Selasa, 16 September 2025

Direktori Upaya Melongsorkan Nasionalisme

Pro kontra panitia seleksi pemilihan pimpinan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) tajam menyeruak menjadi tanda tanya. Parduru, pengamat sosial menyoroti seleksi komisioner KPK kepada Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Parduru

DIBALUT jaket seksi KPK, untuk  mempertanggung jawabkan plintiran peri jahatnya korupsi proyek E-KTP, langkah tapak kakinya Setya Novanto pemangku ketua umum Partai Golongan Karya, posisi paling atas yang diperebutkannya mahal dengan tarung berat di munaslub Golkar, dan juga sekaligus pemangku ketua DPR RI, jabatan tertinggi aras satu dari tiga lembaga tinggi NKRI itu, masih teringat jelas memasuki beranda ruang depan gedung KPK. Ingatan kita itu mencuat kembali ketika Muhammad Romahurmuziy melangkah pula masuk ke gedung KPK itu sehubungan dirinya yang berkedudukan orang pertama juga pada Partai Persatuan Pembangunan, dengan bendera partainya warna dasar hijau bergambar Baitullah,  lagi pula sosoknya pegengsi tinggi secara nasional itu, digelandang memasuki gedung KPK. Ir. Muhammad Romarhurmuziy ketika itu statusnya terperiksa selaku pelaku makelar seleksi jabatan di Kemenag. Menjijikkan!

Memang bukan hanya mereka berdua penyandang papan atas tertinggi parpol bertabiat celeng hutan menjijikkan seperti itu. Sebelumnya sudah didahului Anas Urbaningrum, ketum Partai Demokrat. Berbareng konconya Nazaruddin pemegang kunci brandkas partai tersebut. Berlanjut diikuti Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, Sutan Bhatoegana, Amran Daulay, Sarjan Taher, As’ada Syam, Agusrin M. Najamudin, Djufri, Murman Efendi, Abdul Fattah, Andi Alifian Malarangeng, dst. Sederetan nama para  bajingan koruptor ini, indikator pembukti inkracht,  partai Susilo Bambang Yudhono itu sungguh pengingkari prinsipnya anti rasuah, yang diucapankannya sendiri pada Jumat, 15.08.2014 dari podium DPR RI.

Hutang luar negeri RI terbanyak dicolong, dilakukan pemerintah SBY setelah urutan kesatu oleh rezim Suharto, dan menjadi bancakan para legislator dan menterinya  terbuktikan berupa candi penanda mangkrak proyek bangunan, mangkrak E-KTP, mangkrak proyek energi, mangkrak proyek pencegahan karhutla, mangkrak peningkatan seni & budaya, juga mangkrak peningkatan sumber daya tenaga produktif, terlebih lagi menetapkan masa  freeport merajalela makin diperpanjang lama.

Kokpit penata budaya coruption-hood di Indonesia diwarisi SBY dan para mafia koruptor itu dari rezim  otoritarian militeris Suharto, mentor utama korupsi   struktural dan sistemik  di Indonesia. Negara- negara Barat dikepalai Amerika Serikat penopangnya berkuasa 32 tahun disuguhi kado mewah Penanaman Modal Asing dan perjanjian ekonomi antara lain mengeruk gunung Ertsbergh Papua dengan sebutan menambang tembaga padahal mengaut emas. Sedang RI mendapatkan hasilnya cukup hanya 1%. Berkelindan dengan kemewahan itu rezim  Suharto leluasa mengkorup hutang luar negri yang mereka prakarsai. Paling sedikit khusus Suharto sendirian maling 490 triulliun rupiah dihitung 20 tahun lalu, pada tahun 1997, saat harga emas Rp 23.000,-/gram. Setara harga emas kini Agustus 2019 yang 28,50 kali harga 1997, angka nominal uang korupsi Suharto tanpa hitungan bunga, silahkan hitung sendiri. Jika disertakan hitungan bunga atau deviden hasil diivestasikan sejak lengser saja (21 tahun), waah…..auzibillah.

Muridnya lain pengikutinya termasuk Luthfi Hasan Ishaaq Presiden Partai Keadilan Sejahtera, parpol yang klaim entitasnya  pengkibar utama syariah,  belototan korupsi daging import sehingga harga daging melambung tinggi. Begitu pula ketum PPP yang digantikan Ir Muhammad Romahurmuziy, yaitu Suryadharma Ali menyolong uang penyelenggaraan haji.

Bukan tidak ada korupsi di era Bung Karno. Yang dilakukan secara tidak sindikat berjemaah, tidak mafia. Meski dilakukan melulu sendiri-sendiri, koruptor itu tetap saja bajingan. Dilakukan utamanya seiring nasionalisasi perusahaan asing di tahun sebelum 1962 dibawah kendali oknum korps tentara menangguk kekayaan, sementara rakyat peraksi  ambil alih itu, sesungguh niatnya untuk diserahkan ke pemerintah pusat,  akhirnya melongo.

Negara neokolonial berkepentingan menyogok elite Indonesia diawal pasca merdeka, memprovokasi brutal realisasi pemindahan kekuasaan secara seksama yang isi terpokok Proklamasi itu. Nationhood menjadi berhamburan pecah-cermin soliditas dengan mortir red drive proposal di Sarangan (Juli 1948), berbareng kucurkan suap US $ 50.000,- Serangan fajar dikenal pada pemilu dewasa ini boleh dikaji, mungkin benar diadopsi dari kelicikan red proposal Sarangan tersebut.

Neokolonial senantiasa bersilat misterius dengan uang suap dan pistol mengoperasikan geng konspirasi.

Tercatat hingga 2018, delapan kepala daerah dari kader Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, unggulan ke satu koruptor, diiringi berikutnya lima orang kader Parta Golkar. Partai Nasdem dan PAN mencetak dua orang. Partai Demokrat, Perindo, Berkarya dan Partai Nanggrui Aceh  masing-masing mengirim seorang kadernya bermahkota koruptor.

Pada tahun 2018 tersebut tampil 178 legislator menyabet gelar koruptor.

Pada tahun 2019 ini, tambahkan saja lagi kepala daerah dan legislator terwisuda koruptor oleh Tipikor, menambah rombongan tahun 2018.

Alih-alih berbunga citra bersih korupsi sebagaimana jargon tiap parpol, ternyata 12 parpol kontestan pileg April 2019, mengikut – sertakan bau tengik 40 kadernya eks napi koruptor, diantaranya delapan orang dari Partai Golkar dan disusul Gerindra sejumlah enam orang. Hanura lima orang. PAN, Demokrat, Berkarya,  masing2 menampilkan empat sosok. PKPI, Garuda dan Perindo mengirim wakil dua orang. Dari PDIP, PKS dan PBB menyertakan masing- masing seorang utusan.

Inilah fakta, betapa naif, tak lagi ada sedikitpun rasa malu bukan? Sekolah di Sarangan berhasil. Parpol dan para elit parpol itu semuanya bergincu komplit Pancasila, UUD  45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara itu PDIP menetaskan kontingen korupter terbanyak diantara parpol kontestan pemilu, terhitung sampai saat ini. Menjijikkan!

Peradaban korupsi salahsatu direktori menanggalkan kepercayaan kesatuan bernegara, untuk merontokkan setidaknya melongsorkan keutuhan kemerdekaan negara, demi kenikmatan bagi pendonor budaya suap dari negara asing, dilakukan para kompradornya. Selain itu adalah politik separatisme, dibawah ini.

Menjelang pelantikannya Joko Widodo menjabat RI – 1 berpasangan Ma’ruf Amin selaku RI-2 , dampak hasil pilpres April 2019, ancaman terhadapnya telah dibentangkan. Kasus rasisme teriakan monyet dikorlapi Tri Susanti di jalan Kalasan Surabaya terhadap pemuda Papua tanggal 16.08.2019 dan berlanjut digelar di Malang tgl 17.08.2019 dalam suasana selagi kita yang cinta NKRI merayakan ultah hari kemerdekaan, diletupkan salvo gerakan meruntuhkan ber-NKRI di Papua. Hanya sehari setelah kejadian di Surabaya, di Papua dibakar kerusuhan  sehingga sederetan aksi serentak didukung booming opini oleh buzzer cyber maupun cetak akan tuntutan Papua merdeka di Monokwari, Fakfak, Sorong, Jayapura dan berbagai tempat rakyat di Papua lain. Bahkan lembaga menamakan wujudnya perwakilan masyarakat Papua, menyerukan panggilan kembali pulang ke Papua kepada mahasiswa dan warga Papua yang kini berdiam di daerah lain Indonesia Kejadian itu didukung antusias di belahan barat dunia dan Australia. Begitu gesit laju eskalasi rasisme teriakan monyet ditujukan ke warga Papua di Surabaya dan Malang itu berakibat pembakaran gedung DPRD di Monokwari, yang representasi sasaran bidikan ke NKRI, indikasi adanya orkestro  dan conduktor pembakar  berpengalaman, yang disiapkan memantik dan mengendalikan huruhara di Manokwari, Fakfak, Sorong, Jayapura, dan kota-kota lainnya. Bahkan di kota lain di luar propinsi Papua dan Papua Barat. Pasukan buzzernya mengekspresikan persepsi seakan semua puak dan sub puak masyarakat di Papua merasa dijajah Indonesia menuntut referenfum.

Sejatinya rakyat warga Papua sejak semula bersama rakyat dari etnis senusantara berjuang mengkukuh tegakkan nasionalisme patriotik. Diantaranya bersejarah nama Soegoro (sosok Digoelis penabur benih nasionalisme secara langsung disela tugas dari birokrasi Belanda. mengajar tulis baca berhitung pada warga Papua), Johannes Abraham Dimara (patungnya di arena lapangan Banteng), Silas Papare, Frans Kaisepo, Sam Ratulangi, dan banyak lagi. Opini brengsek separatis sukar dicegat. Namun sejarah nasionalisme patriotik yang sudah membumi sanggup menangkalnya asalkan setiap warga di Papua dan semua tempat dimanapun di Indonesia cermat kritis mewaspadai posting viral oleh hp atau video.

Seiring ujaran refendum di Papua turut pula geng separatis di daerah tertentu berupaya sama hembuskan referendum.

Nasionalisme patriotik pasti baku-seberang dengan nafsu politik komprador ataupun pro-separatisme yang diantaranya cukup banyak terhitung beratribut elit partai atau pemda setempat. Warga dimanapun tempatnya berada selayaknya wajib cermat mewaspadai sirkus bencana ini.

Pendiri dan sosok sentral Partai Berkarya, Tommy Suharto, ex napi pembunuh hakim Safiuddin Kartasasmita, yang semula pernah mempidanakannya korupsi, dua minggu lalu berada di bumi Papua yang dimaui jadi daerah pemilihannya dalam pemilu mendatang. Bermainnya disana, adakah korelasinya dengan munculnya opini viral di dua Propindi Papua itu tarian menanggalkan keikaan dengan NKRI, serta menyanyikan alasan dirinya terjajah RI?

Terpikat menyimak Lukas Enembe, gubenur Papua, dalam surat pemda ke pemerintah pusat perihal sarana semacam venue PON tak selesai seperti dijadwalkan, dan usulan agar PON diselenggarakan di kota lain. Padahal ABPN membangun venue sudah mengucur.

Direktori merongrong ataupun melongsorkan nasionalisme patriotik (yang merupakan senjata rohani Bung Karno menggali Pancasila), seperti disebut diatas yakni membooming viralkan sederetan opini tidak percaya nasionalisme patriotik Pancasila, dan kemudian mengguyur budaya negara neokolim seakan satu-satunya the end of history  pensejahtera manusia, setiap aksinya biasa diawali kasus sederhana saja. Tengok yang disebut “Musim Semi Arab” diawali muatan sederhana handy video yang viral oleh Ali Bouazizi tentang sepupunya Muhamad Bouazizi ditampar polisi wanita Tunisia, Fetya Hamdi yang amat memalukan harga diri seorang pria. Masyarakat digital sekarang seperti di Tunidia terpikat dituntun isi viral di hp dan video apalagi tuna kritis, maka berjayalah modal asing. Bukan berarti pemerintah sebelumnya cinta rakyat.  Rakyatnya tetap menderita. Oleh karena itu wajib kritis.

“Musim Semi Arab” sesungguhnya “Musim Porakporanda Arab”.

Secara kronologis insiden jl. Kalasan Surabaya itu perongrong kebhinekaan tunggal ikanya nasionalisme Indonesia, lanjutan ijtima beberapa kali hingga tragedi (Bawaslu) 21-22 Juli 2019, gaduh rebutan kursi kabinet,  terror khilafah meyerang membakar polisi dan kantornya, tausyah internal ustaz A. Somad yang sebenarnya sudah tua tapi sekarang disemburkan, dalam rentang waktu pendek dari pasca pemilu sampai sekarang hanya enam bulan.

Semua adegan ini menjelang pelantikan dan penetapan nama Menteri, sekaligus adanya Menteri kehilangan kursi semula, adanya perobahan komposisi parpol, tentara, profesional yang tak sesuai selera, saya perkiraan akan jadi mesiu menggelorakan sektarian  sentimen memuliakan suku, agama maupun aliran identitas serta daerahisme setidaknya mengeruhkan rasa aman masyarakat dan membangkit kenaikan harga. Siapa tahu dapat meluruhkan nasionalisme patriotik 17 Agustus 1945 bersukma Pancasila dari Kabinet Joko Widodo – Ma’ruf Amin atau setidaknya menjegalnya. Apalagi bila corpsnya diperkirakan tidak cukup terwakili dalam kabinet yang sedang digodok.

Sungguh pertaruhan berat dipundak Nawacita Joko Widodo pada era keduanya.

Selama tuas ekonomi utama sebagian besar dikendalikan oleh komprador yang diperkirakaan sebanyak k.l. 300 konglomerat dan sosok kapitalis penyelenggara negara, masih lebih berjaya dari BUMN yang bebas salah urus, sudah dapat diantisipasi Presiden Joko Widodo akan kedodoran merealisasi agendanya pada periode keduanya ini, persis nasib janji Nawacita yang terbengkalai.

Belajar dari Suriah, terlepas dari kekejaman diskriminatif oleh Bashar al’Assad, (kebijakan yang wajib dilawan) Presiden Suriah  ini meski kredibilitasnya dirongrong puluhan tahun bahkan dengan campurtangan Amerika Serikat dan sekutunya Barat maupun Organisasi  Kerjasama Islam (dulu bernama Organisasi Konferensi Islam) di Timur Tengah, masih tetap eksis hingga kini, karena dukungan Partai Baath, satu-satunya partai di negaranya, pemerintahannya pemegang tuas ekonomi utama, meniadakan komprador serta solid dengan kekuatan angkatan  bersenjatanya. Korupsi dilakukan oleh kelompoknya Alawite yang tak terkontrolnya, akan mungkin penyebabnya terjungkal.

Catatan: Alawite, salah satu komunitas kebatinan Islam Syiah, pengikut Ali, mantu Nabi Muhammad SAW, yang dalam serimonial agama menggunakan juga roti, anggur, turut merayakan Natal, Paskah, Pentakosta, Minggu Palma, yang mengadopsi juga Zoroastrianisme. Menghormati santo dan santa diantaranya Santo Yohanes Pembaptis, Santo Yohanes Chrysostomos, Santa Maria Magdalena, Santa Chaterina, dll.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru