Jumat, 22 Agustus 2025

DIKUASAI MAFIA PENGADILAN..! Djuyamto Disebut Pernah Ditawari Rp20 Miliar untuk Kabulkan Eksepsi Korporasi CPO

JAKARTA – Hakim nonaktif Djuyamto sempat ditawari Rp20 miliar untuk mengabulkan eksepsi korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) sebelum kasus berujung onslag alias vonis lepas.

Hal ini diungkap oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan terhadap majelis hakim yang mengadili perkara kasus minyak goreng ini, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

“Saat itu, Wahyu Gunawan (terdakwa kasus terpisah) menyampaikan permintaan Ariyanto yang menawarkan uang sebesar Rp20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng,” ujar JPU saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).

Ariyanto merupakan salah satu pengacara yang ditunjuk oleh pihak korporasi.

Sementara itu, Wahyu Gunawan adalah panitera muda nonaktif PN Jakut yang menjembatani pihak korporasi dengan hakim. Wahyu dan Djuyamto pernah bertemu di Lippo Mall Kemang pada Februari 2024.

Saat itu, berkas perkara korporasi belum dilimpahkan ke PN Jakpus. Namun, dalam pertemuan itu, pihak korporasi telah meminta Djuyamto agar bisa mengabulkan permohonan eksepsi.

Pertemuan Wahyu dan Djuyamto ini terjadi karena Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus, telah menyebutkan bahwa Djuyamto akan ditunjukkan sebagai salah satu hakim yang mengadili perkara korporasi CPO.

Kepada Wahyu yang menyampaikan permintaan Ariyanto, Djuyamto belum dapat menjanjikan dapat mengabulkan eksepsi dari pihak korporasi. Djuyamto mengaku perlu membaca berkas terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban.

Masih di bulan Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto untuk menyerahkan berkas konsep eksepsi yang bakal diajukan pihak korporasi.

Lalu, sekitar satu pekan kemudian, Wahyu dan Djuyamto kembali bertemu. Dalam pertemuan di Lobby Apartemen Pakubuwono View, Djuyamto mengatakan bahwa permohonan eksepsi dari korporasi ini tidak dapat dikabulkan.

Saat itu, Djuyamto mengarahkan Wahyu agar ia berkoordinasi dengan Arif Nuryanta.

“M Arif Nuryanta yang menunjuk Majelis Hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui terdakwa M Arif Nuryanta,” kata JPU membacakan pernyataan Djuyamto saat itu.

Pesan ini diteruskan Wahyu kepada Ariyanto dan sejumlah negosiasi pun terjadi. Dalam kasus ini, hakim hingga panitera PN menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar.

Pemberian dilakukan sebanyak dua kali. Pemberian pertama terjadi sekitar bulan Mei 2024. Saat itu, Ariyanto mendatangi rumah Wahyu sambil membawa uang tunai USD 500.000 atau setara Rp 8 miliar. Uang ini kemudian dibagi kepada para terdakwa dengan jumlah yang berbeda-beda.

Kemudian, Djuyamto selaku hakim ketua mengambil sebanyak Rp 1,7 miliar.

Sementara itu, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin yang merupakan hakim anggota menerima Rp 1,1 miliar.

Adapun, Wahyu juga “kecipratan” uang senilai Rp 800 juta. Uang total Rp 8 miliar ini Arif bagikan kepada majelis hakim pada Juni 2024. Ia menyebutkan, uang ini sebagai titipan agar majelis membaca berkas secara saksama.

“Ada titipan dari sebelah untuk baca berkas,” ujar salah satu Jaksa meniru omongan Arif.

Lalu, pada Oktober 2024, Ariyanto kembali menyerahkan sejumlah uang kepada Wahyu untuk diteruskan kepada para hakim. Saat itu, Ariyanto menyerahkan uang tunai senilai USD 2 juta atau setara Rp 32 miliar.

Uang diberikan agar majelis hakim PN Jakpus memberikan vonis onslag atau vonis lepas kepada tiga korporasi yang tengah berperkara. Tidak lama setelah diterima oleh Wahyu, uang ini juga dibagikan kepada yang lain. Arif menerima Rp 12,4 miliar.

Kemudian, Djuyamto mengambil Rp 7,8 miliar. Sementara itu, Ali dan Agam masing-masing mendapat Rp 5,1 miliar. Lalu, Wahyu menerima Rp 1,6 miliar.

Jika ditotal, dari dua kali pemberian ini, hakim hingga panitera menerima uang suap sebanyak Rp 40 miliar. Rinciannya, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar; Ali dan Agam masing-masing menerima Rp 6,2 miliar; Wahyu menerima Rp 2,4 miliar.

Vonis lepas untuk 3 korporasi Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.

Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.

Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.

Dalam kasus ini, para terdakwa didakwa dengan Primair Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat 2, atau Pasal 12B, subsider Pasal 5 angka 4 dan 6 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN jo Pasal 3 dan Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru