ranjang di Rumah Sakit yang tidak mampu menampung penambahan pasien baru,– dengan kecepatan tinggi merubah Gedung-Olahraga Wuhan, Aula, ruang-klas dan asrama Sekolah menjadi “Rumah Sakit Darurat”. Sungguh mengerikan, di kota Wuhan saja penambahan pasien baru setiap harinya bisa lebih 4.000 orang, bahkan dipuncaknya, pada 12 Februari penambahan pasien baru meledak mencapai 13.436 orang!
Ketiga, mendatangkan kebutuhan perlengkapan medis, dari ranjang, alat-alat kesehatan, sampai mendatangkan tenaga medis, penampungan dan mengkoordinasi bala-bantuan tim medis yang dipelopori Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army), yang kemudian datang dari rumah-rumah sakit berbagai propinsi. Sampai 20 Februari tercatat lebih 30 ribu sukarelawan dan tim-medis dari berbagai penjuru datang membantu Wuhan!
Entah bagaimana mereka mengatur logistik, peralatan medis yang dibutuhkan. Belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari lebih 10 juta warga kota Wuhan yang harus dipenuhi saat kota ditutup-rapat itu!
Yang lebih menakjubkan dunia, pemerintah Tiongkok membangun secara kilat 2 Rumah Sakit, yaitu Rumah Sakit Huo Shen Shan yang pada 3 Februari digunakan. Rumah Sakit Lei Shen Shan pada 6 Februari siap digunakan. Rumah sakit dengan kapasitas 2.600 ranjang selesai dibangun dalam waktu 10 hari! Baik juga diketahui, ternyata tim yang merancang kedua rumah sakit tersebut berada dibawah penasehat Arsitektur senior kenamaan Huang Xiqiu, 78 tahun,–seorang Huakiao asal Indonesia, kelahiran Jember.
Perang Rakyat Melawan virus Corona kali ini, betul-betul tidak hanya mendemonstrasikan “KECEPATAN” Tiongkok, tapi juga keunggulan sistem politik dan masyarakat Tiongkok! Adanya kesatuan komando oleh Pargai Komunis Tiongkok dengan kecanggihan teknologi dan kerapihan berorganisasi berhasil membangun rumah-rumah sakit dengan begitu cepat! Betul dikerjakan 24 jam dengan belasan ribu pekerja bergantian mencapai TARGET sesuai waktu yang ditentukan! Sungguh sangat mengagumkan dunia akan keunggulan berorganisasi PKT dengan disiplin kerja RAKYAT Tiongkok yang sangat tinggi itu! Tentu sulit bahkan tidak mungkin bisa terjadi dinegara lain.
Sekalipun Perang Rakyat Melawan Covid-19 belum resmi mencapai kemenangan akhir, setidaknya bisa dikatakan sudah terkendali! Beberapa Rumah Sakit Darurat sementara sudah ditutup dan sebagian relawan dan tim medis juga sudah meninggalkan kota Wuhan kembali ke kesatuan kerja mereka. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Tiongkok, pada 7 Maret, jam 24: Total terjangkit 80.295 kasus, Meninggal, 3.097 orang; Sembuh 57.065. Penambahan pasien baru di seluruh negeri 44 orang, diantaranya 3 orang pendatang dari luarnegeri yaitu di Beijing 2 orang dan Ganshu 1 orang. Sedang di kota Wuhan masih ketambahan pasien baru sebanyak 41 orang.
Untuk mencekik mati Covid-19 dalam perang yang telah berlangsung lebih 40 hari ini dinyatakan berakhir dengan kemenangan total. Markas Komando Perang Rakyat Melawan Covid-19, belum sepenuhnya membuka kembali kota Wuhan. Tetap tidak memperkenankan warga bebas keluar/masuk Wuhan. Harus melalui pemeriksaan ketat kesehatan lebih dahulu. Jadi, gerak langkah pulihkan BEKERJA kembali dilakukan secara berangsur sejak 20 Februari yang lalu. Sampai 5 Maret kemarin sudah dinyatakan lebih 60% perusahaan, pabrik-industri dan bank telah bekerja kembali. Tentu buruh dan pegawai yang dari luar masuk kota Wuhan harus melalui pemeriksaan kesehatan ketat dan tidak diperkenankan keluar dari kompleks kerjanya! Sedang setiap warga masuk dan keluar ke perumahan juga melalui pemeriksa ketat kesehatannya. Hal ini untuk mencegah wabah Covid-19 merebak kembali!
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, “Saat ini, jumlah penambahan kasus terjangkit baru yang muncul di luar Tiongkok lebih banyak daripada jumlah penambahan kasus terjangkit baru di dalam Tiongkok. Justru penanggulangan Covid-19 yang terjadi di luar Tiongkok itulah lebih mengkhawatirkan! Mudah-mudahan saja, berbagai negara bisa sekuat tenaga dan secepatnya mengambil tindakan. Dan, dari pengalaman Tiongkok penanggulangan epidemi menunjukkan, Covid-19 bukanlah wabah flu, dengan ketegasan langkah yang tepat, maka penyebaran Covid-19 dapat dikontrol dan perang melawan epidemi bisa dimenangkan!”
Tedros dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan pujian tinggi pada sikap dan tindakan yang diambil Tiongkok dalam menanggulangi Covid-19, dan dengan tegas mengharapkan negara-negara lain bisa belajar dari pengalaman Tiongkok yang sangat berharga ini,– bersama-sama memenangkan Perang Melawan Covid-19 yang sudah mengglobal, menyebar ke lebih 78 negara!