JAKARTA- Dokter Indonesia Bersatu (DIB) menegaskan agar pemerintahan Joko Widodo mulai fokus melakukan perbaikan dari hulu ke hilir pada sektor kesehatan sehubungan dengan krisis kesehatan yang semakin parah saat ini. Anggaran Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) naik terus namun kesehatan semakin merosot. Hal ini disampaikan oleh Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB), dr. Eva Sri Diana, Sp.P kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (26/2).
“Untuk itu, pemerintah harus menetapkan agar Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membayar sesuai dengan real cost yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan, tidak lagi dengan kuota tarif berdasarkan paket seperti selama ini. Agar tidak ada lagi pasien terlantar karena rumah sakit tidak sanggup membiayai sendiri. Jangan ada lagi rujukan pasien hanya karena kekurangan pembayaran oleh BPJS. Sehingga tidak adalagi penumpukan pasien di rumah sakit dirumah-rumah sakit tipe A dan B karena rujukan,” ujarnya.
Disisi lain menurutnya, pemerintah harus menghentikan pungutan iuran bulanan pada masyarakat dan pemotongan upah buruh dan pekerja yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Agar kembali menjalankan perintah pembukaan Undang-undang Dasar 45, yaitu negara melindungi seluruh rakyatnya.
“Bukan seperti saat ini, rakyat harus membayar iuran untuk bisa mendapatkan perlindungan kesehatan. Presiden Jokowi harus segera kembali membuktikan janjinya untuk memberikan jaminan kesehatan yang ditanggung penuh oleh negara,” ujar dokter ahli paru ini.
Dalam Konferensi Pers DIB Rabu (24/2) lalu dr. Eva Sri Diana, Sp.P mengatakanharapan masyarakat yang begitu tinggi pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) namun ternyata tidak sebanding dengan kondisi sebenarnya di lapangan. BPJS Kesehatan yang menjalankan JKN justru semakin memperparah krisis layanan kesehatan saat ini.
“Dalam dua tahun iuran BPJS Kesehatan naik tiga kali. Anggaran sudah naik dua kali. Tapi BPJS tidak meningkatkan kuota tarif pelayanan, sehingga semakin pelayanan kesehatan semakin merosot. Besok BPJS akan menaikkan lagi premi untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Rp 19.000/bulan/orang menjadi Rp 25.000/bulan/orang. Semua itu uang negara yang dipungut dari pajak masyarakat,” jelasnya.
Keberhasilan JKN menurut dokter Eva Sri Diana sepatutnya menjadi tanggung jawab bersama dan tidak hanya dibebankan pada penyedia layanan kesehatan saja, tapi juga didukung penuh oleh pemangku kebijakan, terutama Pemerintahan Jokowi. Apabila negara tidak hadir dalam menjamin kesehatan rakyatnya, sesuai dengan amanah UUD 1945 dan Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, maka tujuan mulia JKN mustahil terwujud.
“BPJS Kesehatan selalu mengeluh kekurangan dana. Katanya dana BPJS sebesar Rp 70 Triliun defisit Rp 20 Triliun karena pengeluaran sampai Rp 90 Triliun. Negara tidak pernah bisa mengaudit, tapi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan BPJS. Inikan tidak fair. Kemana aja duit itu menguap?” tegasnya.
Ia menegaskan, JKN harus dilepaskan dari kepentingan atau pencitraan politik penguasa yang hanya untuk menarik simpati rakyat melainkan kembali pada tujuan awal yaitu untuk menyehatkan seluruh rakyat Indonesia.
“Kondisi sektor kesehatan saat ini kami nilai tidak jauh berbeda dengan kondisi 2 tahun yang lalu, bahkan saat ini telah terjadi krisis bidang kesehatan yang berpotensi mengganggu sendi-sendi kehidupan bernegara,” ujarnya.
Carut marut ini menjadi realitas yang harus mau diakui dan dibenahi sehingga dokter dapat memberikan layanan sesuai standar layanan medis dan tidak merugikan masyarakat.
“Semua dokter dan keluarganya kalau sakit juga mengalami hal yang sama dengan rakyat biasa. Rakyat dan semua tenaga medis telah menjadi korban dari BPJS-Kesehatan yang menjalankan JKN secara tidak adil dan tidak manusiawi,” tegasnya.
Untuk itu, gerakan moral Dokter Indonesia Bersatu (DIB) mengadakan aksi damai dengan tema “Reformasi JKN Berkeadilan” tanggal 29 Februari 2016, bertempat di Bundaran HI dan istana Merdeka. Peserta aksi terdiri dari mahasiswa kedokteran, internsip, dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis dari berbagai daerah. (Web Warouw)