Kamis, 13 November 2025

Dicari: Negarawan Sejati !

Doni Istyanto Hari Mahdi. (Ist)

Kehadiran Presiden Joko Widodo dalam Halalbihalal Rembuk Nasional Aktivis 98 di Puri Sahid Jaya Jakarta pada hari Minggu (16/6) yang lalu menunjukkan watak kenegarawanan sejati. Doni Istyanto Hari Mahdi, aktivis 98 dari Surabaya menyorotinya buat pembaca Bergelora.com. (Redaksi).

Oleh: Doni Istyanto Hari Mahdi

DALAM acara Silaturahmi dan Halalbihalal Rembuk Nasional Aktivis 98 di Puri Sahid Jaya Jakarta pada hari Minggu (16/6) yang lalu, Presiden RI Ir. H. Joko Widodo meminta para aktivis reformasi ’98 untuk berani mengevaluasi dan mengoreksi segala kebijakan pemerintahannya yang tidak tepat.

Penulis sebagai salah satu eksponen aktivis 98 di Surabaya, sangat menghargai dan menyambut baik keterbukaan sekaligus kerendahan hati dari Presiden Jokowi, yang masih mau menerima masukan dari para aktivis reformasi ’98.

Semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu masukan, kritik serta koreksi terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi khususnya dan meluruskan cita-cita reformasi pada umumnya, sekaligus ‘tantangan’ dari Presiden Jokowi tersebut.

Dalam tata negara RI, seorang Presiden RI memiliki kedudukan ganda yaitu sebagai kepala negara, sekaligus kepala pemerintahan.

Sebagai kepala negara, Presiden RI menjadi atasan langsung dari seluruh pimpinan alat-alat negara seperti TNI, Polri dan Kejaksaan RI. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden RI merupakan atasan tertinggi bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dibawah semua kementerian yang menggerakkan seluruh roda pemerintahan.

Sedemikian besar kekuasaan seorang Presiden RI, maka menjadi wajar jika dalam benak rakyat Indonesia mengharapkan sekaligus menuntut agar Presiden dan Wakil Presiden RI sebagai dwitunggal kepemimpinan nasional, memiliki jiwa seorang negarawan yang utuh.

Seorang negarawan adalah seseorang yang bisa menunjukkan kepemimpinan untuk membawa rakyat dalam usaha-usaha mencapai tujuan nasional, serta memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang menempatkan kepentingan bangsa, rakyat, negara dan pemerintahan diatas kepentingan pribadi dan partai politiknya, dengan didasarkan pada ideologi negara yaitu Pancasila.

Setelah menjabat, seorang presiden idealnya berhenti/diberhentikan sebagai anggota partai politik selama memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI.

Ketika seorang kepala negara masih menjadi anggota sebuah partai politik sangat wajar jika rakyat masih mempertanyakan netralitas Presiden. Presiden seharusnya bisa memanfaatkan waktu untuk kepentingan bangsa, rakyat, negara dan pemerintahannya dengan tidak diganggu untuk memikirkan partai politiknya.

Bekerja sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, seharusnya memiliki waktu 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun untuk bangsa, rakyat, negara dan pemerintahannya.

Selaku Kepala Negara, jika seorang Presiden ingin menjadi pembina parpol, maka idealnya Presiden dan Wapres harus menjadi pembina untuk seluruh parpol yang ada, dan bukan hanya menjadi pembina pada parpol tertentu saja. Dalam keadaan ini, maka tidak etis apabila Presiden dan Wapres yang masih terikat sebagai anggota salah satu parpol tertentu, memberikan pembinaan pada parpol yang lain. Sehingga, sudah sepatutnya, jika pada saat memangku jabatan sebagai Presiden atau Wapres keanggotaan mereka dalam parpol diberhentikan. Presiden dan Wapres saat memangku jabatannya terikat pada kesakralan sumpah/janji jabatan yang tertuang dalam frasa:”…serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Dampak buruk lain ketika Presiden masih terikat dengan salah satu partai politik, jajaran dibawahnya pun akan terimbas menjadi milik salah satu pihak dan bukan “menjadi milik seluruh rakyat Indonesia”.

Salah satu contohnya adalah tindakan staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Bidang Bencana, Andi Arief, yang justru terlihat sibuk mengurusi kasus Bank Century. Kasus ini memang sempat mencatut salah satu partai pemenang pemilu 2009.

Suatu saat Andi Arief mengadakan konferensi pers soal dugaan keterlibatan Misbhakun dalam LC fiktif Bank Century, yang dikemudian hari ternyata tidak terbukti, di Ciwidey Jawa Barat justru sedang terjadi tanah longsor. Ketika Andi Arief mengumpulkan wartawan terkait kasus Century pada tanggal 27 Februari 2010, empat hari sebelumnya sudah terjadi longsor di salah satu daerah di Jawa Barat itu.

Sebagai bukti jika waktu kerja Presiden untuk negara menjadi tersita, yang salah satu sebabnya adalah karena aktivitas Presiden mengurus partai politiknya menyebabkan sudah hampir satu tahun jabatan Gubernur Bank Indonesia masih kosong setelah Gubernur Bank Indonesia yaitu Bapak Boediono (yang kemudian memangku jabatan sebagai Wakil Presiden RI) yang mengundurkan diri terkait pencalonannya sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, setelah itu hampir satu tahun Presiden Yudhoyono belum mengajukan nama calon Gubernur Bank Indonesia kepada DPR, sedangkan “Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Mengingat pihak yang berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang terbatas hanya Presiden dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dengan demikian menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan manakala seorang anggota partai politik yang sedang memangku jabatan sebagai Presiden RI tidak diberhentikan keanggotaannya pada saat memangku jabatan tersebut, maka keadaan ini merupakan suatu keuntungan politik yang akan selalu dijaga, baik oleh anggota partai politik yang sedang memangku jabatan sebagai Presiden ataupun oleh partai politiknya sendiri.

Demikian pula sebaliknya, meskipun Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene kepanjangan-tangan partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan RUU, atas dasar keuntungan politik tersebut maka dengan penalaran yang wajar, pembentuk Undang-Undang tidak akan pernah mengajukan rancangan Undang-Undang, untuk memberhentikan keanggotaan seorang anggota partai politik pada saat anggota partai politik tersebut memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI.

Kehendak para pendiri NKRI agar Presiden menjadi milik seluruh rakyat Indonesia, tertuang dalam paragraf keempat Preambule atau Pembukaan UUD 1945 dalam frasa: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dst”, secara tegas para pembentuk konstitusi menyatakan jika Presiden dan Wakil Presiden RI dalam menjalankan kewajibannya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Pengertian kata “segenap” memiliki arti dan padanan kata: “seluruh, selengkapnya”, sehingga menjadi jelas jika cita-cita, maksud dan kehendak para pendiri NKRI sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada paragraf keempat adalah “…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…” yang berarti Presiden harus selalu berdiri diatas seluruh unsur bangsa Indonesia secara selengkapnya, tidak kurang, tidak setengah-setengah ataupun sebagian.

Bahwa Pasal 16 ayat (1) UU Partai Politik yang tidak memberhentikan seorang anggota partai politik pada saat anggota partai politik tersebut memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI, sejatinya bertentangan dengan sumpah/janji jabatannya, karena dalam sumpahnya seorang Presiden dan Wakil Presiden RI telah bersumpah/berjanji sesuai Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 akan bekerja dalam pengabdiannya untuk kepentingan nusa dan bangsa, bukan untuk kepentingan partai politiknya dan sudah semestinya kesetiaan dan pengabdian seorang anggota partai politik kepada partainya menjadi gugur setelah mengucapkan sumpah/janji jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan digantikan dengan kesetiaan dan pengabdian kepada nusa dan bangsa.

Manuel L. Quezon, Presiden Filipina 1935-1944, mengatakan: “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”

Menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI adalah puncak karir atau jabatan politik tertinggi dari seorang politisi. Bagi seorang politisi atau anggota parpol, tidak ada jabatan eksekutif yang lebih tinggi, selain jabatan seorang Presiden atau Wapres. Sementara, menjadi Presiden atau Wapres adalah saat yang tepat dimana berhentinya kesetiaan seorang anggota parpol terhadap partainya dan digantikan dengan kesetiaan kepada rakyat dan negaranya.

Pemberhentian keanggotaan dalam partai politik diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik pada Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi, ‘Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.’

Idealnya pada saat memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI juga bisa dijadikan dasar untuk berhenti dari partai politik. Artinya begitu seorang anggota partai politik terpilih sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI, keanggotaannya dalam partai politikpun secara otomatis berhenti dan dapat dipulihkan lagi keanggotaannya secara otomatis begitu berakhir masa jabatannya.

Diperlukan sebuah terobosan politik setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menambahkan frasa pada UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik itu mengacu pada pasal 16 ayat (1) dengan menambahkan norma baru pada huruf (e) yang berbunyi: “e. memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia.”, sehingga selengkapnya menjadi:

Pasal 16 ayat (1) UU Partai Politik yang berbunyi, Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain;
d. melanggar AD dan ART; atau

e. memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia.

Jika perppu ini dapat diwujudkan, niscaya akan menjadi sejarah baru bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, khususnya kepada Presiden dan Wakil Presiden RI karena pada saat memangku jabatannya secara otomatis menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi sebagian rakyat untuk menuduh Presiden atau Wakil Presiden RI adalah boneka dari partai politik tertentu.

Di sisi lain, menjadi seorang Presiden tidak melulu harus mengambil keputusan yang bersifat populer semata. Seringkali, keputusan yang tidak populer juga harus diambil. Dengan diberhentikan atau melepaskan keanggotaannya dari parpol di awal masa jabatannya segera setelah mengucapkan sumpah/janji jabatan, tentu  Presiden Jokowi akan  mencatatkan sejarah baru dalam politik modern Indonesia, sekaligus meyakinkan seluruh rakyat Indonesia, jika seluruh keputusan yang diambil dalam jabatannya selaku Presiden dan Wapres semata-mata hanya untuk “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Dengan diberhentikan atau melepaskan keanggotaannya dari parpol pada saat memangku jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden RI, parpol pun mendapatkan keuntungan karena saat sebuah keputusan tidak populer diambil Presiden dan Wapres, keputusan tersebut tidak dapat “diklaim” sebagai kebijakan partai oleh lawan-lawan politiknya.

Kebijakan untuk diberhentikan atau melepaskan keanggotan parpol bagi Presiden Jokowi adalah keputusan yang pasti dipandang ideal oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebuah sejarah bagi rakyat untuk sepanjang masa.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru