Senin, 25 Agustus 2025

Danial: Legenda dan Guru Banyak Orang

Oleh: Dr. Made Supriatma *

DANIAL: Dia adalah legenda. Guru dari banyak orang, termasuk banyak teman saya.

Saya tidak pernah mengenalnya secara pribadi. Hanya mendengar dari sana sini bahwa dia adalah otak dan ideolog dari gerakan-gerakan Kiri di Indonesia sejak tahun 1980an hingga dekade pertama 2000an.

Danial Indra Kusuma punya banyak nama. Dia biasa bergerak di bawah tanah. Namanya disejajarkan dengan Tan Malaka dan orang menambahkan predikat lain “Tan Malaka Orde Baru.”

Seperti Tan Malaka, dia misterius dan menjadi figur yang hampir menyerupai mitos. Kabarnya dia juga pintar menghilang. Itulah sebabnya dia tidak pernah tertangkap oleh bala tentaranya Soeharto.

Walau pun saya pernah juga mendengar bahwa namanya ada dalam daftar teratas yang harus ditangkap. Karena ia tidak pernah tertangkap itulah, ada pula fitnah bahwa dia adalah intel.

Kali ini, entah karena angin apa, dia mau muncul dalam satu podcast. Namun, dia menolak bicara tentang dirinya. Dia selalu mengelak karena menghindari kultus individu.

Ia menceritakan perkembangan gerakan-gerakan kiri — yang sebenarnya dia sangat terlibat didalamnya. Kalangan muda, menurut saya, harus menyimak podcast ini karena guru dari banyak aktivis ini membuka sedikit begitu banyak taktik dan strategi yang mereka lakukan ketika melawan rejim yang amat represif, Orde Baru.

Ia juga menguangkapkan bagaimana gerakan-gerakan rakyat itu dibangun. Walaupun kemudian “dicuri” ketika Soeharto sudah jatuh oleh kelompok Ciganjur, Amien Rais, Cs.

Namun ia menceritakan struktur atas dan struktur bawah tanah Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang ikut dibidaninya. Juga berbagai macam tantangan.

Tonton Wawancara Danial

Saya baru tahu bahwa “Mirah Mahardika” nama yang sangat saya kenal pada tahun 90an ternyata pernah ada. Dulunya saya pikir itu adalah nama samaran Danial (yang sering dipanggil Roi). Mirah ternyata diculik dan tidak pernah ditemukan hingga saat ini.

Di Podcast ini, Danial juga bicara tentang masa-masa ketika PRD pecah. Walaupun mentolerir perpecahan, PRD ternyata tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Perbedaan taktik, strategi — dan kemudian saya kira juga ambisi pribadi — mengubur partai pelopor ini.

Pada akhir Podcast, Danial mendapat pertanyaan tentang para “diaspora PRD” yang sekarang berada di dalam kekuasaan. Tidak heran kalau jawaban Danial adalah mereka semua itu tidak legitimate secara ilmiah maupun secara moral.

Walaupun, mereka yang ada dalam sistem itu membuat banyak sekali justifikasi, tetap saja mereka (paling tidak) secara moral salah.

“Kalau mau melihat kontradiksinya lihat saja kekayaan mereka,” katanya.

Untuknya Prabowo tetaplah penjahat HAM. Dan tidak ada justifikasi untuk aktivis Kiri untuk mengabdi pada penjahat HAM.

Terus terang, untuk saya wawancara ini mengingatkan saya akan banyak hal. Ada beberapa pertanyaan yang tidak terjawab: Mengapa orang-orang yang terdidik secara sangat radikal, yang dulu rela mengorbankan hidupnya untuk perjuangan, kini menjadi demikian lembek, bahkan menjadi bubur? Kemana semua radikalisme itu?

Kedua, yang juga dipertanyakan dalam Podcast ini, mengapa gerakan Kiri mati sekarang ini?

Ketiga, akankah ia bangkit? Bagaimana ia bisa bangkit? Khususnya menghadapi kemungkinan kebangkitkan otoriterisme di Indonesia saat ini?

Satu hal yang paling berkesan dalam PodCast ini adalah ketika Danial menyebutkan “kaum intelektual Kiri” yang tidak berani terjun dan mengorganisasi namun tekun memberikan saran-saran dan nasehat “10 harus, 7 jangan” katanya.

Barangkali, inilah wajah gerakan Kiri di Indonesia sekarang ini: rajin memberi nasehat dan larangan. Bolehlah kita sebut mereka sebagai agamawan Kiri: Pra ustad, romo, dan pendeta dengan segala macam “harus dan jangannya.”

—–

*Penulis Dr. Made Supriatma pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Studi Realino (LSR), Yogyakarta.. Sekarang bekerja sebagai Visiting Research Fellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura. 

Ia seorang Jurnalis independen dan aktif menulis di berbagai media massa cetak dan daring ini, bergabung di Indonesia Study Program, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) sejak 2019. Fokus risetnya adalah soal pemilihan umum, desentralisasi, Papua, konflik dan kekerasan etnis, serta hubungan sipil-militer dan politik militer. 

Di ISEAS, bersama Dr Hui Yew Foongm, menjadi co-editor buku kumpulan kajian berjudul The Jokowi- Prabowo Elections 2.0 (2022). Tercatat sebagai Early Warning Fellow The Simon-Skjodt Center for the Prevention of Genocide, sebuah institusi riset yang berada di bawah The United States Holocaust Memorial Museum, Washington DC, Amerika Serikat. Belum lama ini, menerbitkan laporan hasil riset berjudul “Don’t Abandon Us”: Preventing Mass Atrocities in Papua, Indonesia (2022), sebuah studi tentang risiko terjadinya pembantaian massal di Papua.

Artikel ini dimuat ulang Bergelora.com dari akun facebook Made Supriatma

 

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru